Mencoba Biasa

1155 Words
Mereka bertiga mengalihkan perhatian keasal suara, “Waaa… anak Mama cantik sekali,” ungkap Annie lebih dulu, Annie mendekati anak sulungnya dan memperhatikan dandanan anaknya yang akan mengadakan perpisahan atas kelulusan masa SMA-nya. “Menurut Papa, cantik sih… tapi…” ungkap Hasbie menggantungkan kalimatnya. “Tapi…?” Erisa menirukan nada papanya. “Tapi kurang tinggi” celetuk Aliana, sambil memperhatikan saudaranya sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigi halusnya. “Aliana… Mbakkan belum pake heelsnya!” protes Erisa pada ucapan adiknya tadi. “Ih Mbak mah curang pake heels,”seru Aliana sambil melanjutkan suapannya. “Papa! Apa Erisa sangat pendek?!” tanya Erisa pada sang papa dengan nada suara tinggi. “Tidak juga, pendek malah imut dan sangat enak dipeluk dari pada perempuan tapi tinggi seperti laki-laki,” sindir Hasbie melihat anak bungsunya yang tidak perduli dengan sindiran sang papa. “Alia iri saja,” cibir Erisa pada adiknya yang tidak perduli dan lebih memilih fokus pada makanannya sambil memikirkan teks pidatonya. “Tidak juga, aku tinggi lebih terlihat, dan Mbak hari duduk paling depan agar mudah terlihat nanti” pintu Aliana pada Erisa sekaligus sebuah sindiran darinya. “Tentu saja, aku salah satu lulusan terbaik. Lihat saja nanti aku akan sangat terlihat dan menjadi pusat perhatian, Mama dan Papa juga akan ikut naik besamaku,” jelas Erisa dengan bangganya. “Iya-iya, Mbak bangga duluan karena Mbak lahir lebih dulu, coba saja kalau aku duluan lahir tentu aku yang duluan yang lulus plus dengan lulusan terbaiknya,” cibir Aliana sambil tersenyum. “Tapi kenyataannya aku yang kakak, bocah. Jadi diam dan terima saja,” sanggah Erisa, tertawa dan mengacak tatanan rambut adiknya. “Mbak…! Ih jangan di rusak dong dandananku, aku sedang malas untuk berdandan lagi, sudah aku manusia buruk rupa dibuat buruk pula oleh kakak sendiri, Mbakku adalah Mbak yang durhaka ya Tuhan” seru Aliana yang tidak terima karena tatanan rambutnya dirusak oleh Erisa. “Tidak seperti itu Tuhan. Astaga kau ini lebay sekali. Oh iya semangat buat pidatonya, jangan malu-maluin,” ucap Erisa mengingatkan adiknya yang akan menyampaikan pidato. “Tenang saja, aku masih ingat untuk tidak membuat malu diriku sendir dihadapan orang banyak, lagi pula aku ini calon lulusan terbaik jadi harus berani,” ujar Aliana sombong. “Sudah berdebatnya, ayo sarapan, kita akan terlambat jika berdebat terus menerus,” sanggah Annie. “Biarkan saja sayang, aku suka dengan keributan dua orang pintar di depanku ini,” ucap Hasbie yang menikmati perdebatan dua anak perempuannya. “Siap ibu bos!” jawab Aliana semangat. Keluarga itu terlihat sempurna dan lengkap walau laki-laki hanya satu orang yaitu kepala keluarganya. Kedua anak perempuan yang cerdas dan berbakat, walau keduanya tidak ada yang terlihat akan melanjutkan perusahan keluarga yang dibangun oleh Hasbie, ia tidak memaksakan kehendaknya pada anak-anaknya. Ia orang tua yang tegas namun tidak mengekang anaknya. Semuanya ia control dan ia pantau. Ia tau anak bungsunya memiliki sifat ceria bahkan akan sangat hiper jika sudah berhubungan dengan anak tetangganya. Tapi itu ia anggap sebagai hal wajar anak muda selama itu tidak melewati batas karena ia sudah mengingatkan anaknya dan sudah pernah melarangnya. Namun anaknya satu type dengannya, yaitu berkepala batu. Itu tidak akan berubah sampai sesuatu yang akan membuatnya mundur sendiri. Sesuatu yang akan membuatnya mempelajari sendiri, merasakan, dan membuatnya dewasa dengan caranya sendiri. Itulah cara Hasbie untuk mengajari anaknya tentang hidup, yaitu membiarkan anaknya memilih sendiri namun ia tidak melepas anaknya karena ia tetap menjadi orang nomor satu pelindung anaknya. Sedangkan Aliana adalah type keras dengan gabungan sifat tertutup Annie, ia terlihat seperti anak manja yang