10 - Sebuah Kebetulan

1513 Words
Alea tidak main-main saat mengatakan ia ingin mengikuti lomba yang diadakan suatu PH yang bekerjasama dengan kampusnya. Ia lebih giat belajar membuat cerita yang lebih baik. Ia juga mencari-cari kesalahan di naskah-naskah yang ia buat sebelumnya, kemudian memperbaikinya. Alea nyaris tidak memiliki waktu istirahat, selain tidur malam sekitar empat hingga lima jam per hari. Ia juga tidak punya waktu lagi untuk memikirkan sikap dingin Bian yang semakin hari kian menjadi. “Kamu nggak makan di rumah?” tanya Alea, pada Bian yang baru keluar dari kamar mereka dengan pakaian rapi serta aroma sabun mengular. “Aku sudah kesiangan,” jawab Bian. Lelaki itu memang tampak terburu-buru. Biasanya, kalau melihat Bian buru-buru seperti ini, Alea akan menawarkan diri untuk membuatkan Bian bekala, meski niat baiknya itu selalu ditolak. Namun kini, Alea hanya diam, kembali fokus pada makanannya sendiri. Karena ia berencana untuk melanjutkan naskah terbarunya, mumpung hari ini ia tidak ada kuliah pagi. “Kamu marah?” Alea terkejut saat mendengar suara Bian. Ia mendongak menatap pria yang berdiri tinggi menjulang beberapa meter di depannya itu. Lalu, Alea menyapukan pandangannya ke segala penjuru ruangan, memastikan pertanyaan itu ditujukan untuknya. “Aku? Memang kenapa aku harus marah?” bingung Alea. Raut wajah Bian tampak tidak biasa. Pria itu lebih dulu menghela napas panjang sambil mengusak rambutnya, sebelum membuka pintu dan pergi dari sana, meninggalkan Alea yang masih bertanya-tanya. “Dia kenapa, sih? Memang ada yang salah?” *** ‘Hari ini aku akan terlambat pulang karena ada bimbingan untuk tugas. Kamu pulang jam berapa? Apa aku pesankan makan aja?’ Bian menatap pesan itu dengan alis mengernyit tidak suka. Ia baru saja tiba di apartemen. Pantas saja lampu apartemennya belum menyala meski waktu sudah menunjukkan pukul malam. Ternyata Alea memang belum pulang. “Dia terlambat pulang dan baru mengabari sekarang? Memang acaranya mendadak?” gumam Bian. Setelah menyalakan lampu-lampu, Bian menuju ke dapur. Ia membuka kulkas dan mengambil dua buah telur dan beberapa jenis sayuran. Ia sedang malas masak. Ia berniat untuk membuat telur rebus sebagai lauk, dan lalapan sayuran. Setelah itu, ia membersihkan diri di kamar mandi kamarnya. Ketika Bian keluar, ternyata Alea sudah ada di meja makan. Gadis itu sibuk menata makanan yang ia bawa di atas meja. Bian berjalan melewatinya, mematikan kompor yang ia gunakan untuk merebus telur. “Aku tadi chat nawarin kamu buat aku pesankan makanan aja. Tapi kamu nggak balas. Jadi pas pulang aku mampir rumah makan padang,” terang Alea. Bian duduk di salah satu kursi, mengupas telur rebus miliknya tanpa berminat menyahuti ucapan Alea. “Bi …” Alea ingin mencairkan suasana. Ia menyodorkan satu porsi nasi padang yang ia beli ke hadapan Bian. “Ayo dong di makan! Aku udah beli dua loh.” Bian menoleh ke arah Alea. Ia tampak terpaksa meraih nasi padang yang telah Alea pindahkan ke piring itu, dan segera memakannya tanpa banyak bicara. “Besok kita jadi kan ke rumah ibu kamu?” tanya Alea, memecah keheningan. “Hm,” jawab Bian. Besok adalah hari yang sudah mereka janjikan untuk berkunjung ke rumah ibu Bian. Jujur saja, Alea sedikit gugup. Ia memang pernah berinteraksi dengan ibu Bian. Dan sejauh yang ia kenal, ibu Bian adalah orang yang baik. Namun Alea merasa tidak memiliki banyak pengalaman berinteraksi dengan ibu-ibu. Bahkan ibunya sendiri pun nyaris tak pernah mengobrol dengannya. “Kenapa? Kamu mau ada kegiatan lagi?” tanya Bian. Alea tersentyum, “enggak, kok. Cuma agak gugup aja. Aku baru bertemu ibu kamu dua kali. Itu pun tidak pernah bisa intens mengobrol. Sedangkan besok kita akan makan malam bertiga. Aku-” “Ibuku tidak akan membuatmu tidak nyaman,” potong Bian dengan nada datar, dan tatapan fokus pada makanan di hadapannya. Alea menghela napas panjang. Ia berusaha meyakinkan dirinya jika semua akan baik-baik saja. Toh ada Bian bersamanya. Meski Bian tampak tidak peduli padanya selama ini, tapi tidak mungkin kan pria itu akan membiarkan Alea memiliki hubungan yang kurang baik dengan ibunya? Usai makan malam, Alea membereskan meja dan mencuci alat makan mereka. Setelah itu, ia mengecek persediaan bahan makanan di kulkas. Persediaan lauk segar mereka habis. Namun, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam sekarang. “Kalau nggak belanja sekarang, besok pagi sarapan apa, dong? Nasi goreng telur? Tapi telurnya aja udah Bian habiskan,” keluh Alea. Ia ingat, di dekat apartemennya ada sebuah minimarket. Sepertinya kalau telur, sosis dan lauk-lauk tambahan untuk nasi goreng di sana ada. Ia pun memutuskan untuk pergi ke sana. Sebelumnya, ia mengambil dompet dan jaket di kamar. Lalu, ia berniat menawarkan Bian, siapa tahu pria itu ingin titip sesuatu. Namun, begitu Alea membuka pintu studio mini milik Bian, ternyata laki-laki itu sedang sibuk bekerja. “Ya udah deh. Nanti beliin aja camilan sama kue,” putus Alea, yang tak mau mengganggu Bian yang tengah bekerja. Sebagai sesama seniman ia tahu, rasanya sangat menjengkelkan saat ada yang mengganggu konsentrasi ketika sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Jalanan malam itu sudah cukup sepi. Alea menyeberangi jalan dengan cukup mudah hingga ia tiba di minimarket tersebut. Ia tidak membeli banyak barang. Hanya bahan-bahan tambahan untuk nasi goreng yang akan ia buat besok, dan beberapa camilan untuk dirinya dan Bian. “Totalnya tujuh puluh enam ribu ya, Kak,” ucap kasir yang baru saja selesai membayar belanjaan Alea. Alea segera mengeluarkan dua lembar uang berwarna biru, dan menunggu kembalian. Setelah urusan p********n selesai, Alea merapikan dompetnya terlebih dahulu - menyimpan uang kembalian dari kasir tadi. “Tunggu deh, Mbak. Kayaknya dompet saya ketinggalan.” Samar-samar, Alea dapat mendengar suara yang tidak asing dari arah belakangnya. Saat ia menoleh, ia mendapati Gio berdiri di depan kasir, sambil berusaha mencari sesuatu. “Mungkin bisa pakai m-banking atau e-wallet, Kak,” ucap kasir minimarket di depan Gio. “HP … duh saya juga nggak bawa. Saya titip dulu aja barangnya, Mbak. Saya ambil dompet dulu di-” “Pakai punya saya dulu aja, Pak,” Alea spontan memotong ucapan Gio. “Loh, Alea? Kamu kok bisa ada di sini?” tanya Gio. “Iya, Pak. Kebetulan saya perlu belanja bahan tambahan buat masak besok pagi,” jawab Alea. Ia mengeluarkan selembar uang berwarna biru. Ia lihat, Gio hanya membeli satu bungkus rokok dan dua camilan. Jadi ia rasa uang itu cukup. “Jadinya berapa, Mbak? Biar saya yang bayar,” ucap Alea pada kasir minimarket. “Empat puluh enam ribu, Kak,” jawab kasir tersebut. Alea segera memberikan uang biru itu. “Alea, serius ini nggak apa-apa? Kamu percaya sama saya?” tanya Gio. “Lagian minggu depan juga pasti ketemu kan, Pak. Nggak mungkin juga Bapak kabur. Lagi pula juga cuma uang rokok,” balas Alea santai. Gio tersenyum. Keduanya pun segera keluar dari minimarket. Gio melihat ke sana-kemari, mencari keberadaan kendaraan Alea. “Kamu nggak bawa mobil?” “Enggak. Kebetulan apartemen saya dekat dari sini. Jadi saya cuma jalan kaki. Bapak?” “Aku naik sepeda. By the way, pas awal ketemu kayaknya kamu nggak sekaku ini bicara sama aku. Bisa nggak kita ngobrol santai kayak pas pertama aja?” pinta Gio. “Tapi kan Bapak-” “Just call my name, Alea. Sepertinya umur kita juga nggak selisih jauh. Kalau kamu semester lima, berarti sekitar dua puluh atau dua puluh satu, kan? Saya baru dua puluh empat,” potong Gio. “Eh?” Alea sangat terkejut mengetahui fakta itu. Ia pikir, usia Gio sudah menginjak kepala tiga. Paling tidak, pas tiga puluh tahun. Gio terkekeh melihat reaksi jujur Alea itu. “Kenapa? Emang mukaku kelihatan tua, ya?” “Eh enggak, bukan gitu, Pa- maksud saya-” “Santai aja, Alea. Nggak usah saya-anda saya-anda segala!” “Oke, maaf. Tapi maksud aku nggak bilang muka kamu tua, kok. Cuma aku pikir dengan karir kamu yang sekarang, kayak nggak mungkin aja umur kamu masih di bawah dua lima,” terang Alea, tidak mau ada kesalahpahaman antara dirinya dengan Gio. Apalagi, ia berharap kedepannya bisa memiliki untuk bekerjasama dengan Gio, mengingat lelaki itu adalah salah satu penulis skenario yang akan menjadi pembimbing bagi kontestan lomba yang sedang ia ikuti. Gio kembali terkekeh. Pria itu tampak santai, nyaman bicara dengan Alea. “Oke oke, no problem. Oh iya, karena ini udah malam, gimana kalau aku antar pulang aja?” “Say- aku? Nggak usah! Apartemenku nggak sampai seratus meter dari sini,” tolak Alea. “Oke … terus, boleh aku pinjam HP kamu sebentar? HP aku ketinggalan soalnya,” pinta Gio. Alea tidak tahu apa yang akan Gio lakukan pada ponselnya. Namun, pada akhirnya ia tetap meminjamkannya. Ternyata, lelaki itu menggunakan ponsel Alea untuk mengubungi seseorang. Atau mungkin … missed call (?) karea belum sempat terdengar perbincangan antara Gio dan lawan bicaranya, Gio sudah lebih dulu mengembalikan ponsel Alea. “Maaf aku pakai HP kamu buat missed call nomorku. Biar aku bisa save nomor kamu, dan gampang buat balikin uang yang kamu pinjamkan tadi,” ucap Gio. “Santai aja! Lagian kan minggu depan masih ketemu,” balas Alea. Gio tersenyum. Kalau diperhatikan, pria itu memang banyak tersenyum di mata Alea. Namun, beberapa detik berikutnya, Alea mengejap kala merasakan usapan lembut di puncak kepalanya. Ia mendongak, menatap lengan Gio yang masih di atas kepalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD