Hubungan Normal

1426 Words
"Sienna? Ayo bangunlah!" Sudah ketiga kalinya Sebastian mengetuk pintu kamar Sienna. Waktu sudah menunjukkan pukul satu lewat tengah malam tapi dirinya tetap tak bisa memejamkan mata. Rasa lapar di perut bahkan lebih besar dari kantuk yang sempat dia lampiaskan pada dua jam sebelumnya. "Sienna, aku …." "Apa?" Perempuan itu akhirnya membuka pintu. "Nah, kau bangun juga rupanya?" Wajah Sebastian tampak sumringah. "Ada apa? Aku ngantuk sekali, tidakkah kau tahu jika aku sangat kelelahan? Seharian bekerja lalu kita pergi ke mall kau pikir tidak menghabiskan tenaga?" Kekesalan tampak kentara di wajah kusut Sienna. Tentu saja, bagi sebagian orang di jam-jam seperti itu merupakan waktu yang sangat nikmat untuk tidur. "Tapi aku lapar. Bisakah tolong kau buatkan makanan dulu untukku? Setelah itu kau bisa tidur lagi." Sebastian sedikit memelas. Sienna tampak mengucak kedua matanya yang terpaksa dibuka lebar-lebar. Dia baru ingat, jika sebelum nonton film tadi sore, pria itu memang hanya mengunyah segigit pinggiran roti dan setengah air mineral saja. "Hah … kau ini merepotkan saja, Pak Dokter. Tidak di rumah sakit, tidak disini." Sienna melenggang keluar dari kamarnya dengan hanya mengenakan celana super pendek, tanktop dan rambutnya yang digulung asal. Namun itu sudah cukup untuk menyita perhatian Sebastian. *** "Nah, makanlah." Sepiring nasi goreng bertabur daging cincang dan sayuran menjadi menu makan tengah malamnya Sebastian saat itu. Wanginya yang nikmat menguar di udara, menggoda selera pria itu yang memang sudah kelaparan sejak tadi. Namun dia tidak segera melahap makanannya. "Ayo makan, bukannya kau lapar?" Sienna menggeser piring itu lebih dekat lagi kepada Sebastian. "Sebastian?" "Masih panas tahu!" Pria itu mengambil serbet kemudian menyeka pinggiran piring untuk menghilangkan bekas minyak dan remahan nasi. Sienna lupa jika suaminya harus serba teratur, sempurna dan tak ada kesalahan. "Hanya nasi goreng, Sebastian." Perempuan itu duduk bersedekap di depannya. "Tapi ini makananku." Sebastian meletakkan serbet setelah yakin apa yang akan dimakannya sesuai dengan keinginannya. Sementara Sienna hanya mendengus menatap hal itu. "Sebastian?" Sienna mencondongkan tubuhnya dan melihat pria itu yang sibuk melahap nasi goreng buatannya. "Hum?" "Bagaimana rasanya jika hal-hal di sekitarmu tak sesuai dengan keinginanmu?" Dia bertanya. "Apa lagi? Ya aku marah." Sebastian tetap fokus pada makanannya. "Kenapa marah?" "Karena itu membuatku tidak senang." "Bagaimana jika seseorang tidak melakukan seperti apa yang kau lakukan?" Sienna bertanya lagi. "Tidak bagaimana-bagaimana. Hanya saja aku pasti akan emosi." Mereka tertawa. "Aku aneh, kan?" Sebastian menatap perempuan di depannya. "Tidak. Kau hanya OCD." Sienna meneguk minuman miliknya yang dia ambil sebelum mereka duduk bersama seperti itu. "Hanya OCD?" "Ya, hanya OCD. Apa buruknya soal itu?" "Menurutmu begitu? Karena bagi sebagian orang aku ini aneh." "Aku kenal kau, dan aku paham bagaimana dirimu dan apa yang harus aku lakukan soal itu, jadi … menurutku kau biasa saja selain di waktu-waktu tertentu." "Begitu?" "Ya." Sebastian terdiam sebentar. Mengapa ini rasanya menyenangkan? Menatap perempuan itu dan mendengarnya berbicara demikian membuatnya merasa sedikit istimewa. Walaupun Sienna menyebutnya biasa tapi itu seperti sebuah pembelaan baginya. "Kau mau?" Sebastian menggeser piring yang isinya sudah habis setengahnya. "Tidak. Kau habiskan saja lah." Sienna menolak kemudian dia beranjak dari tempat itu. Dan ruang tengah menjadi pilihannya. Alih-alih kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidur yang terganggu, Sienna malah menyalakan televisi untuk mengusir kebosanan. "Kau tidak kembali tidur?" Sebastian bergabung setelah beberapa saat dia menyelesaikan acara makannya. "Rasa kantukku jadi hilang." Perempuan itu duduk bersandar pada kepala sofa. "Aku membuat kantukmu hilang ya?" Sebastian tertawa sambil menyampirkan selimut kecil pada tubuh Sienna yang hanya berbalut tanktop dan celana pendek. "Umm …." "Terkadang pemandangan seperti ini sedikit mengganggu." Sebastian berujar. "Dan membuatku merasa tidak baik-baik saja." Setelah itu, dia pun duduk menyandarkan punggungnya di samping Sienna. Dan perempuan itu baru sadar dengan penampilannya. Dia lantas menarik selimut tersebut untuk menutupi seluruh tubuhnya. "Sienna?" Sebastian kembali berbicara setelah mereka terdiam untuk beberapa saat. Meski pandangan tetap tertuju pada layar televisi namun pikiran keduanya melayang entah ke mana. "Ya?" "Bagaimana rasanya hidup denganku?" Pria itu melontarkan pertanyaan yang membuat Sienna mengalihkan pandangan. "Apa?" Lalu dia menatap wajah Sebastian. "Bagaimana rasanya hidup dengan orang seperti aku?" Dia juga menoleh, dan mereka sama-sama saling menatap. "Kenapa kau bertanya hal semacam itu?" Sienna balik bertanya, dan saat ini jantungnya berdebar kencang. Suasananya jadi terasa sedikit menegangkan padahal ini bukan pertama kalinya mereka berduaan. Dan delapan bulan bukanlah waktu yang sebentar bagi dua manusia yang tinggal seatap untuk saling mengenal sifat masing-masing. Sehingga mereka bisa memahami satu atau dua kebiasaan yang sering dilakukan. Setidaknya bagi Sienna, dia dapat mengerti keadaan pria yang dinikahinya sebagai timbal balik atas apa yang kedua orang tuanya lakukan untuknya itu. "Apa kau nyaman hidup denganku?" tanya Sebastian lagi dan tatapannya kini melembut. "Nyaman? Entahlah. Rasanya biasa saja seperti kau hidup pada umumnya. Hanya saja semuanya lebih teratur dan lebih terorganisir. Aku tidak bisa sembarangan menyentuh barang yang bukan milikku, dan aku tak bisa berinteraksi seenaknya seperti …." Sienna menggantung kata-katanya. "Seperti apa?" Sebastian tidak memalingkan pandangannya sama sekali. "Seperti … dengan orang lain." Perempuan itu melanjutkan. "Kau pernah berinteraksi dengan orang lain sebelum denganku?" Entah mengapa pikiran Sebastian malah berputar pada hal lain. Membayangkan perempuan yang saat ini telah jadi istrinya pernah memiliki hubungan dengan pria sebelum dirinya membuat dia sedikit kesal. "Ya." "Apa? Siapa?" Sienna terdiam untuk mengingat. "Banyak," katanya kemudian. "Bayak?" Pria itu membeo, dan raut wajahnya sedikit berubah. "Ya, banyak." Sienna mengangguk pelan. "Bagaimana hubunganmu dengan orang lain?" Pria itu terus bertanya karena ingin tahu lebih jauh untuk mengenali apa yang saat ini dia rasakan. "Normal, seperti biasa." Sienna masih berpikir. "Maksudmu dengan normal?" Sebastian sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah perempuan itu. "Tidak seperti denganku?" katanya lagi, dan dia merasa tidak terima dengan hal itu. "Lho?" Sienna sedikit bergeser karena sikap pria itu yang tak seperti biasanya. "Katakan definisi normal yang kau maksud!" "Ya … tidak seperti denganmu." "Apa? Jadi untuk mu aku tidak normal? Bukankah kita sudah kencan dan melakukan seperti apa yang sering kau lihat di drama Korea dan n****+-n****+ yang kau baca?" Sebastian menggerutu. "Bukan, maksudnya …." "Lalu, hal normal apa lagi yang harus aku lakukan sehingga kau akan merasa bahwa hubungan kita juga normal?" "Umm … tidak ada. Kita kan sudah normal. Bekerja, menikah, hidup serumah dan melakukan beberapa hal bersama?" Sebastian terdiam. "Terkadang saling memperhatikan juga. Aku rasa itu sudah normal." Lalu Sienna tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan. "Memangnya apa yang ada di pikiranmu soal hubungan normal? Pergi bersama dan melakukan hal-hal konyol? Kalau itu aku belum pernah, apa lagi yang lebih. Masa remajaku habis untuk sekolah dan bermain. Lalu saat lulus aku langsung menikah denganmu," lanjut Sienna dan hal itu membuat Sebastian tetap terdiam. "Apa kau mau melakukannya denganku?" Kemudian dia bergeser lagi ke dekat pria itu, yang tentu saja membuatnya sedikit terhenyak. "Kau tahu, melakukan hal-hal konyol yang belum pernah kita lakukan?" Sienna memperjelas maksud perkataannya. "Misalnya?" "Entahlah, banyak hal yang belum aku coba." Mereka berdua saling memindai. "Apa aku pria pertama bagimu?" Kemudian Sebastian bertanya. Jantungnya berdebar lebih cepat dan darahnya mengalir lebih deras. Keadaan ini mulai bisa dia nikmati meski cukup membuatnya gugup juga. "Ya." Sienna menjawab tanpa ragu, membuat Sebastian merasakan sesuatu meledak di dalam dadanya. "Jadi apa yang belum pernah kau alami?" Pria itu bertanya lagi. "Semuanya." "Termasuk … bersentuhan dengan siapa pun?" "Ya." Sebastian menelan ludahnya dengan susah payah. Ini terasa seperti dirinya tengah bertaruh pada apa yang tidak diketahui, namun dia ingin melakukannya. Meski rasa takut akan hal lainnya juga muncul mengganggu. Takut dirinya akan merasa tersiksa, takut jika nanti berhenti di tengah jalan, dan takut akan mengecewakan atau bahkan menyakiti perempuan itu. Segala hal di dalam hati dan kepalanya berkecamuk sehingga membuatnya hampir mengalami serangan panik. Namun sentuhan tangan Sienna pada lengannya membuatnya sedikit teralihkan. "Kau mau memulainya malam ini?" Tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari mulut Sienna, membuat Sebastian kembali terhenyak. Dia mencerna setiap kata yang perempuan itu ucapkan untuk memahami maksudnya. Jelas, ada tawaran menggiurkan di dalamnya. "Kenapa aku berpikir jika kau mau memulainya malam ini ya?" Sienna terkekeh karena dia merasa lucu dengan pikirannya sendiri. "Sebastian?" Perempuan itu lebih mendekat. "Kau mau melakukannya malam ini?" tawarnya lagi, dan hal ini menjadi semakin mendebarkan. "Umm … aku tidak tahu. Katamu kau belum siap untuk itu, jadi aku rasa …." "Maka lakukan saja." Namun Sienna menyela kata-katanya. "Apa?" "Tidak akan ada yang terjadi jika kita tidak memulai apa-apa, dan kau tidak akan tahu bagaimana jadinya, maka …." "Kau mengizinkanku melakukannya?" ucap Sebastian. Pertanyaan konyol macam apa itu? Dia membatin. "Jika kau mau, baiklah." Dan Sienna pun menjawab dengan konyolnya. Perempuan itu sempat tertawa, namun di detik kemudian dia terbungkam ketika Sebastian mengulurkan tangan untuk menarik tengkuknya, lalu meraih ciuman yang dalam sekejap mata berubah menjadi cumbuan menggebu-gebu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD