Alea baru saja keluar dari kamar mandi saat mendengar suara pintu yang diketuk. Bersamaan dengan itu, Bian bangun dan langsung menatap horor ke arah Alea.
“Iya, sebentar!” seru Alea. Kemudian, tatapannya beralih pada Bian, “kenapa?”
Pria itu tak menjawab. Ia menarik selimut dan bantalnya, kemudian segera pindah ke kasur. Gerakan itu sangat tiba-tiba hingga membuat Alea terkejut. Namun, beberapa saat berikutnya, akhirnya ia sadar. Ia dan Bian tidak boleh ketahuan jika mereka tidak tidur di ranjang yang sama.
‘Tok tok tok’
Suara ketukan itu terdengar, disusul oleh seruan seorang wanita dari luar sana. Alea pun berjalan ke arah pintu, lalu membukanya. “Ya, Bi?”
“Ini, Neng. Sama Ibu disuruh nganterin pakaian ganti buat Neng Alea,” ucap Bibi, sambil menyerahkan satu paper bag berisi pakaian untuk Alea.
“Oh iya. Makasih ya, Bi. Tolong sampaikan ke Ibu juga,” balas Alea.
“Siap, Neng. Oh iya, nanti kalau udah, segera turun ya, Neng! Sama Aden juga. Sarapannya sebentar lagi sudah siap,” kata Bibi.
“Iya, Bi. Ya udah, kalau gitu saya ganti baju dulu, ya,” pamit Alea. Bibi mengangguk. Lalu, Alea pun menutup pintu. Tatapannya langsung tertuju pada Bian yang sedang duduk bersandar di atas kasur sambil mengecek ponselnya. Ini adalah kali pertama Alea menatap wajah bantal lelaki itu. Ia pun tersenyum.
“Kenapa ngelihatin aku kayak gitu?” tegur Bian.
Alea mengejapkan matanya. Dengan canggung, ia segera mengalihkan tatapannya ke arah lain. “Itu, kata Bibi disuruh cepat turun buat sarapan.”
“Udah dengar,” balas Bian.
Alea berdecih mendapati sikap menyebalkan Bian yang sudah kembali. Padahal baru saja semalam ia dibuat meleleh dengan sikap manis pria itu. Malas meladeni Bian, Alea pun beralih ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya dengan yang baru. Setelah itu, ia kembali, menghampiri Bian yang tampak masih bersantai.
“Bi, ayo sarapan! Nanti Ibu nunggu,” ajak Alea.
Bian menatap malas istri kecilnya. “Duluan aja!”
“Tapi kan-” Bian menegakkan tubuhnya, lalu turun dari tempat tidur. Alea pun sedikit mundur untuk memberinya ruang. “Kamu cuma mau mandi aja, kan? Aku tungguin kamu aja, ya!”
Bian masih tidak menjawab. Alea menyimpulkan, pria itu mengizinkannya menunggu. Maka dari itu, Alea memilih untuk membereskan tempat tidur. Ia melipat selimut yang semalam Bian gunakan, lalu menyimpannya kembali di lemari tempat Bian mengambilnya. Tak berselang lama, Bian kembali dengan wajah yang masih sedikit basah. Namun, pakaian pria itu masih sama.
“Kamu nggak mandi?” tanya Alea. Bian menggeleng. Keduanya pun segera turun ke lantai bawah untuk menikmati makan pagi bersama Bu Intan.
Pagi ini, Bian cuma sarapan dengan roti dan beberapa sayuran. Ia menolak saat Alea menyodorkan nasi dan ikan untuknya.
“Mungkin dia mau nge-gym habis ini. Jadi dia nggak mau makan makanan yang terlalu berat,” kata Bu Intan, khawatir Alea akan kecewa.
Alea mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia baru tahu kalau ternyata Bian juga suka berolahraga.
Dan benar saja. Setelah sarapan, Bian ke kamar untuk mengambil barang-barangnya, termasuk handphone, lalu keluar begitu saja. Alea berpapasan dengan pria itu saat ia hendak masuk ke kamar.
“Kamu beneran mau nge-gym? Di mana?” tanya Alea.
“Di belakang,” jawab Bian singkat, kemudian pergi begitu saja.
Alea mengernyitkan alisnya. Ia masih tidak tahu yang dimaksud ‘belakang’ oleh Bian. Apa Bian benar-benar akan pergi ke belakang? Maksudnya belakang rumah? Penasaran, Alea memutuskan untuk mengikuti laki-laki itu. Toh sejak kemarin ia memang belum sempat berkeliling di sekitar rumah ini. Jadi ia tidak benar-benar tahu ada apa saja di sini.
“Neng, Neng!” Alea menoleh saat mendengar seseorang memanggilnya.
“Mau nemenin Si Aden nge-gym, ya?” Alea mengangguk. “Nggak sekalian ikut nge-gym, Neng?”
“Ah, saya nggak bawa baju ganti. Nggak biasa olahraga juga. Takut malah ngerepotin dia nantinya,” jawab Alea apa adanya. Ia sendiri saja bahkan sudah lupa kapan terakhir berolahraga.
Bibi mengangguk-anggukkan kepalanya maklum. Ia menyodorkan sebotol air pada Alea, membuat gadis itu mengernyit tidak mengerti.
“Bibi lupa, galon di tempat gym kosong, Neng. Boleh titip bawain ini buat Aden?” tanya wanita paruh baya tersebut.
Alea segera meraih botol itu. “Boleh, Bi.”
“Kalau begitu, Eneng susul Si Aden gih! Nanti Bibi susulin buah sama jusnya,” ucap Bibi. Alea mengangguk. Ia mengucapkan terima kasih, kemudian berlalu menuju pintu yang tadi dilalui oleh Bian.
Ia terkesima melihat bagian belakang rumah mertuanya itu. Ia baru tahu, ada area khusus berolahraga di rumah ini. Ada kolam renang berukuran cukup besar, taman yang asri, dan di ujung sana, tempat gym semi outdoor dengan view langsung mengarah pada kolam renang. Alea berjalan santai. Meski tanpa AC, tempat itu benar-benar sejuk, tidak seperti layaknya di perkotaan.
Ia melangkah masuk ke ruang gym semi outdoor, dan langsung dapat menemukan Bian yang sedang melakukan pemanasan.
“Aku baru tahu kalian punya tempat gym sendiri,” kata Alea, memecah kesunyian.
“Ide Ibu. Biar aku lebih rajin olahraga,” balas Bian.
“Tapi perasaan di apartemen kamu nggak pernah olahraga. Atau aku yang nggak pernah lihat aja?” bingung Alea, sedangkan Bian malas untuk menanggapi.
“Nih, titipan air minum dari Bibi! Katanya galon di sini kosong. Jadi tadi titip aku suruh bawain ini buat kamu,” Alea berjalan mendekat, dan menyodorkan botol yang ia bawa.
“Taruh!” Bian mengatakannya sambil menatap sebuah sudut yang ada meja dan kursinya. Alea paham, dan ia pun segera menuju ke sana. Ia memilih duduk di kursi yang ada di ruangan itu, sambil memainkan ponselnya. Sesekali ia mengambil gambar pemandangan di samping ruangan itu. Tampak pula air kolam renang yang sangat jernih, sangat cocok dengan hijaunya dedauan di sekitarnya.
Terlalu asyik dengan dunianya sendiri, Alea sampai tidak sadar jika Bian datang dan mengambil posisi duduk di sebelahnya. Pria itu meneguk hampir setengah isi botol air mineral yang Alea bawakan, setelah berolahraga selama lebih dari setengah jam.
“Kamu nggak mau olahraga?” tanya Bian. Alea yang kaget sontak menoleh, lalu menggelengkan kepalanya.
“Aku nggak pernah olahraga. Takut malah tulang-tulangku sakit kalau dipaksain,” jawab Alea. Dalam artian lain, ia hanya malas dan memang tidak ingin membiasakan diri dengan hal itu.
Bian menghela napas panjang. Ia kembali berdiri, lalu melakukan olahraga otot angkat beban, setelah tadi menyelesaikan olahraga untuk kesehatan sistem kardiovaskularnya.
“Kalau kita pindah ke sini, gimana?” tanya Bian.
Alea menoleh dengan cepat. “Hah? Kamu ngomong apa?”
Bian menatap Alea, masih dengan tangan sibuk mengangkat barbel. “Pindah tinggal di sini, bareng Ibu.”
“Kamu bercanda?” kaget Alea. Sebelumnya, ia memang sempat mendengar Bian mengatakan hal itu. Hanya saja, ia pikir ia salah dengar. Bukankah hal ini terlalu tiba-tiba, setelah semalam Bian menolak bahkan hanya untuk sekadar menginap di sini?
“Aku serius. Ibuku sudah semakin tua. Aku ingin menemaninya,” ucap Bian.
Alea terdiam. Pindah rumah bukanlah sesuatu yang gampang ia putuskan. Apalagi, jika benar-benar pindah, itu artinya ia akan hidup bersama beberapa orang baru. Memang, penghuni di rumah ini baik padanya. Namun Alea juga masih harus beradaptasi lagi dengan lingkungan barunya nanti. Apalagi, ia sendiri sudah terbiasa tinggal jauh dari keluarga sejak lama.
“Kalau semisal aku keberatan?” tanya Alea lirih. Ia tahu Bian memiliki niat yang baik. Hanya saja, Alea sendiri ragu bisa cepat membiasakan diri hidup dengan orang banyak dalam satu rumah sebesar ini. Terlebih, hubungannya dengan Bian juga tidak sebaik yang orang-orang bayangkan. Akan terlalu berisiko jika mereka tinggal satu atap dengan orang lain, khususnya Bu Intan.
Bagaimana jika wanita itu tahu jika selama ini hubungan Alea dan Bian tidak seperti suami istri pada umumnya? Bukankah Beliau akan sangat kecewa, atau bahkan marah? Terlebih jika Bu Intan sampai tahu apa yang sebenarnya melatar belakangi pernikahan putranya dengan Alea. Alea takut, wanita itu akan marah dan membencinya.
“Aku butuh waktu buat mikirin hal ini,” kata Alea sendu. Ia segera bangkit. Ia butuh udara segar dan waktu untuk sendirian. Ia berniat untuk mengelilingi taman belakang rumah itu sendirian.
Namun, langkahnya terhenti saat Bian menutup akses keluarnya. Lelaki itu berdiri menjulang di hadapan Alea, dengan raut wajah yang tak bisa Alea baca.