Dokter Dan Asistennya

1082 Words
"Terima kasih, selamat siang. Semoga lekas sembuh ya?" Sienna mengantar pasien sampai di ambang pintu setelah menyelesaikan pemeriksaan dan cek gigi rutinnya. Lalu dia kembali ke dalam setelah memastikan tak ada pasien lainnya di luar. "Jadwal berikutnya jam berapa?" Sebastian mencuci tangannya di wastafel. Gerakan memutar dan menggosok dia lakukan pada sela jari dan telapak tangannya hingga yakin bahwa anggota badannya yang satu itu benar-benar bersih. Dia tak mau ada kuman dan bakteri dari luar masuk ke dalam tubuh dan menyebabkannya sakit. Lalu setelahnya dia menggunakan pengering untuk menghilangkan air pada tangannya. "Sekitar satu jam lagi." Sienna melihat catatannya. "Tidak ada yang daftar mendadak?" tanya Sebastian yang kemudian duduk di kursinya. "Sejauh ini tidak. Mau aku siapkan makan siang?" tawar perempuan itu yang meletakkan buku catatannya di meja lalu dia membereskan semua peralatan yang telah digunakan. "Selesaikan saja dulu pekerjaanmu, aku bisa menunggu." Pria itu menyalakan komputer, dan dia kembali pada apa yang dibacanya. "Baik kalau begitu." Dan Sienna pun melakukan apa yang Sebastian katakan. Dia membersihkan peralatan yang baru saja pria itu gunakan untuk melakukan pemeriksaan kepada pasiennya. Mencucinya hingga benar-benar bersih dan meletakkannya pada rak agar kering jika nanti hendak dipakai lagi, sama seperti biasanya. Lalu Sienna membereskan bangsal pemeriksaan sehingga tempat itu kembali rapi seolah tidak pernah ada yang menggunakannya. Dan dia memastikan semua benda tersimpan di tempat semula dan tak ada satupun yang berubah apalagi berpindah tempat. Bisa murka suami sekaligus atasannya tersebut jika hal itu terjadi. Tidak lupa, terakhir dia membubuhkan cairan antiseptik pada wastafel sehingga baunya menguar memenuhi ruangan. Dan hal tersebut membuat Sebastian menyunggingkan senyum karena itulah yang dia suka. "Sekarang mau aku pesankan? Pekerjaanku sudah selesai." Sienna memutar tubuh dan hal tersebut membuat Sebastian terkejut. Lamunannya buyar seketika saat perempuan itu berbalik padahal dia tengah memandangnya sejak tadi. "Eee …." Sebastian tampak tergagap, apalagi ketika Sienna berjalan mendekat. "Kau mau aku pesankan apa?" tanya nya, yang mengeluarkan ponsel pintar dari seragamnya. "Umm … apa saja." Sebastian menjawab, dan dia pura-pura sibuk dengan komputer di depannya. "Hmm … bagaimana kalau … pasta?" Sienna menatap layar ponsel dan menggulirnya terus ke bawah mencari makanan apa yang akan menjadi menu makan siang mereka. Sebastian belum menjawab. "Atau … seafood? Kau suka seafood kan?" Sienna melihat makanan lainnya, namun pria itu tak memberikan jawaban. "Atau kau mungkin akan suka dengan …." "Kita makan diluar saja," ucap Sebastian dengan tiba-tiba, yang membuat Sienna mengalihkan perhatiannya dari benda pipih di tangan. "Apa?" "Bagaimana kalau kita makan di luar?" ulang pria itu, dan dia bangkit dari tempat duduknya. "Bukankah kita belum pernah makan di luar bersama? Jadi bagaimana kalau kita keluar sekarang?" lanjutnya, seraya melepaskan jas putihnya. Sienna menatapnya untuk beberapa saat. Ucapan Ssbastian memang benar adanya jika mereka berdua memang belum pernah keluar bersama sejak menikah sekitar delapan bulan yang lalu. Dan ini adalah pertama kalinya pria itu mengajaknya, sehingga Sienna merasa heran. "Kenapa? Aku aneh ya? Tidak biasanya?" Sebastian sedikit tertawa. "Aku rasa sesekali makan diluar tidak ada salahnya. Meskipun untukku sepertinya akan sedikit sulit." Sienna tersenyum. Lalu dia meraih cardigan yang tersimpan di rak peralatan bagian paling bawah untuk dikenakan. "Tidak apa, aku akan memandumu," ujar perempuan itu, dan mereka bersiap untuk pergi. *** Sebuah kafe yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah sakit menjadi pilihan untuk makan siang, dan mereka sudah memesan setibanya di tempat itu. Sebastian, seperti biasa mengatur ulang peralatan makan yang sudah tersedia seolah itu semua diletakkan pada posisi yang salah. "Terima kasih." Sienna menerima pasta yang dipesannya dari pelayan. "Tidak, bukan begitu!" Sebastian mengangkat kembali piring yang diletakkan oleh pelayan lalu dia merapikan semuanya sendiri. Mengatur apa yang ada di dalamnya hingga dia merasa semuanya benar lalu meletakkannya di meja. Sementara Sienna mengisyaratkan kepada pelayan untuk membiarkannya saja. "Terima kasih," katanya setelah semua selesai. "Kau tahu, inilah sebabnya aku tidak suka pergi keluar rumah apalagi makan di suatu tempat." Berkali-kali Sebastian membersihkan sendok dan garpu dengan tisu. "Mereka tidak meletakka benda-benda dengan benar." Lalu dia kembali membenahi letak gelas dan benda lainnya. "Dan aku merasa harus mengaturnya dengan benar karena jika tidak, maka aku tidak senang." Pria itu tampak panik. "It's okay, Sebastian. It's okay." Sienna menyentuh tangan pria itu. "Sebaiknya kau tidak usah memaksakan jika memang tidak mau. Bukankah selama ini kita selalu makan di ruanganmu?" ujar perempuan itu yang mencoba menenangkannya. "Tapi aku ingin memulai sesuatu yang tidak ada hubungannya denganku. Dan aku rasa itu akan sangat bagus jika aku bisa seperti orang lain. Kau tahu, ini …." Sienna meremat tangan suaminya. "Tidak harus seperti orang lain. Tapi usahakan saja agar dirimu merasa nyaman di manapun kau berada." Sebastian menatap wajahnya. "Jika tak bisa pergi ke tempat umum, mengapa kita harus memaksakan?" Lalu perempuan itu memulai kegiatan makannya. "Aku … hanya ingin membuatmu merasa senang, Sienna." "Dengan begini aku sudah senang. Kau sudah berusaha keras, terima kasih." Dia menepuk-nepuk lengan Sebastian, meski tetap saja setelahnya pria itu mengusap nya seolah sedang menyingkirkan kotoran. Namun Sienna hanya tertawa. Dia sudah sangat terbiasa dengan hal ini. *** "Oh iya, apakah aku sudah memberitahumu jika minggu depan ada reuni SMA?" Mereka kembali ke rumah sakit setelah beberapa saat. "Reuni? Di sekolahmu?" Sebastian memalingkan wajah kepada perempuan di sampingnya. "Ya." "Dan kau akan datang?" Lalu Sebastian bertanya. "Tentu saja. Bertemu dengan teman-teman itu sangat menyenangkan. Kau bisa mengenang masa-masa indah saat sekolah dan tertawa bersama lagi seolah itu baru saja terjadi." Sienna dengan bersemangat. "Teman-temanmu semasa sekolah banyak ya?" Keduanya masuk ke dalam ruangan dan bersiap untuk kembali bekerja. "Lumayan." "Tapi aku tidak punya teman sama sekali." Dan sebastian kembali mengenakan jasnya. "Benarkah?" Sementara Sienna memeriksa catatan yang masuk dari ruang pendaftaran, di mana terdapat pasien baru yang menunggu jadwal selanjutnya. "Ya, siapa juga yang mau berteman dengan pengidap OCD seperti aku?" Pria itu tersenyum sambil membenahi letak kacamatanya. Mereka tertegun untuk beberapa saat. "Kecuali …." Bayangan wajah cantik melintas di benaknya, dan seketika kenangan-kenangan masa lalu pun muncul berurutan. "Umm …." Namun Sebastian menggelengkan kepala untuk mengenyahkan kenangan itu dari kepalanya. "Siapa? pacar pertamamu?" Sienna memiringkan kepala untuk menggoda pria itu. "Bukan … tidak penting untuk diingat." Dia segera menjawab. "Baiklah …." Lalu percakapan itu terjeda ketika terdengar ketukan di pintu. Dan Sienna bergegas membukanya saat terdengar suara gaduh di luar. "Ya?" "Tolong anak saya! Dia sakit gigi." Seorang ibu datang bersama anaknya yang meraung-raung. "Gusinya bengkak dan sudah tiga hari tidak mau makan!" Sienna menatap ruang tunggu yang masih lengang. "Baik, Bu. Cepatlah masuk." Perempuan itu bergeser untuk memberi jalan. "Sepertinya pariodontitis lagi, Dokter." Sienna menutup pintu dan segera menyiapkan peralatan untuk penanganan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD