"Selamat sore, Dokter. Terima kasih." Pasien terakhir hari itu meninggalkan ruangan Sebastian seusainya mendapatkan perawatan. Dan Sienna mengantarnya sampai di ambang pintu, lalu kembali setelah yakin dia pergi.
Kemudian perempuan itu mengerjakan tugasnya, membersihkan peralatan yang digunakan Sebastian hingga semuanya benar-benar bersih dan di letakkan di tempatnya seperti biasa. Sedangkan Sebastian mencuci tangan di sampingnya.
"Apa jika tidak begitu kau merasa aneh?" Sienna menatap tangan Sebastian di bawah guyuran air kran.
Selama hampir delapan bulan dia tidak pernah melihat suaminya melewatkan satu hal pun ketika dia sedang mencuci tangan. Sepertinya, setiap inci dari anggota tubuhnya yang satu itu tidak pernah luput dari sabun, air dan hand sanitizer.
"Aku merasa bahwa diriku sedang dalam bahaya." Sebastian terkekeh, lalu dia mematikan kran dan selanjutnya mengeringkan tangannya.
"Separah itu perasaan orang-orang sepertimu?" Sienna mengikutinya dengan pandangan tanpa menghentikan pekerjaannya.
"Ya. Dan kau tidak tahu tingkat emosimu akan setinggi apa jika hal-hal tak sesuai dengan keinginanmu." Pria itu melepas jas putihnya yang kemudian dia gantungkan di tempat biasa.
"Tapi kau tidak pernah emosi kepadaku?" Sienna beralih setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Karena kau tidak pernah membuat ulah?" Pria itu sedikit menjengit, merasa heran dengan ucapan istri sekaligus asistennya itu.
Lalu Sienna mendekati loker di sisi lemari peralatan Sebastian. "Apa aku melakukan dan mengatur semuanya dengan benar?"
"Sejauh ini, ya. Dan aku rasa pekerjaanmu sebagai asistenku sejak awal membuat semuanya lebih mudah, bukan?"
"Hmm …." Sienna mengangguk sambil tersenyum.
"Baiklah, apa kita akan terus berbincang di sini? Karena sudah waktunya pulang, dan aku rasa tidak mungkin kita menunggu lebih lama lagi?" Pria itu yang melihat jam tangannya.
"Baik, aku akan mengganti pakaian dulu di dalam. Kalau mau duluan keluar silahkan." Sienna menarik pakaiannya di tempat penyimpanan kemudian masuk ke dalam kamar mandi di ujung ruangan.
Namun Sebastian memutuskan untuk tetap menunggu di dalam sana. Dan dia menghitung setiap detiknya yang terasa lambat.
Sesekali pria itu melirik pintu kamar mandinya yang terbuka sedikit dan terlihat bayangan bergerak di dalam sana.
Sebastian mencoba mengalihkan perhatian untuk beberapa saat, namun pikirannya mulai tidak tentu. Dia lantas perlahan memiringkan kepalanya untuk melihat lebih jelas.
Samar-samar Sebastian melihat punggung Sienna dibalik pintu yang celahnya terbuka sedikit, namun tampak jelas dalam pandangannya.
Ketika perempuan itu melepaskan seragam perawat dan mulai menggantinya dengan pakaian saat dia berangkat pagi tadi. Dan semuanya terlihat bagai dalam gerakan lambat.
Punggung mulusnya yang tanpa cacat terlihat menggoda, lalu pandangannya terus turun ke bawah. Pinggangnya yang ramping, pinggulnya yang seksi, dan bokongnya yang indah.
Belum lagi saat dia berbalik seperti hendak meraih sesuatu yang membuat tubuh bagian depannya terpampang begitu nyata. Tentu saja membuat Sebastian semakin berdebar-debar saja ketika sekilas dia melihat gundukkan nenantang miliknya.
"Sial!" gumamnya saat dia merasakan sesuatu bangkit di dalam dirinya. Lalu Sebastian memalingkan pandangan ketika Sienna menyadari pintu kamar mandinya terbuka sedikit dan perempuan itu segera menutupnya rapat-rapat.
"Aku pikir kau tidak menunggu?" Sienna keluar dalam keadaan sudah rapi. Celana panjang dan kemeja berlengan pendek juga tas menggantung di pundaknya.
Tidak lupa dia mengikat rambut panjangnya ke atas hingga menyerupai ekor kuda, membuatnya tampak lebih manis.
"Sambil istirahat." Sebastian yang menyandarkan bokongnya pada pinggiran meja sambil melipat kedua tangannya di d**a.
"Sudah siap?" katanya, dan dia bangkit setelah meraih kunci mobil di meja.
Sienna mengangguk kemudian mereka keluar dari ruangan tersebut.
***
"Kejutaaaannn!!" Wajah ceria Utari mendominasi pandangan mereka begitu tiba di rumah.
Sang ibu dengan riangnya menyambut kedatangan anak dan menantunya yang baru saja pulang setelah bekerja.
"Kapan Ibu sampai?" Sebastian tentu saja merasa terkejut, begitupun Sienna. Mereka tidak ada persiapan sama sekali soal kedatangan perempuan paruh baya itu.
"Dari tadi." Utari menyesap teh panasnya yang dia buat sendiri.
"Kenapa tidak mengabari terlebih dulu?" Sebastian menatap tidak suka kepada ibunya.
"Kenapa kau bertanya seperti itu? Aku ini ibumu. Aku berhak datang kapanpun aku mau dan pergi kapan saja aku suka."
Sebastian memutar bola matanya.
"Bukannya bertanya kabar malah bicara begitu? Di mana sopan santunmu?" katanya, lalu dia beralih kepada menantunya.
"Bagaimana keadaanmu, Sayang? Apa kau sehat?" Dan nada bicaranya pun berubah lebih lembut saat dia bicara dengan Sienna.
Tangannya bahkan mengusap-usap punggung menantunya dengan lembut dan penuh kasih sayang.
"Sehat, Bu." Perempuan itu menjawab.
"Apa Sebastian sering menyusahkanmu? Kau tampak kurus?" Utari menyentuh lengan Sienna dan memeriksa keadaannya.
"Ah, tidak Bu. Begini-begini saja." Sang menantu menjawab, dan sesekali dia melirik ke arah Sebastian.
"Atau dia membuatmu bekerja terlalu keras ya? Hmm … pantas kalian sulit punya anak. Pasti karena kau kelelahan." Dia mendelik ke arah putranya yang terdiam seperti biasa.
"Tidak, bukan begitu." Namun Sienna segera menjawab, dan dia hendak menjelaskan kepada mertuanya yang hampir setiap minggu dalam kurun waktu delapan bulan selalu bertanya soal keadaannya. Yang tentu saja tak Sienna jawab sesuai dengan kenyataan.
Bukan apa-apa, perempuan itu akan panik dan terlalu banyak bicara terutama kepada Sebastian, seperti saat di awal-awal mereka menikah.
"Lalu kenapa? Kau sedang diet? Suamimu memintamu untuk tetap kurus seperti ini? Yang benar saja, Sebastian!" katanya lagi, dan itu membuat putranya mendelik kesal.
"Tidak, Bu. Mungkin memang keadaanku yang begini saja. Tidak usah khawatir, karena aku tidak kelelahan bekerja ataupun sedang diet," ucap Sienna meyakinkan ibu mertuanya.
"Lagipula apa masalahnya kalau dia tetap kurus? Kan bagus, agar pergerakannya tetap gesit apalagi jika sedang bekerja." Sebastian memilih untuk beranjak dari ruang keluarga menuju kamarnya di lantai dua.
"Benar, agar tetap gesit juga di ranjang ya?" Utari tertawa, namun ucapannya membuat wajah Sienna memerah.
"Ibu mau menginap malam ini, Ayahmu pergi ke luar kota selama tiga hari. Jadinya di rumah sangat sepi." Dan ucapannya yang satu itu membuat Sienna terdiam.
Sebastian bahkan menghentikan langkahnya di tengah-tengah tangga lalu melirik kepada Sienna.
"Bencana!" Batinnya bergumam.
"Dan tadi ibu sudah meletakkan tas di kamarmu," lanjut Utari sambil tersenyum kepada menantunya.
"Ibu tidak menyangka kalau semua barangmu masih belum kau pindahkan ke kamar Sebastian? Aneh sekali. Kalian masih tidur terpisah ya? Pantas sudah berbulan-bulan belum menghasilkan keturunan untuk keluarga kita." Perempuan itu dengan raut dan nada kecewa, lalu dia melirik ke arah putranya.
"Eee … tidak, Bu. Hanya saja … aku malas memindahkannya, jadi ya … sudahlah. Hehehe." Sienna mencari alasan.
"Begitu ya?"
"Ya …." Lalu Sienna menatap Sebastian untuk memberinya isyarat, dan sepertinya dia mengerti.
"Sayang?" Pria itu segera memanggil. "Aku mau mandi, bisakah kau menyiapkan airnya untukku?" Dia menyentakkan kepala.
"Umm … baik, Sayang. Tunggu sebentar." Sienna pun segera bangkit.
"Tidak apa kami tinggal dulu sebentar, Bu?" Sejenak dia beralih kepada mertuanya.
"Lama juga tidak apa-apa, ibu mengerti. Santai saja," jawab Utari dengan senyuman yang terbit di sudut bibirnya.