Alea dapat merasakan, detak jantungnya berpacu lebih cepat dibanding biasanya kala dirinya beradu tatap dengan bola mata gelap milik Bian. Alea merasa gugup, meneguk air liurnya dengan kasar, setengah mati berusaha untuk bersuara, “kenapa?”
“Aku akan kabulkan satu permintaanmu jika kamu mau kita pindah ke sini,” kata Bian.
Alea semakin merasa gugup. Ia mulai memikirkan, apa yang bisa ia minta dari Bian, dan apakah hal itu sepadan dengan besarnya risiko jika ia bersedia tinggal di sini.
“Permintaan seperti apa?”
“Apapun selagi aku bisa menurutinyaa,” jawab Bian.
Alea kembali berpikir, hingga terbesit satu hal di kepalanya, “tapi … kalau kita tinggal di sini sama Ibu dan yang lain, bagaimana kita tidur nantinya? Tidak mungkin kan kita pisah kamar? Lalu, memakai dua selimut seperti semalam juga pasti bakal ketahuan akhirnya. Kamu sudah pikirkan hal itu?”
Bian maju satu langkah, kian menikis jarak di antara dirinya dan Alea. Pupil mata Alea melebar. Kedua tangannya refleks terangkat untuk menghalau tubuh pria itu. Bian sedikit menunduk dan memiringkan kepalanya, membuat jantung Alea berpacu lebih kencang.
“T- tunggu! Apa yang … B- Bi …” Alea merasakan punggungnya menyentuh kaca. Tubuhnya terhimpit di antara badan kekar Bian dan kaca pembatas di belakangnya. Dan Bian masih terus memajukan tubuhnya, membuat jarak di antara mereka nyaris menghilang. Bahkan, Alea dapat merasakan napas hangat Bian mengenai kulit wajahnya. Posisi mereka saat ini sangat ambigu, dan Alea tidak bisa bergerak dikarenakan rasa gugup yang seakan melumpuhkannya.
Hidung mereka nyaris bersentuhan. Alea refleks menahan napas. Matanya perlahan terpejam dengan otak yang sudah tidak bisa ia gunakan untuk berpikir jernih.
‘Apa mungkin dia akan menciumku? Tapi kenapa tiba-tiba? Apa mungkin … dia tahu kalau aku menyukainya dan mengira aku menginginkan hal seperti ini sebagai syarat untuk tinggal di sini?’ batin Alea.
Alea dapat merasakan, pucuk hidungnya bersentuhan dengan kulit seseorang. Embusan napas mereka juga sudah menyatu padu, seolah setelah ini akan terjadi sesuatu yang lebih intim lagi.
‘Huhhhh …’
Alea dapat merasakan embusan angin di matanya. Seseorang sepertinya sengaja meniup bagian itu, membuat Alea bergerak secara tiba-tiba dan kepala belakangnya membentur kaca.
“Ah!” teriaknya kaget.
Matanya terbuka, dan langsung saja bersitatap dengan bola mata Bian yang masih menyorotnya dengan jarak cukup dekat.
“Apa yang kamu lakukan?” bingung Alea.
“Aku hanya ingin memastikan seberapa agresifnya kamu,” jawab Bian santai.
“Apa?!”
“Aku tidak mau menempatkan diriku dalam bahaya dengan membiarkan tubuhku ini tidur satu ranjang dengan gadis yang bisa saja berbuat macam-macam padaku,” lanjut Bian.
Alea menatap tajam pria bernama lengkap Fabian Erlangga itu. Napasnya memburu, dengan wajah memerah menahan gejolak emosi. Dalam satu gerakan …
“Ahhh! Aaargh! Sial-”
“Bian!!!”
Baik Alea maupun Bian, keduanya terlonjak mendengar pekikan keras itu. Mereka menoleh ke arah sumber suara dengan kaku. Di sana, berdiri Bu Intan dan Bi Inah menatap ke arah mereka.
Bian menarik diri menjauh dari Alea, sedangkan Alea tak dapat menyembunyikan rona merah di pipinya.
“Ibu?”
“Bian, kamu mau mengumpat sama istri kamu? Astaga anak ini!” omel Bu Intan. Wanita yang hampir seluruh rambutnya sudah memutih itu menatap tajam ke arah putranya.
Memang, Alea pun sadar tadi Bian nyaris mengumpat padanya. Namun, itu juga karena Alea yang menginjak kaki pria itu dengan sekeras mungkin. Jadi, Alea tidak mempermasalahkannya.
“Bu, Ibu salah paham. Tadi Bian sama Alea cuma lagi bercanda, terus-”
“Bercanda kamu dengan cara mengumpati istri kamu?” potong Bu Intan.
Bian menatap Alea, berusaha meminta pertolongan. Namun, tampaknya gadis lugu itu tidak tahu harus berbuat apa, bahkan tidak sadar jika suaminya sedang membutuhkan bantuannya.
“Apa?” bingung Alea. Gadis itu benar-benar bingung. Membuat Bian menghela napas panjang dan hanya bisa pasrah menerima omelan ibunya.
“Bian, Ibu tidak suka ya, kamu kasar sama perempuan. Kamu sudah bukan anak muda lagi. Usia kamu sudah dewasa. Harusnya kamu bisa bersikap lebih baik lagi pada wanita yang sudah berstatus sebagai istri kamu,” omel Bu Intan.
“Alea itu masih muda. Usianya jauh di bawah kamu. Harusnya kamu bisa mengayomi dia, bukannya malah bersikap kasar seperti tadi. Memang kamu mau apa, kalau Alea sampai meninggalkanmu di usia kamu yang sudah setua ini?” lanjut Bu Intan.
Alea melirik takut ke arah Bian. Dalam hati, ia berdoa semoga Bian tidak menjawab pertanyaan ibunya. Sebab, Alea tahu pasti jawaban seperti apa yang akan keluar dari mulut Bian jika lelaki itu sudah benar-benar kesal.
“Kan udah Bian bilang, Bu. Ini cuma salah paham aja. Bian nggak ada niat buat bicara kasar sama Alea. Bian cuma-”
“Minta maaf!”
Bian mengernyitkan alisnya, membuat Bu Intan semakin tajam menatapnya. “Ayo! Ibu bilang minta maaf, Bian!”
Bian menghela napas panjang. Ia tidak bisa melawan perkataan ibunya. Ia menatap Alea, lalu mengucap maaf, persis sesuai perintah ibunya. “Aku minta maaf.”
Alea mengangguk kaku. Ia malah jadi merasa tidak enak hati. Namun, ia juga bingung harus mengatakan apa untuk meluruskan kesalah pahaman ini. Semoga Bian tidak memperpanjang masalah ini setelah kepergian Ibu Intan.
“Ibu sama Bibi datang bawain ini buat kalian. Ini dimakan!” Bi Inah menyodorkan satu nampan yang di atasnya ada buah potong dan dua gelas jus berwarna oranye.
“Makasih, Bu, Bi,” ucap Alea.
Bu Intan mengusap bahu Alea lembut. Menatap gadis manis itu dengan tatapan hangatnya. “Maafin anak Ibu ya, Alea! Tolong jangan dimasukkan ke hati! Kalau dia sampai menyakiti kamu, laporkan saja pada Ibu! Ibu akan selalu ada di pihak kamu.”
Alea menelan salivanya dengan kasar. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Bu Intan sampai tahu jika Alea telah menjebak Bian hingga keduanya menikah. Pasti Bu Intan akan sangat kecewa dan marah.
“Ya udah, kami masuk dulu. Kalian lanjutkan lagi olahraganya,” kata Bu Intan.
“Iya, Bu,” jawab Alea.
“Bian, ingat! Jangan sampai Ibu dengar kamu bicara kasar lagi sama Alea!” Bu Intan memberi peringatan.
“Iya, Bu,” jawab Bian.
Setelah kepergian Bu Intan dan Bi Inah, Alea masih mematung di tempat. Ia menatap punggung dua wanita yang kian menjauh dari posisinya berada tersebut. Sebenarnya, Alea sangat takut. Ia takut, Bian akan meledakkan amarahnya karena kesalah pahaman antara mereka dengan Bu Intan beberapa menit yang lalu.
“Hmm.”
Alea menoleh saat mendengar Bian berdehem. Ia menyodorkan nampan di tangannya pada Bian. “M- mau minum?” tawarnya.
Bian segera meraih segelas jus yang ada di atas nampan, lalu duduk di kursi terdekat.
“Soal yang barusan, aku minta maaf,” cicit Alea.
Bian meletakkan gelasnya. Ia meraih nampan yang masih dipegangi oleh Alea, dan menekan bahu wanita itu agar duduk di kursi sebelahnya. Setelah itu, Bian kembali duduk.
“Itu tidak penting,” balas Bian.
Alea tahu, Bian belum selesai bicara. Tampaknya masih ada hal lain yang ingin dikatakan pria itu.
“Soal keinginanku untuk pindah, aku butuh jawabanmu,” tegas Bian.
Alea segera memalingkan wajahnya ke arah lain. “Kamu juga belum menjawab pertanyaanku.”
“Soal kamar?” tebak Bian, dan Alea mengangguk.
“Aku tidak keberatan kalau memang kita harus tidur satu ranjang untuk seterusnya, selagi kamu mau tinggal di sini dan membantuku merawat Ibu,” jawab Bian.
Alea terperangah. Apakah ia tidak salah dengar? Setelah lebih dari satu bulan bersama, akankah ia benar-benar akan memiliki kesempatan untuk tidur di ranjang yang sama dengan suaminya?