terbuka mengeluarkan semua pendapatnya begitu saja. Namun sebenarnya ia adalah anak pemikir, dan lembut. Berbeda dengan Erisa yang lembutnya terlihat, ia juga terbuka siapapun akan cepat menyukainya karena ia perempuan yang cantik dan manis. Keluarga itu bukan keluarga yang berasal dari keluarga kaya raya, melainkan dari jerih payah sang kepala keluarga yang bertekat untuk menyukseskan anak-anaknya dikemudian hari yang nyatanya berhasil dengan perusahan yang telah sukses didirikan oleh Hasbie dengan manjemen dinamis yang ia jalankan. Sekarang masa tuanya tetap ia harus berpikir dan bekerja dengan bantuan orang-orang kepercayaannya. Ia berharap pada anak-anaknya walau dalam jalan mereka masing-masing tetap ada yang akan melanjutkan usahanya. * Erisa, Aliana dan kedua orang tuanya sudah berada di halaman parkiran SMA Ashopa. Lapangan parkiran begitu ramai dan padat walau lapangan ini cukup luas untuk suatu sekolah, namun karena hari itu dipenuhi oleh keluarga lulusan tingkat SMA yang memang dapat dikatakan acara perpisahan yang meriah. “Ramai banget ya Mbak,” seru Aliana yang pertama kalinya melihat begitu padatnya acara perpisahan untuk tingkat SMA. “Kamu SMP dulu kemana saja?” tanya Erisa aneh pada adiknya tersebut. Aliana tersenyum kecut pada Erisa. “Untuk sekedar mengingatkan, kita itu beda SMP dan juga aku tidak pernah melihat acara perpisahan diadakan seramai ini. Aku terlalu berharga untuk bermacet-macetan,” jelas Aliana pada Erisa, sambil berjalan menuju gedung tempat acara dilaksanakan. Aliana adalah orang yang akan hilang saat sekolah mengadakan acara besar-besaran karena ia tidak menyukai keramaian dan menyesakkan, maka ia akan membolos pada hari itu. Tetapi, untuk pertama kalinya Aliana pergi ke acara tersebut karena ia ditugaskan untuk mengisi pidato, padahal ia sudah berniat akan kabur dan mengisi waktunya untuk menempel pada Brian atau waktu untuk dirinya sendiri. “Itu sebabnya nona yang berprestasi, hari ini rasakanlah kau akan menjadi pusat perhatian banyak orang,” ujar Erisa menakut-nakuti adiknya. “Yee… inikan bukan yang pertama kalinya untukku,” elak Wawa, karena ia memang sudah beberapa kali berpidato di masa SMP-nya dulu saat acara sekolah yang tidak terlalu ramai tetapi ia tetap grogi pasalnya ini adalah yang pertama untuk masa SMAnya. “Yaudah ayo, ingat jangan membuat malu aku, Papa dan Mama,” ucap Erisa kembali memperingatkan Aliana. Erisa menyeret adiknya sambil mengikuti jalan orang tuanya yang sudah duluan. Acara berlangsung sampai pada acara penyampaian pidato untuk dari siswa yang ditinggalkan. Aliana yang memang sudah siap bahkan berusaha keras untuk tidak sampai bertemu dengan Brian yang ternyata merupakan lulusan terbaik pertama untuk tahun angkatan 2016, yang tentunya ia akan duduk di kursi paling depan dan berdampingan dengan saudara perempuannya yaitu Erisa. Aliana mendengar bisikan-bisikan dari para siswa lain dan panitia yang membicarakan Erisa dan Brian sebagai lulusan terbaik seakan pasangan yang sangat cocok. Aliana membenarkan perkataan itu secara tidak langsung setelah ia melihat mereka berdua yang sangat serasi. Aliana lemas dengan itu semua, ia gugup, dan juga hati yang bergejolak melihat ketampanan Brian hari itu. Senyum di wajah Brian yang tidak pernah diperlihatkan secara langsung untuk dirinya membuatnya iri sekaligus bahagia karena senyumana itu sungguh indah, walau hanya dilihat dari jauh senyum itu memiliki sihir yang membuat orang lain juga turut senyum dengan hanya melihatnya, dan sangat tidak sehat untuk jantung serta hati Aliana. Bahkan Aliana harus berulang kali menarik dan menghembuskan nafasnya, sesak seakan-akan ada yang mengambil oksigennya dengan senyuman di wajah Aliana tak dapat di pudarkan seketika. “Ini sesak yang membahagiakan” ujarnya sendiri. (c)   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD