Kencan Pertama

1506 Words
Untuk ke sekian kalinya Sebastian membubuhkan hand sanitizer pada telapak tangan, sebelum akhirnya dia menikmati makanan yang dibeli Sienna dari foodcourt di dekat bioskop beberapa saat sebelum pemutaran film dimulai. Dua porsi burger dengan kentang goreng dan minuman ringannya menjadi menu utama petang itu. "Kau yakin ini aman untuk dimakan?" Pria itu menatap roti bulat berisi daging dan sayuran juga saus yang Sienna tambahkan di dalamnya. "Kau bercanda ya? Tentu saja aman." Sienna menjawab, lalu dengan lahapnya dia menikmati makanan itu dan sesekai menyesap minuman dingin dengan bongkahan es yang penuh di dalamnya. "Kau tidak suka burgernya? Kenapa tidak meminta yang lain? Malah membiarkan aku memesannya untukmu?" Sienna berhenti sejenak lalu menatap suaminya yang terdiam menatap makanan cepat saji tersebut. "Umm … tidak, hanya saja …." "Ini aman, dan juga enak. Lihat?" Lalu perempuan itu kembali menggigit pinggiran roti dan mengunyahnya dengan semangat. "Dan aku masih hidup! Apa kau terkejut?" katanya, sambil menunjukkan burger miliknya. Sebastian tertawa, lalu dia memberanikan diri untuk membuka bungkusan dan menyentuh makanan dari gerai asal negeri Paman Sam itu. "Makanlah, tidak apa sesekali mengkonsumsi junkfood. Asal tidak setiap hari, maka nyawamu aman-aman saja." Sienna meneruskan kegiatan makannya. Dan Sebastian akhirnya mengikuti apa yang dia lakukan meski rasanya agak ragu. "Enak kan?" Sienna berhenti lagi untuk menatap suaminya. "Rasanya biasa saja. Roti diisi daging dan sayuran," ujar Sebastian yang membuat perempuan itu tertawa. "Lebih enak masakanmu, makanya aku tidak suka kuliner barat karena tak ada rasa garam dan bumbunya sama sekali." Lalu Sebastian meletakkan kembali burger di nampan setelah menggigit pinggirannya sedikit. "Eh?" "Serius." Dia menenggak air mineral yang sengaja dibelinya dari gerai tersebut. "Dan jangan terlalu banyak meminum soda dingin seperti itu, tidak baik untuk gigimu." Dia menatap Sienna yang dengan semangatnya menyesap isi cup hingga habis setengahnya. "Sesekali tidak apa, Pak Dokter. Untuk menikmati hidup agar tidak monoton." Sienna menjawab. "Yeah, tapi …." "Jangan terlalu banyak, aku tahu." Lalu dia melanjutkan kegiatan makannya hingga habis tak bersisa. "Kau perhatian sekali kepadaku, dan aku menyukainya." Dia bergumam dengan sedikit cengiran khasnya. "Kau mau punyaku?" Sebastian menggeser nampannya yang masih utuh ke depan Sienna yang telah menyelesaikan kegiatan makannya. "Memangnya serius kau tidak mau?" "Sepertinya aku memilih untuk menunggu sampai rumah saja untuk makan. Perutku tidak terbiasa dengan junkfood, dan kau tahu dari dulu aku tidak suka makanan seperti ini." "Lalu kenapa kau mengiyakan saja waktu aku memilihkannya untukmu?" "Hanya agar kau tak bingung." Pria itu sedikit tertawa. "Seharusnya tidak begitu. Kalau tidak mau ya jawab saja tidak mau. Tidak suka ya katakan tidak suka, aku ini bukan pemaksa lho." "Serius? Tapi sore ini kau membuatku menurutimu untuk pergi ke tempat seperti ini dan mengikuti semua yang kau katakan. Memakan junkfood, lalu membeli minuman soda yang tidak baik untuk kesehatanmu. Setelah ini apa lagi? Mengikutimu untuk nonton film di bioskop?" Sienna tergelak. "Katamu itu imbalan karena minggu ini aku sudah bekerja dengan baik, bukan? Memangnya apa yang kau harapkan?" Sebastian menggeleng pelan. "Baiklah, sudah waktunya!" Sienna merapikan bekas makannya, lalu bangkit. "Waktunya apa?" "Nonton, ingat?" Perempuan itu menunjukkan dua tiket film yang sudah dibelinya sebelum mereka memesan makanan. "Oh astaga, yang benar saja! Bisakah kita menunggu sebentar lagi?" Namun pria itu tetap beralasan seperti beberapa saat sebelumnya. "Tidak bisa, ini kan memang sudah waktunya." Sienna pun bangkit. "Ayolah kau sudah janji. Dan bukankah saat ini kita sedang berkencan? Maka beginilah kencan yang aku maksud." "Benarkah?" "Tentu saja." Dan dengan malas pria itu pun bangkit mengikuti Sienna. "Oh tunggu!" Namun perempuan itu kembali ke meja mereka. "Sekarang apa lagi?" "Makanannya!" Dan dia segera meraup burger milik Sebastian beserta kentang goreng dan minuman dinginnya, kemudian dimasukkan ke dalam bungkusan khusus yang tersedia. "Sayang kalau tidak dibawa, ini kan belinya pakai uang." Sienna cekikikan. "Apa?" Perempuan itu hanya tertawa sambil memasukkan makanannya ke dalam tas, sedangkan cup minuman dinginnya dia genggam untuk dinikmati. "Dasar ibu-ibu!" Pria itu berujar sambil mengekorinya di belakang. *** "Sepertinya kita memilih film yang salah." Sebastian memicingkan mata ketika adegan demi adegan berlangsung di layar besar itu. Suara cukup menggelegar dan itu terasa mengganggu baginya. "Tidak, ini seru! Aku sudah lama punya rencana ingin menontonnya sejak mereka merilis trailernya tiga bulan yang lalu." "Seru kepalamu! Aku kira kau akan memilih film romantis karena ini kencan pertama kita." Sebastian bersungut-sungut, namun Sienna malah tertawa. "Ini juga ada romantis-romantisnya, tunggu saja. Kau ini tidak sabaran sekali sih?" "Romantis mana? Yang ada hanya adegan baku tembak dan perkelahian hampir dua jam ini, dan aku mulai merasa pusing." "Ssssttt!" Seseorang di belakang memprotes percakapan mereka yang tidak berhenti sejak setengah jam terakhir. "Diamlah! Nanti orang-orang ini akan marah karena kau terlalu berisik!" Ucap Sienna yang memilih menurunkan tubuhnya sedikit karena merasa malu ketika beberapa orang mulai melihat ke arah mereka. Dan adegan demi adegan itu terus berlangsung hingga mereka tiba di akhir. Di mana si pemeran utama yang merupakan pasangan polisi dan wartawan perempuan berhasil memecahkan kasus kriminal rumit yang membuat mereka bertemu. Lalu keduanya berciuman dengan begitu manisnya sebagai tanda bahwa film itu berakhir. "Huh, persis seperti yang aku bayangkan!" Pasangan itu berhasil keluar setelah dengan terpaksa mengantri meski Sebastian sempat menolak untuk masuk ke dalam kerumunan orang-orang. "Memangnya apa yang kau pikirkan?" Pria itu memeriksa apakah dirinya baik-baik saja setelah mengikuti Sienna masuk ke dalam bioskop seperti kebanyakan orang? "Film romance action yang bagus." Mereka kini sudah berada di area parkir setelah kembali berdesakan di lift. Hal yang sebenarnya benar-benar tak Sebastian sukai. "Aku tidak mengerti hal-hal seperti itu. Dan apa bagusnya nonton di bioskop, toh kita bisa melakukannya di rumah? Dengan suasana santai dan kondusif yang aman dan tidak akan merasa terganggu oleh orang lain. Sienna berhenti berjalan dan hal tersebut membuat Sebastian berhenti juga. "Kenapa? Ada yang salah dengan ucapanku?" Pria itu menoleh. "Aku jadi berpikir …." Lalu Sienna melanjutkan langkahnya. "Berpikir soal apa?" Pria itu mengeluarkan kunci mobil ketika mereka sudah tiba di dekat kendaraan miliknya. "Bagaimana masa remajamu? Apakah kau tidak pernah pergi keluar rumah karena OCD dan Mysophobiamu?" Sebastian membuka pintu untuk Sienna. "Sebastian?" Perempuan itu kembali bertanya setelah mereka sama-sama berada di dalam mobil. "Apakah kau menjalani masa remajamu dengan sulit?" tanya nya lagi meski Sebastian tak langsung merespon. "Pak Dokter?" ujar Sienna untuk menarik perhatian suaminya. "Kau pikir bagaimana orang seperti aku menjalani hari-hari sebelum denganmu?" Sebastian memacu mobilnya membelah jalanan ibu kota yang cukup ramai. Jakarta memang sepertinya tak pernah sepi meski hari sudah beranjak malam. Namun malah lebih ramai karena ini merupakan akhir pekan. Kafe-kafe semakin disesaki pengunjung dan pusat hiburan malam mulai bergeliat. Mereka bersiap untuk menyuguhkan kesenangan bagi siapa saja yang datang. "Ya seperti yang selama ini aku tahu." Perempuan itu menjawab. "Itu kau tahu, lalu kenapa masih bertanya." "Hanya penasaran saja." "Terlalu penasaran juga tidak baik, Sienna. Nanti malah akan membuatmu mengalami masalah." "Masalah apa?" "Masalah hidup." "Sejauh ini masalah hidupku hanya satu." "Apa?" "Terlalu sering memikirkanmu." Perempuan itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan, namun Sebastian tampak mendengus kesal. "Kenapa? Ucapanku receh sekali ya? Tapi aku senang mengatakannya karena membuatku merasa lucu." Dia tertawa lagi. "Lucu kepalamu!" Sebastian bergumam, namun di dalam hatinya dia merasa gembira. "Ah, lama-lama perempuan ini membuatku merasa tidak tahan juga." Batinnya bermonolog. "Serius. Apakah itu artinya aku jatuh cinta kepadamu?" Sienna mencondongkan tubuhnya ke arah pria itu yang membuatnya menginjak rem secara mendadak karena merasa terkejut. "Sebastian!" Membuat Sienna juga merasa terkejut dan dia hampir saja terantuk. "Maaf, ada yang tiba-tiba menyeberang." Pria itu beralasan. "Huh, terlalu lama berada di dekatmu membuatku mengatakan hal-hal konyol!" Sienna menggerutu. "Tapi mengapa aku menyukainya?" Sebastian bergumam dalam hati. *** "Aku tidak menyangka kalau pergi jalan-jalan bisa sangat melelahkan seperti ini padahal cuma sebentar." Sienna mengikuti Sebastian masuk ke dalam kamarnya, lalu dia segera menjatuhkan tubuhnya yang lelah di tempat tidur. Tentu saja hal tersebut membuat si empunya kamar tertegun dengan rasa heran dan sedikit terkejut. "Kenapa? Apa ada yang aneh?" Lalu Sienna berguling dan mendongakkan wajahnya. "Kau lupa sesuatu?" ujar Sebastian yang meletakkan tas dan melepaskan jaketnya. "Lupa soal apa? Sepertinya tidak." Sienna kembali berguling dan merentangkan tangannya sambil menggeliat. "Kau masuk ke dalam kamarku dan tiduran di ranjangku." Pria itu setengah berbisik. "Apa ini bagian dari kencan dan rayuanmu?" lanjutnya, dan dia menatap perempuan itu sambil melepaskan tautan kancing pada kemejanya. "Umm …." Sienna mengerutkan dahi. "Kau benar-benar sedang merayuku ya, Sienna?" Sebastian tampak menyeringai. "Kau serius dengan ucapanmu, hum?" Pria itu mendekat ke tempat tidur ketika di saat yang bersamaan Sienna bangkit saat menyadari kekonyolannya. "Aku lupa. Soalnya tiga hari ini aku terbiasa masuk dan tidur di sini karena ada orang tuamu. Padahal tadi pagi mereka pulang ya?" Dia sedikit tergagap. "Hmm … bagaimana kalau kita meneruskannya saja? Bukankah …." "Eee … tidak! Aku hanya lupa!" Perempuan itu segera menghindar dan dia berjalan cepat ke arah luar. "Hey, Sienna? Bukankah kita harus punya anak? Mengapa tidak dimulai malam ini saja?" Sebastian berteriak sambil mengikutinya. "Maaf, Sebastian. Aku belum siap!" Dan perempuan itu segera masuk ke dalam kamarnya di seberang lalu mengunci pintunya rapat-rapat. "Memangnya siapa juga yang mau? Baru berdekatan saja aku sudah takut apalagi sampai menyentuhmu? Bisa-bisa aku mati!" Sebastian bergumam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD