“Aku memang bukan orang yang kamu cari, dan bukan pula orang yang pernah kamu pikirkan akan bertemu, jangankan memikirkan, terbayang untuk sedetik saja tidak pernah. Karena kita hanya dua orang yang tidak sengaja pernah bertemu dan tertegur sapa tanpa senyum.”
Aliana tidak menyangka akan bertemu dengan cinta pertamanya kembali, Aliana tahu ia orang yang sangat orang itu benci, sangat orang itu tidak sukai, sangat orang itu mukai, sangat orang itu jauhi, dari dulu Aliana juga menyadarinya. Semenjak bertetangga dengan keluarganya, penderitaan orang itu seakan semakin bertambah, kebenciannya seakan berlipat ganda seperti baru saja mati lampu kejedot pintu lalu kejepit pula, kesialan beruntun begitulah kira-kira istilah sederhana bagaimana pendeskripsian muaknya orang itu pada Aliana. Pada saat mereka masih sama-sama di sekolah dasar, Aliana pun jarang dapat melihat cinta pertamanya itu, sebab kelas yang berjarak cukup jauh dan Aliana bukan anak yang pemberani untuk menjelajahi kelas-kelas kakak kelas. Lalu orang itu lulus dan masuk SMP sedangkan Aliana masih berada di SD, pada saat Aliana lulus SD keinginan keterbesarnya adalah masuk satu sekolah dengan cinta pertamanya itu, walau hanya setahun pikirnya itu tidak masalah, tapi kenyataannya Aliana bersekolah di ASHOPA, sekolah dengan gabungan SMP dan SMA. Pupus sudah harapan Aliana, ke sekolah tanpa ada penyemangat. Seperti ke sekolah hanya sebagai rutinitas pengisi kegiatan hariannya saja. Setahun di SMP, Allata merasa Tuhan sangat-sangat baik padanya, setelah satu tahun tanpa semangat ke sekolah berlalu. Dipenghujung SMP dan melanjutkan ke SMA. SMA tersebut adalah SMA ASHOPA yang artinya sekolah yang satu naungan dengan sekolah Aliana yang hanya berbeda tingkatnya saja, walau perbedaan tingkat yang jauh juga lokasi gedung sekolah yang lumayan tidak berdekatan, tetap membuat Aliana bahagia.
Awal mulanya Aliana mengenal cinta pertamanya pada saat dia ikut arisan keluarga satu kompleks dan menyambut keluarga Aliana sebagai keluarga baru di kompleks perumahan tersebut untuk menjadi keluarga dan menjalin silaturahim yang baik antar keluarga, kompleks perumahan kami cukup ramah dan aman, jadi tidak aneh untuk acara itu. Pada saat itu, orang itu sudah berumur 10 tahun (kelas 5 SD) sedangkan Aliana baru saja berumur 7 tahun (kelas 2 SD). Aliana sangat menyukainya, Aliana memikirkan orang itu seperti tokoh berbie laki-laki yang sering ia tonton bersama kakaknya bernama Erisa (umur 10 tahun kelas 5 SD), Aliana mengagumi orang yang seumuran dengan kakaknya itu, merasa nyaman saat bermain bersama. Tapi Aliana juga iri namun bukan pada orang itu melainkan pada kakaknya sendiri, mereka seumuran dan mereka bermain bersama dengan permainan seumuran mereka dan Aliana hanya melihat saja karena Aliansa selalu dilarang untuk bermain bersama mereka. Bahkan orang itu bisa marah padanya karena terus mengekor padanya saat ingin ikut bermain bersama.
Terkadang Aliana merasa betapa tidak beruntungnya menjadi dirinya, mereka hanya berdua bersaudara, Aliana sering kesepian, ditinggal pada pengasuh dan belajar sendiri tentang hal-hal baru. Aliana sudah terbiasa hingga saat ini, Aliana sudah berumur 17 tahun sedangkan orang itu dan Erisa seperti tumbuh bersama hingga umur mereka sudah 20 tahun. Cinta pertama Aliana dan Erisa, mereka akrab, sangat akrab, membuat Aliana iri apalagi semenjak mereka pindah dan bertetangga, Aliana akan selalu melihat kegiatan mereka yang selalu bersama bahkan kampus mereka sama dan masih di kota ini. Jurusan mereka sepasang artian saling melengkapi, Erisa adalah seorang nurse dan orang itu adalah seorang dokter, orang-orang melihatnya sungguh pasangan yang serasi. Bertambah saja sesak di d**a Aliana, setiap hari melihat orang itu membonceng Erisa atau mengantar Erisa kemana pun Erisa akan pergi. Sedangkan Aliana? orang itu tidak menunjukkan wajah bencinya pada saat SMA dulu karena dulu Aliana selalu menganggunya, mengejarnya, membuat malu orang itu di depan teman-temannya, membuatnya jengkel dengan surat-surat cinta yang Aliana buat. Otak cerdas Aliana tak berguna jika sudah berhadapan dengannya, ilmu fisika, kimia, biologi tidak berguna jika sudah menyangkut soal dia di otak Aliana. Aliana akui bahwa ia menjadi bodoh karenanya, sampai pada saat ini.
##Pada suatu hari Aliana ditanya oleh sang mama, “Sebentar lagi Ali lulus SMA, apa rencanamu selanjutnya?” Mama bertanya tentu saja Aliana harus menjawab, “Ali punya cita-cita jadi Dokter, Mamakan tau sendiri aku sudah dari kecil suka dokter dan mau jadi dokter” Aliana membenarkan duduknya yang semula bersandar pada sandaran sopa. “Alasannya bukan karena dia, tapi dokter memang menjadi impian masa kecil yang konsistenku pertahankan hingga aku harus menentukan pilihanku, menyembukan orang, menerbitkan kembali lengkungan indah di wajah pucat dan di wajah mereka yang menunggu si sakit untuk bangun kembali,” batin Aliana.
“Sungguh itu adalah cita-citamu nak? Mama tau Ali suka jadi dokter dari kecil, tapi ini tidak karena dia-kan sayang?” tanya sang mama kembali memastikan keinginan mamanya. Sebelum semua benar-benar hanya menjadi omong kosong belaka.
“Tidak Ma, aku serius dengan pilihanku dan aku serius dengan cita-citaku” jawab Aliana dengan mantap.
“Baik Mama akan support kamu apapun keputusan kamu asalkan kamu serius dengan itu dan tidak menyia-yiakan kesempatannya,” ucap sang mama, senyum tulus terbit dari wajah wanita setengah baya bernama Annei Rahmawani kepada anaknya. “Oh iya, Mama akan bicarakan ini juga pada Papamu, semoga Papa kamu setuju,” seru sang mama yang akan membicarakan kembali tentang keputusan anak bungsunya itu.
“Harus Ma, Papa harus setuju. Biar anaknya ada yang dokter kalau bisa dokter spesialis,” ujar Aliana dengan senyum manisnya memperlihatkan deretan gigi halusnya pada ibunya.
“Kamu ini, Mama keluar dulu ya. Belajar yang benar sayang,” kata Annei kemudian mencium kening anaknya sebelum meninggalkan kamar tersebut.
“Jika Papa setuju Ma, dan juga…” ungkap Aliana menggantung kemudian melanjutkan kalimatnya, “mungkin selanjutnya pelajaran yang sangat berat akan aku lakukan,” ujarnya.
Aliana mengambil buku sketsa yang baru ia beli setelah 6 tahun tidak pernah lagi menyentuh yang namanya buku sketsa ataupun sejenisnya. “Mungkin aku harus mencoba mempersiapkan yang lain,” monolog Aliana melihat buku sketsa tersebut.
*
Di satu sisi halaman rumah bercat putih gading tempat tinggal Aliana, ada sebuah rumah yang tidak jauh berbeda secara arsitektur hanya berbeda dari bentuk halaman dan warna cat rumah tersebut yang berwarna abu-abu dan krem.
“Bunda, mbak Salsa mana?” tanya seorang laki-laki tampan dan tinggi, terlihat ia baru saja pulang dari suatu tempat.
“Salsa barusan pamitan sama bunda mau ketemu Erisa dan Wawa katanya,” jawab wanita yang dipanggil bunda oleh laki-laki tersebut.
“Mau ngapain mbak Salsa ketemu Ali juga, biasanya dia cuma sama Erisa,” ucap laki-laki itu dengan tanda tanya dibenaknya.
“Mana bunda tau,” jawab singkat Billa, bunda dari laki-laki benarma Brian Kaishan.
“Yaudah Bun, Bri nyusul mbak Salsa dulu sekalian ketemu Erisa,” kata Brian lalu pergi meninggalkan Billa yang memasak.
(a)
….