08 - Ratapan Tiada Arti

1032 Words
Shanum menatap pada ibunya yang tersenyum pada dirinya. Shanum menutup mulutnya, ketika lihat sang ibu memberikan sebuah piring berisi sate—makanan kesukaannya selama ini. Namun kali ini dirinya tidak berselera melihat makanan itu, dan ingin muntah sekarang juga. “Shanum, Mama beliin makanan kesukaan kamu dan ditempat langganan kamu. Ayo, makan sayang,” kata Mia, membawa putrinya untuk duduk di kursi meja makan, dan meletakkan sate itu di depannya. Shanum mati-matian menahan mual, dan sedikit menjauhkan makanan itu darinya, dan segera meminum air putih. Bibik yang melihat itu dari tadi mengerutkan kening, biasanya kalau anak majikannya ini bertemu dengan sate langsung dimakan dengan lahap dan tidak melihat ke kanan atau ke kiri. Bahkan orang yang disekitarnya pun diabaikan. Tapi, kenapa sekarang malah tidak mau memakan makanan itu? Dan dia beberapa kali melihat anak majikannya menangis dan sambil mengusap perutnya. Dan jangan bilang kalau semua yang ada dipikirannya sungguh terjadi. “Non, makan satenya. Tadi Neng Mauren nelepon, dia bilang mau jemput Non. Dia mau mencari sesuatu katanya dan mau Non temani,” ucap Bibik, membuat Shanum mendengarnya terkejut, dan perlahan dirinya mulai mencoba untuk memakan sate itu. Sekali lagi. Dirinya tidak bisa memakan makanan ini. Dia meletakkan sendok itu ke piring, dan mendorong piring sate agak menjauh. “Bik, ini buat Bibik aja. Belum Shanum makan. Shanum lagi nggak enak badan, makanya nggak bisa makan ini,” kata Shanum tersenyum tipis. Bibik mengangguk, dan mengambil piring itu dan masih memerhatikan anak majikannya. “Non aneh. Kayak orang hamil aja. Biasanya kalau Non sakit dan nggak enak badan, Non masih bisa makan sate dan malahan sangat lahap,” ucap Bibik dan memakan satenya. Mia yang kembali ke ruang makan, menatap Bibik dengan tatapan bingungnya dan piring sate yang ada di depan Bibik. Itu sate dia belikan untuk Shanum, dan tadi Bibik udah ada jatah dan sepertinya sudah dihabiskan oleh Bibik. “Loh? Bibik yang makan satenya? Nggak Shanum?” tanya Mia. Bibik tersenyum. “Kata Non Shanum buat Bibik aja. Dan Non lagi nggak enak badan,” jawab Bibik. Mia khawatir mendengar putrinya sedang tidak enak badan. Mia langsung memegang kening Shanum, tidak panas dan kelihatan Shanum baik-baik saja. “Kamu kenapa? Kamu lagi nggak enak badan kenapa? Makanya jangan kerja terus. Kamu selalu aja kerja dan nggak mikirin kesehatan kamu!” ucap Mia mengomeli anak perempuannya. Shanum mendengarnya tersenyum tipis. “Shanum cuman masuk angina Ma. Kan beberapa hari ini, Shanum selalu pulang dalam keadaan hujan-hujanan. Dan Shanum mau makan mie goreng pakai kentang. Bik, buatin ya,” ucap Shanum meminta Bibik membuatkannya. Bibik mengangguk. “Tumben Non Shanum mau makan mie goreng pakai kentang. Biasanya Bibik makan itu, Non Shanum selalu kayak orang jijik gitu lihatnya. Katanya makanan yang kayak gitu nggak bisa dimakan!” oceh Bibik berjalan menuju dapur. Shanum menegang, dan dia melihat pada ibunya yang menatap Shanum dengan tatapan penuh selidik. “Kamu nggak papa? Kalau gitu Mama telepon Mauren lagi, bilang kamu nggak bisa pergi sama dia. Kamu bakalan tetap hadir ke pernikahan dia kok,” ucap Mia, berjalan menjauhi Shanum mencari keberadaan ponselnya. Shanum menghela napasnya kasar dan mengusap perutnya. “Maafin Mama, belum bisa memberitahukan pada Nenek kamu kalau kamu hadir di sini,” kata Shanum pelan. Bibik yang melihat itu secara diam-diam. Semakin penasaran, mana mungkin anak majikannya hamil. Anak majikannya yang sangat baik dan juga selalu melindungi dirinya, bisa hamil dan itu hal yang tidak mungkin terjadi. “Non ini mie gorengnya. Itu kenapa wajah Non sedih banget? Non banyak masalah?” tanya Bibik pada Shanum. Shanum menggeleng dan menampilkan senyumannya yang secerah matahari. Dia harus kelihatan baik-baik saja, dan tidak boleh merasa sedih sekarang, yang akan membuat Bibik semakin curiga pada dirinya. “Nggak Bik. Shanum cuman mikirin kerjaan aja. Dan beberapa teman Shanum ada yang resign,” bohong Shanum. Bibik mengangguk. “Jangan banyak memikirkan pekerjaan atuh Non. Non harus memikirkan kesehatan Non juga, itu Non sering banget masuk angin,” ucap Bibik ditanggapi oleh Shanum dengan tawa sumbangnya. Ntah sampai kapan dirinya beralasan masuk angin? Padahal dirinya sedang hamil, dan semuanya adalah keinginan cabang bayinya yang ingin makan ini itu dan tidak mau memakan makanan kesukaan ibu. Anaknya akan memiliki makanan kesukaan sendiri nantinya. “Bik, gimana tanggapan Bibik kalau orang hamil di luar pernikahan?” tanya Shanum. Bibik mengerutkan keningnya. “Bodoh Non! Jangan mau berikan yang di bawah sama laki-laki yang bukan suami. Kalau sudah hamil nanti, laki-laki itu bisa saja mengelak. Suami aja masih bisa mengelak pada anaknya. Apalagi cuman berstatus pacaran. Jangan sekali-kali Non sampai kayak gitu. Bibik takut sama pergaulan zaman sekarang, kayak mudah banget kasih bagian bawah sama laki-laki dengan rayuan buaya lelaki, yang bilang; abang cinta sama adek, abang nggak akan tinggalin adek. Adek mau ya lakuin itu. Abang akan tanggungjawab kok! Jangan mau! Semuanya hanya kebohongan!” ucap Bibik gemas kalau sudah menyangkut tentang itu. Shanum terdiam mendengarnya. Dan dia salah satu orang bodoh itu. Mau memberikan bagian bawahnya pada seorang lelaki dengan kata rayuan yang mampu membuat dirinya terayu. Ya Tuhan … dirinya sungguh bersalah dan berdosa padamu. “Non! Bibik bilangin ya, bukan hanya perempuan aja dirugikan tentang hamil di luar pernikahan. Anaknya juga iya. Gimana anaknya nanti setelah besar dibilang anak haram, nggak punya bapak, anak hasil zina dan lainnya. Kasihan mental anaknya. Yang kurang ajar itu orang tuanya, bukan anaknya. Tapi, yang ikut kena imbas juga anaknya.” Shanum semakin terdiam memikirkan apa yang dikatakan oleh Bibik. Seharusnya dia tidak melakukan kesalahan ini, yang membuat mental anaknya juga nanti terganggu. Bukan hanya mental dirinya saja. Sungguh dia memang perempuan bodoh tak tahu diri! “Non habiskan makanannya. Bibik buatkan teh lagi untuk Non, jangan banyak pikiran lagi Non,” ucap Bibik menjauh dan membiarkan Netha sendirian memakan makanannya dan tidak melihat ke arah Netha lagi. Netha yang ditinggal sendirian, tanpa sadar air mata itu kembali menetes, dia dengan cepat menghapus air matanya. Tidak boleh banyak menangis, yang hanya akan membuat kandungannya bermasalah. Netha sudah terlalu banyak berbuat dosa, dan tidak mau semakin berdosa, kalau dirinya mengabaikan kandungannya, dan membuat janinnya di dalam sana kenapa-napa dan merasa stress bersama sang ibu. Netha harus kuat. Nasi sudah jadi bubur. Penyesalan tiada guna. Dan ratapan air mata sudah tidak berarti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD