07 - Terjebak Dalam Kebodohan

2044 Words
Shanum pulang dengan keadaan kuyuh, dirinya kehujanan di jalan dan tidak menaiki kendaraan umum. Tadi Mauren berniat mengantar dirinya pulang, tapi gadis itu segera pergi karena calon suaminya menelepon, untuk melihat gaun pengantin mereka. Sehingga Mauren tidak bisa mengantar Shanum pulang. Shanym memasuki rumahnya dan menatap pada rumah yang kosong dan tidak ada orang di dalamnya. Shanum menduga kalau kedua orang tuanya sedang pergi ntah kemana. Shanum juga malas untuk menghubungi mereka. Shanum berjalan menuju kamarnya, dan melepaskan semua pakaiannya, dan mematut dirinya di depan cermin. Perutnya masih rata. Karena kehamilannya baru berusia dua bulan lebih. Dan belum membuat perutnya menonjol. Tetapi, beberapa bulan lagi perutnya akan menonjol dan membesar. Dia tidak tahu bagaimana cara menyembunyikan perutnya ini. Dari kedua orang tuanya dan orang lain. Memakai pakaian longgar juga tetap akan ketahuan. Karena kehamilan bukan suatu hal yang harus disembunyikan. “Bagaimana aku mengatakan pada orang tuaku?” tanya Shanum bingung. Dirinya kembali menangis, kalau saja dia tidak melakukan kesalahan itu, dirinya tidak masalah dengan Raka yang akan menikah dengan siapa saja. Dirinya tidak peduli. Yang dia pedulikan hanya kandungannya. Dan anaknya yang tidak memiliki ayah. Shanum berjalan ke kamar mandi membersihkan dirinya, dia tidak mau sakit dan membuat kandungannya bermasalah nantinya. Dokter sudah mengatakan pada dirinya, untuk tidak banyak pikiran dan jangan sampai stress karena bisa mengganggu kehamilannya. Shanum telah selesai mandi, dan berjalan keluar dari dalam kamarnya, mata Shanum menatap pada pembersih rumah. Ya. Yang datang hanya sekali seminggu atas perintah ibunya. Agar ibunya tidak terlalu kelelahan, dan tukang bersih itu juga membawa pakaian kotor yang akan dicuci. “Bik… Mama dan Papa mana?” tanya Shanum duduk di meja makan, dan mengambil manga di keranjang buah. Shanum mengerucutkan bibirnya, dia sangat ingin makan manga muda. Tapi di rumahnya tidak ada. Dan malahan hanya ada manga masak yang tidak terlalu enak. Tapi, Shanum tidak mungkin mencari mangga muda yang akan membuat orang curiga pada dirinya. “Non Shanum makan mangga? Biasanya Non nggak suka sama buahan kayak gini.” Tubuh Shanum menegang, dan menatap pada Bibik yang meletakkan berbagai macam makanan di meja makan. Shanum baru menyadari, dirinya hanya menyukai buah anggur dan salak. Dan dia tidak pernah memakan buah mangga yang bagi dirinya buah ini adalah buah masam yang akan membuat perut sakit. “Hem … Shanum tadi nonton video Bik. Dan Shanum jadi pengen.” Tawa Shanum renyah. Bibik ikut tertawa mendengarnya. “Kayak orang ngidam ya Non. Tadi Bibik juga ambil satu. Masam! Keadaannya aja udah masak, ternyata masam.” Ujar Bibik yang sekali lagi membuat Shanum terpaksa tersenyum. “Nggak masam kok Bik. Ini manis.” Kata Shanum memasukkan satu potong mangga itu ke dalam mulutnya. Ya. dia merasakan manis saat mencicipi buah mangga itu. Membuat Bibik mengerutkan keningnya, dan mengambil satu potong buah mangga yang telah di potong oleh Shanum di piring kecil. Bibik langsung merasa masam. Apanya yang manis? “Masam ini Non! Bibik aja nggak sanggup makannya. Kok, Non sanggup makannya sih? Non kayak orang hamil aja!” kata Bibik menjauh dari situ, membuat Shanum terdiam dan terus memakan buah mangganya. Dia tidak boleh memakan ini tadinya di depan orang lain. Karena orang yang dekat dengannya, tahu apa saja yang tidak disukai oleh dirinya dan apa yang disukai olehnya. Mata Shanum melirik pada goreng ayam balado cabe rawit. Shanum ingin muntah melihat itu, dan langsung beranjak dari ruang makan dan berjalan menuju kamarnya dengan cepat. Bibik yang menatap Shanum pergi dengan membekap mulut langsung mengerutkan keningnya. Dia tahu ada yang tidak beres dengan anak majikannya itu. Melihat Shanum yang memakan buah yang tidak disukai olehnya. Dan juga menatap ayam goreng kesukaannya dan ingin muntah. Apakah yang ada dipikirannya sekarang benar? Tapi, mana mungkin Shanum berbuat seperti itu. Shanum itu orangnya sangat pandai menjaga diri. Dan dia selalu takut berdekatan dengan lelaki, bahkan dia terbilang anak baik-baik yang selalu memakai pakaian sopan dan tidak terlalu terbuka. “Ah! Mungkin Non Shanum lagi tidak enak badan. Dia baru pulan dalam keadaan kehujanan,” ucap Bibik dan melanjutkan pekerjaannya, dan tidak memikirkan Shamu lagi. Shanum yang berada dalam kamar, terus memuntahkan cairan yang hanya keluar bening. Dirinya menglap mulutnya dan keluar dari dalam kamar mandi. Shanum duduk di atas ranjang, dan menangis tersedu. Disaat dirinya mengalami mual seperti ini, tidak ada sosok Raka di sampingnya. Yang ada dirinya harus berjuang sendirian menutupi ini ntah sampai kapan. “Shanum…” Shanum menatap pada pintu kamar yang terbuka, menampilkan wajah ibunya. “Kamu sudah pulang?” tanya Mia—sang ibu yang tersenyum pada dirinya. Shanum mengangguk. “Sudah Ma. Memangnya kenapa?” tanya Shanum balik. Mia menggeleng. “Nggak ada. Ini Mama bawakan terang bulan untuk kamu. Di makan ya. Kamu tampak pucat. Kata Bibik tadi, kamu tadi kehujanan pulangnya. Mama sudah sering bilang sama kamu, jangan hujan-hujanan! Kamu itu dari kecil nggak bisa hujan-hujanan. Tadi kamu telepon Papa aja. Biar Mama dan Papa susulin kamu,” omel Mia masuk ke dalam kamar, dan duduk di samping putrinya. Mia meraba kening Shanum dan membawa Shanum ke dalam pelukannya. “Tadi Mama ketemu sama Mauren. Kata Mauren kamu baru putus cinta. Kamu ini. Kalau dia udah nggak sayang kamu, kamu jangan sedih. Kamu itu cantik, baik, dan masih banyak yang mau sama kamu. Mau Mama kenalin ke anak teman Mama?” tanya Mia berusaha untuk menghibur putrinya ini. Shanum menggeleng. Dia tidak mau dikenalkan dengan siapa pun. Dia tidak mau membuat lelaki lain yang merawat anaknya ini. Dan paling parah kalau lelaki itu menghina dirinya, dengan mengatakan kalau dirinya tidak bisa menjaga diri. Shanum tidak akan melakukan itu. “Tidak usah Ma. Lagian Shanum tidak masalah putus. Dan kalaupun Shanum dikenalkan sama anak teman Mama. Bisa aja mereka nggak suka sama Shanum. Shanum tidak sebaik yang orang-orang kira.” Shanum tertawa sumbang, mengode ibunya, yang ingin ibunya tahu kalau Shanum sekarang sudah menjadi anak yang tidak bisa dibanggakan oleh ibunya lagi. Dia sudah hancur. Dengan mengandung dan ayah dari anaknya tak mau bertanggung jawab. Apalagi yang harus dikatakan baik dari dalam dirinya yang kotor ini? Dirinya yang tidak bisa menjaga kehormatan, dan mau saja dibujuk rayu oleh setan seperti Raka. “Kamu jangan bilang kayak gitu! Banyak yang mau sama kamu sayang. Kamu saja yang nolak. Kamu tahu anak Pak Ustadz di depan gang? Dia mau ta’aruf sama kamu. Tapi, Mama nggak bisa jawab. Karena semunya tergantung pada diri kamu sendiri. Urusan jodoh biar kamu yang pilih. Asalkan kamu nggak berbuat di luar batas. Dengan hamil di luar nikah. Mama nggak akan bisa membayangkan itu terjadi Shanum. Mama sungguh membenci orang yang tidak bisa menjaga dirinya.” Perkataan dari ibunya, membuat Shanum semakin ketakutan. Dan dia semakin tidak berani untuk mengatakan pada ibunya, apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Dia yang telah hamil, dan Raka tang mau bertanggung jawab. “Mama tak akan memaafkan Shanum, kalau seandainya Shanum melakukan itu?” tanya Shanum takut. Mia mengangguk. “Iya. Mama tidak akan pernah memaafkan kamu. Papa kamu juga. Karena di keluarga kita itu sebuah aib yang besar. Di keluarga kita tidak ada yang melakukan kesalahan itu Shanum! Kita semuanya selalu memberikannya setelah menikah. Dan bahkan kita taka da pacaran dan langsung dijodohkan. Seperti Mama dan Papa yang dijodohkan.” Jawab Mia membuat Shanum menelan salivanya kasar. Apa yang dikatakan oleh ibunya memang benar. Kalau dalam keluarga Shanum itu, tidak ada yang namanya hamil di luar nikah dan pacaran saja jarang. Mereka lebih memilih dijodohkan. Shanum seharusnya mengikuti jejak para keluarganya. Dan tidak terbuai dengan kata pacaran dan perhatian yang diberikan oleh Raka dulu pada dirinya. “Kamu sekarang makan terang bulannya. Mama mau keluar dulu. Mama nggak mau kamu sakit, dan kalau badan kamu panas langsung minum obat,” ujar Mia mengacak rambut putrinya dan berjalan keluar dari dalam kamar putrinya. Shanum segera mengunci pintu kamar itu, dan merogoh tasnya dan melihat foto USG yang ada dalam tasnya. Yang mana foto itu dipeluk olehnya, dan menangis tersedu. Bukan hanya tak diakui oleh Raka. Shanum sebentar lagi pasti tidak akan diakui oleh orang tuanya. Maafkan Shanum. Shanum tidak tahu harus berkata apa pada semuanya. Shanum mencium foto USG itu dan meletakkan ke dalam tempat make-up dirinya. Dia tidak mau ada orang tahu foto ini dan semakin membuat dirinya terusir dari sini. Shanum meringkuk di atas ranjang, dan perlahan matanya memejam dan tidak tahu kapan dirinya tertidur dalam keadaan menangis. Shanum mengerjapkan matanya, ketika melihat cahaya matahari yang masuk ke dalam kamarnya, dan segera beranjak dari ranjangnya. Shanum sudah berhenti bekerja. Kemarin atasannya mengirim pesan, untuk tak datang lagi, dan Shanum sudah dipecat karena dia sering libur. “Shanum! Kamu di dalam! Aku mau bicara sama kamu!” Shanum mengerutkan keningnya mendengar suara Mauren yang mengedor pintu kamarnya. Shanum segera beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju pintu kamar dan membukanya. Shanum tersenyum pada Mauren yang langsung memeluk dirinya. “Aku lagi seneng banget. Kamu tahu? Kalau calon suami aku baru aja beli rumah untuk kami tinggali berdua setelah nikah. Padahal biaya nikah kita itu nggak kecil. Dia dengan gampangnya beli rumah!” decak kagum Mauren terdengar ketika menceritakan calon suaminya. Shanum ikut senang mendengarnya. “Selamat ya, itu berarti dia sayang banget sama kamu,” ujar Shanum membawa Mauren masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamar setelahnya. Shanum merasa iri pada Mauren. Yang mendapatkan kebahagiaan tidak terhingga, karena dipinang oleh pria baik dan tidak mengalami nasib seperti dirinya. Ah! Mauren itu gadis cerdas yang pandai menjaga dirinya yang membuat dia dijodohkan oleh orang tuanya. “Aku nggak nyangka sih Shanum. Dia itu cuek loh. Tapi, kalau soal perhatian. Beuh! Dia nomor satunya. Dia sampai masakin aku makanan, karena aku pernah nggak makan dari pagi sampai sore. Dia langsung marah dan ke rumah bawa makanan.” Cerita Mauren begitu semangat dan tidak melunturkan wajah bahagianya pada Shanum. Shanum yang mendengar itu mengangguk. “Kamu beruntung dapatin dia. Kamu jangan siain dia. Dan jadi istri yang baik,” Shanum menasihati. Tidak mau sahabatnya ini merasakan sakit hati nantinya. Yang mana rasa sakitnya melebihi apa pun. Dan membuat kita seakan menjadi orang gila. “Aku bakalan menjadi istri yang baik. Aku akan menjaga suamiku sebaik mungkin. Dan tidak akan membiarkan para perempuan di luaran sana yang mau merebut suami aku!” ucap Mauren, memang akan menjaga suaminya sebaik mungkin. Dan tidak akan membiarkan para betina yang kelakuan macam l***e mendekati dan mencoba menggoda suaminya. Shanum tertawa kecil mendengarnya. “Kamu memang harus menjaganya. Terus kamu ngapain di sini? nggak siapin pernikahan kamu?” tanya Shanum, bingung dengan keberadaan sahabatnya yang ada di sini dan tidak pergi menyiapkan pernikahannya. Mauren menyengir. “Aku mau cerita sama kamu. Mangkanya aku di sini. Kata Mama kamu, semalam kamu kehujanan. Aku minta maaf, soalnya nggak bisa antar kamu pulang,” rasa bersalah Mauren menyeruak mengetahui kalau sahabatnya kehujanan pulang dari mereka makan siang bersama itu dan sedikit bercerita. Shanum menggeleng. “Kamu nggak perlu merasa bersalah. Aku nggak papa kok. Cuman basah aja. Kamu mau minum apa? Biar aku buatin.” Shanum akan beranjak dari tempat duduknya, dan akan membuatkan minuman untuk Mauren. “Nggak usah. Aku juga mau pergi. Aku ke sini cuman mau bilang. Kamu jangan patah hati lagi. Banyak lelaki di luaran sana dan kamu bisa milih sambil mejamin mata. Dan kamu jangan lupa untuk datang ke pernikahan aku! Awas kalau nggak datang!” ancam Mauren membuat Shanum tertawa mendengarnya. Shanum mencubit pipi Mauren gemas. “Iya, Maurenku sayang. Aku akan datang. Mana mungkin aku nggak datang ke pernikahan sahabatku sendiri.” Ucapan Shanum gemas pada sahabatnya ini. Mauren menyengir. “Kalau kamu nggak datang. Aku nggak mau ketemu kamu lagi!” ancam Mauren. Shanum semakin tertawa mendengarnya. “Iya. Aku datang! Sana urus pernikahan kamu. Kamu ini, yang nikah kamu malah nyantai di sini.” omel Shanum. Mauren memeluk Shanum sebelum pergi dari hadapan Shanum. “Aku pergi dulu. Nanti jangan lupa buat datang!” kata Mauren melambaikan tangannya dan keluar dari dalam kamar Shanum. Shanum yang melihat kepergian Mauren menghela napasnya kasar. Seandainya dia tidak bodoh. Mungkin sekarang dia bisa menerima tawaran ibunya untuk dikenalkan pada anak teman ibunya. Namun, penyesalan tiada artinya. Shanum tidak bisa balik ke masa lalu dan berubah menjadi yang lebih baik. Shanum akan tetap seperti ini, yang mana dia yang sudah membuat dirinya seperti ini. Terjebak dalam kebodohan yang diciptakan oleh dirinya sendiri. Dan tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD