Alea dan Bian tiba di rumah ibu Bian pada pukul lima sore. Bu Intan - ibu Bian langsung menyambut mereka dengan suka cita. Bu Intan meminta asisten rumah tangganya untuk mengeluarkan jus dan cookies yang tadi sempat ia buat.
“Ayo dicoba, Alea! Bian sangat suka kue-kue buatan Ibu. Besok Ibu ajarin kamu bikin brownis ya, sekalian buat kalian bawa pulang,” tawar Bu Intan.
“I- iya,” Alea mencomot satu cookies itu lalu mencicipinya. Manisnya pas, untuk dia yang pecinta rasa manis, tapi eneg dengan rasa manis yang berlebihan.
“Enak, Bu,” seru Alea.
Bu Intan tersenyum. “Kapan-kapan Ibu ajarkan kamu buat bikin cookies seperti itu. Biar Bian juga bisa sering-sering makan salah satu makanan kesukaan dia meski dia tidak dekat dengan Ibu.”
“Kalau Bian pengen cookies kan Bian tinggal bilang ke Ibu kayak biasanya,” ujar Bian.
“Ya apa salahnya kalau istri kamu juga bisa bikinnya, Bi? Kan bagus kalau istri kamu bisa sering bikinin apa yang kamu suka,” ucap Bu Intan.
Bian memilih untuk tidak mendebat. Toh apa yang diinginkan ibunya juga tidak merugikan dia sama sekali.
Setelah beberapa saat mengobrol, Bu Intan mengajak Alea dan Bian pindah ke ruang makan. Di sana, sudah tersaji beberapa jenis makanan. Ada ikan bakar kesukaan Alea juga, yang dia sendiri bahkan lupa kapan terakhir memakannya.
“Bu, ini nggak terlalu banyak?” kaget Alea.
Bu Intan menggeleng. Ia merangkul Alea dan mengajaknya duduk bersama. “Ibu sengaja persiapkan ini semua buat kalian. Khususnya buat kamu, Alea. Sebagai ucapan selamat datang Ibu buat kamu.”
Alea tersenyum canggung. Bu Intan pun segera mempersilakan dua orang yang sangat berharga di hidupnya itu untuk segera makan. Bu Intan juga mengatakan, kalau ia ikut membantu memasak beberapa lauk di sana. Dan Alea cukup terkejut menghetahui hal itu. Pasalnya, rasa masakan yang ia santap sangat enak, layaknya di restoran.
Ternyata Bu Intan pandai memasak. Lidah Bian sudah terbiasa dimanjakan sejak kecil oleh masakan ibunya. Alea harusnya bersyukur Bian tidak pernah memuntahkan hasil masakannya yang tidak seberapa itu.
“Bi, ajak Alea menginap di sini, dong!” pinta Bu Intan.
Bian masih tampak santai menanggapi permintaan ibunya itu, sedangkan Alea tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Jika mereka menginap, bagaimana jika Bu Intan akan tahu kalau selama ini mereka tidak pernah tidur satu kamar?
“Nggak bisa, Bu. Dia nggak bawa baju ganti juga,” tolak Bian. Sudah Alea duga, Bian pasti sudah menyiapkan alasan untuk menolak.
“Yang buat tidur kan bisa pakai punya Ibu dulu. Terus besok pagi biar Ibu minta orang buat beliin pakaian untuk Alea. Bagaimana?” Setelah itu, Bu Intan menoleh ke arah Alea, menatap gadis lugu itu penuh harap. “Alea mau, kan? Menginap di sini, ya, Nak! Ibu sudah lama tinggal sendiri, cuma sama asisten rumah tangga dan satpam aja. Ibu pengen ditemenin anak dan menantu Ibu.”
Alea mencari pembelaan dari Bian. Ia tidak tega jika harus menolak secara lisan setelah melihat raut penuh harap Bu Intan. Namun, Bian seolah tidak peduli. Ia sibuk menyelesaikan kegiatan makan malamnya, kemudian membalas beberapa pesan di ponselnya.
“Besok kan kalian libur. Mau kapan lagi kalian menginap sini? Kalau nggak Ibu minta aja pasti kalian tidak akan datang,” ucap Bu Intan memelas.
Sebuah beban berat terasa bertengger di kedua bahu Alea. Ia seperti memiliki tanggung jawab untuk membalas permintaan Bu Intan tersebut, setelah melihat Bian yang tampak tidak berniat untuk menanggapi.
“I- iya, Bu,” jawab Alea pada akhirnya. Jawaban Alea membuat Bu Intan langsung berninar.
“Jadi, kalian akan menginap, kan? Nah … syukurlah. Sudah Ibu duga kalian pasti mau. Ibu sudah minta kamar Bian untuk dibereskan sejak tadi siang. Dan soal pakaian buat kamu tidur, nanti biar Bibi yang siapkan ya, sayang.”
Alea mengangguk kaku. Ia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Di mana Bian akan tidur, jika di bawah pengawasan Bu Intan? Mereka tidak mungkin pisah kamar seperti biasanya.
Pipi Alea seketika bersemu merah. Ia mulai membayangkan jika dirinya dan Bian akan tidur di ruangan yang sama untuk pertama kalinya setelah pernikahan mereka.
***
“Ini bajunya ya, Neng. Ada lagi yang Neng Alea butuhkan?” Asisten rumah tangga Bu Intan menyerahkan satu setel pakaian santai untuk Sora, dan mengantarnya hingga sampai di depan kamar Bian.
“Sudah, Bi. Makasih banget, ya. Maaf merepotkan,” ungkap Alea.
“Nggak usah sungkan, Neng. Kan memang sudah tugas Bibi buat melayani penghuni rumah ini. Lagi pula Neng Alea kan istri Si Aden,” jawab Bibi.
Alea tersenyum, merasa beruntung dipertemukan dengan orang-orang yang menyambutnya dengan baik di sini. Ia dapat merasakan banyaknya perubahan setelah menikah dengan Bian. Meski Bian adalah sosok yang dingin, setidaknya Alea bisa merasakan kehangatan dari orang-orang yang ia kenal berkat Bian. Di antaranya seperti Bu Intan dan para pekerja di rumah ini.
“Kalau begitu-”
“Hmm … Bi, tunggu!” Alea menahan lengan Bibi ketika hendak berpamitan.
“Iya, Neng?”
Alea menoleh ragu ke arah pintu kayu yang menjadi pembatas antara ruang tempatnya berada dan salah satu kamar terbesar di rumah ini.
“Neng, ada apa? Ada yang bisa Bibi bantu?”
“Anu … Bian sudah di dalam?” tanyanya ragu. Sekali lagi, ia membayangkan akan seperti apa kecanggungan di dalam sana nanti. Bian tidak akan mengusirnya ke luar dengan tiba-tiba, kan?
“Oh … sepertinya sudah, Neng. Buruan gih susulin!” Bibi tersenyum menggoda, membuat Alea merasa pipinya semakin panas. Setelah itu, Alea pun mengetuk pintu. Ia merasa canggung jika tiba-tiba masuk begitu saja sebelum mendapat izin dari pemiliknya.
“Masuk!”
Tampaknya Bian sudah tahu jika yang datang adalah Alea. Alea pun segera membuka pintu, dan berjalan pelan memasuki kamar berukuran dua kali lebih lebar dibanding kamarnya di apartemen Bian.
Alea menutup pintu, lalu berdiri kaku menghadap Bian. Ia tidak berani bergerak tanpa seizin Bian. Apalagi, pria itu tampak sedang sibuk dengan ponselnya dengan wajah yang dingin. Ups! Jangan lupakan juga jika Bian bahkan sudah menguasai satu-satunya kasur yang ada di kamar ini.
‘Terus aku harus tidur di mana?’ batin Alea. Ia pikir, rasanya tidak mungkin jika Bian akan mengizinkan dia untuk tidur di kasur yang sama dengan pria itu.
“Kalau mau cuci muka, gosok gigi dan lainnya, stok alat-alat barunya ada di laci dekat wastafel,” ujar Bian dingin.
Alea mengangguk. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bergegas kabur ke kamar mandi. Sayangnya, ia lupa. Kegiatannya di kamar mandi bukanlah sesuatu yang dapat membuatnya kabur semalaman. Selesai dengan urusannya, Alea kembali menemui Bian dengan wajah kakunya.
Bian menatap Alea dari atas hingga bawah dengan tatapan datar, seakan tak mengharap kehadiran Alea di sini.
“Aku harus tidur di mana?” tanya Alea polos.
Bian menghela napas panjang. “Siapa suruh menerima ajakan Ibu buat menginap? Rencananya kan cuma makan malam.”
Alea mendecak. Ia menatap Bian dengan sinis. “Kamu sendiri kenapa nggak bantu aku tadi? Aku kan nggak enak juga mau nolak, setelah ibu kamu bilang seperti itu.”
“Aku sudah menolak. Kamu yang bikin kita harus menginap di sini. Padahal kamu tahu, kan, kita tidak mungkin tidur di ruang terpisah di rumah ini,” ucap Bian.
Alea mengangguk. “Intinya, aku harus tidur di mana sekarang? Aku nggak mau ya, kalau kamu nyuruh aku tidur di lantai!”
Bian tampak melirik ke sofa yang ada di dekat pintu masuk, dan refleks membuat Alea melakukan hal yang sama. ‘Apa dia akan nyuruh aku tidur di sofa? Masa tega, sih? Tapi ya mau gimana lagi? Lebih nggak mungkin lagi kalau dia yang ngalah dan tidur di sana. Kakinya aja terlalu panjang.’
Bian menghela napas panjang beberapa kali, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Alea mengartikan itu sebagai sebuah kode. Dan ya, sepertinya Bian memang menginginkan Alea untuk segera meninggalkannya.
‘Memang apa yang kamu harap, sih, Al? Nggak mungkin dia mau ngalah sama kamu. Ya udah lah. Lagian cuma tidur aja, kan?’ batin Alea. Ia hanya bisa pasrah, meski ia yakin sofa itu tidak akan nyaman ia tiduri.
Begitu Alea mulai mengistirahatkan tubuhnya di sana, ia baru sadar jika ia tidak punya bantal dan selimut. Ia menoleh ke arah Bian, berniat untuk meminta selimut dan bantal. Namun, siapa sangka jika saat itu ternyata Bian juga sedang memperhatikannya?
Tatapan keduanya bertemu, saling mengunci selama beberapa waktu. Bian sadar lebih dulu, dan segera melempar tatapannya ke arah lain. “Ada apa?” tanyanya dingin.
“Aku mau minta bantal sama selimut, boleh?” pinta Alea.
Bian memutar bola matanya malas. Diam-diam, ia memperhatikan posisi tidak nyaman Alea di atas sofa. Merasa masih memiliki jiwa kemanusiaan, akhirnya Bian bangkit. Ia menuju ke lemari untuk mengambil selimut yang lain, tak lupa meraih satu bantal yang menganggur di atas kasur. Ia berjalan ke arah Alea. Sementara Alea yang tidak sabar pun bangkit duduk, bersiap menerima pemberian Bian tersebut.
Alea mengulurkan tangannya sambil menatap Bian. Namun, Bian tak segera memberikan bantal dan selimut itu, membuat Alea mengernyitkan alisnya bingung.
“Pindah!” suruh Bian dengan nada datar.
“Hah?”
“Buruan pindah ke kasur! Aku nggak mau besok badan kamu sakit-sakit terus ngadu ke Ibu,” ucap Bian.
Alea berdecih, “kamu pikir aku tukang ngadu?”
Bian mendudukkan dirinya di samping Alea. Ia meletakkan bantal itu dengan posisi sebaik mungkin, lalu mendorong Alea agar ia bisa memiliki space untuk berbaring.
“Bi!” protes Alea. Bian memilih untuk pura-pura tidur. Membuat senyum tipis terbit di bibir Alea, hingga gadis itu menggigit bibir bawahnya untuk menahan senyumnya agar tidak semakin lebar.
Jantung Alea berdebar, rasanya hangat. Apakah itu artinya Alea mulai jatuh hati pada perhatian-perhatian kecil yang Bian berikan?