Dua minggu berlalu. Sekarang, Alea sudah mulai dapat menghafal kebiasaan Bian, termasuk hal yang disuka maupun tidak dia sukai. Dan lagi-lagi, Alea hanya bisa menghela napas panjang. Malam itu, kala Bian mengatakan jika ingin menyelesaikan pekerjaannya di studio mini miliknya, ternyata pria itu hanya sedang beralasan agar tidak harus tidur satu ruangan dengan Alea. Karena hingga pukul dua pagi, Alea masih terjaga dan Bian tak kunjung kembali. Awalnya Alea sempat sedih dan kepikiran karena hal itu. Namun, ia memilih untuk menutupinya, hingga kini ia bisa terbiasa dengan hal tersebut.
Alea juga sudah mulai terbiasa tidak menanyakan pendapat Bian soal masakannya. Selagi ia lihat Bian masih mau memakannya hingga tandas, maka Alea simpulkan bahwa rasa makanannya tidak terlalu mengecewakan untuk Bian.
“Bi, hari ini aku akan pulang sedikit terlambat. Aku mau bantu Putri buat mempersiapkan acara besok. Soalnya besok ada acara gitu di jurusanku. Dan Putri adalah salah satu penanggung jawabnya. By the way, Putri itu nama teman sekelasku,” Alea menerangkan dengan jelas rencananya hari ini.
“Hm. Terserah. Yang penting ingat pulang tanpa harus merepotkanku!” balas Bian.
Alea sudah hafal. “Merepotkan” di sini maksudnya kalau sampai hari hujan atau Alea pulang kemalaman sehingga ia kesulitan menggunakan kendaraan umum, maka mau tidak mau ia pasti akan meminta tolong pada Bian. “Iya iya, aku janji. Lagi pula kata Putri sebelum jam tujuh sudah selesai, kok.”
Alea tahu, sebenarnya Bian juga tidak akan terlalu peduli dengan kegiatan kesehariannya. Namun, ia merasa perlu untuk memberi tahu pria yang telah berstatus sebagai suaminya itu.
Alea kembali menoleh saat mendengar dentingan sendok yang ia yakini berasal dari pria di depannya. Dan benar saja, setelah itu, Bian buka suara, “Ibu mau kita mengunjunginya.”
“Ibu? Ibu kamu?” tanya Alea guna memastikan. Pasalnya, ia yakin ibu kandungnya tidak mungkin minta dikunjungi olehnya seperti itu.
“Kamu pikir siapa lagi? Ibumu?” Alea menggeleng. Ya. Sangat-sangat tidak mungkin. “Sabtu. Ibu minta sekalian makan malam dan menginap di sana.”
Setelah melanjutkan ucapannya tersebut, Bian segera bangkit dan pergi sampai-sampai Alea belum sempat merespons.
Alea sadar ada yang aneh. Ia pun berusaha lebih keras mencerna ucapan Bian barusan. “Menginap di rumah ibunya?” beo Alea.
Ia diam, terus berpikir. Beberapa detik berikutnya, pupil matanya melebar maksimal. Ia juga bisa merasakan detak jantungnya yang bekerja di atas rata-rata. “Menginap di rumah Ibu? Tidak mungkin, kan, Bian tetap kekeuh ingin tidur di kamar yang beda dariku, kalau itu di rumah Ibu? Karena ia pasti tidak mau Ibu curiga.”
Meski Bian merupakan sosok yang dingin dan terkadang menjengkelkan, tetapi ia adalah anak yang sangat berbakti pada ibunya. Itulah salah satu alasan yang membuat Bian tidak bisa menolak ajakan Alea untuk menikah. Karena begitu ibunya tahu akan hal tersebut, Bian langsung didesak untuk menerimanya. Beliau sudah lebih dulu kesenangan mengetahui sang putra akan menikah. Dengan berbagai cara, Beliau pun berusaha membujuk Bian hingga akhirnya pernikahan itu benar-benar terlaksana.
“Bukankah Ibu Wita berada di pihakku? Harusnya aku bisa memanfaatkan ini dan menjadikan momen yang indah untuk aku dan Bian, kan?” gumam Alea. Tanpa sadar, ia tersenyum lebar. Hatinya menghangat. Ia mulai berharap jika ia dapat benar-benar mulai menjalani kegiatan layaknya suami-istri dengan Bian. Dan ia harap, kedatangannya dan Bian ke rumah Ibu Wita akan menjadi titik balik yang menguntungkan untuknya.
***
Acara jurusan Sastra Indonesia yang membuat Alea telat pulang dua hari ini adalah sebuah seminar yang cukup penting. Pengisinya adalah beberapa orang yang bekerja di bidang perfilm-an, dan mereka menawarkan semacam sayembara yang sangat menarik.
“Bagi yang berhasil membuat cerita yang bagus, sesuai dengan kriteria kami, maka kami akan menawarkan kontrak film padanya. Kalian juga akan dibimbing oleh salah satu penulis skenario terbaik yang kami miliki, untuk mengubah cerita karya kalian menjadi sebuah skrip film.”
Mata Alea langsung berbinar mendengar informasi tersebut. Setelah menikah, ia jadi sadar jika kebutuhan hidup setiap harinya pasti akan meningkat. Dari yang dulu hasil kerjanya sebagai freelance writer bisa ia gunakan untuk makan seharu-hari di kos dan membantu meringankan uang semesterannya, kini justru hanya untuk naik kendaraan ke kampus saja Alea harus menggunakan uang tabungannya. Penghasilannya dari menulis, terkadang hanya cukup untuk kebutuhan primer seperti makan.
Kartu debit yang Bian berikan sekitar dua minggu lalu, Alea masih sungkan untuk menggunakannya. Untuk itulah ia terpaksa harus mencari penghasilan lain untuk asuransi nasibnya beberapa waktu ke depan. Dan tampaknya, informasi yang baru saja ia dengar itu merupakan sebuah peluang bagus yang tidak bisa Alea abaikan.
“Gi- Pak Gio!” Alea menghampiri salah satu pemateri seminar, pasca acara itu usai.
“Alea? Benar Alea, kan?” Gio pun menyambut Alea dengan senang.
Yup. Pria itu adalah orang yang membantu Alea di supermarket tempo hari. Alea juga tidak menyangka jika ia dapat bertemu lagi dengan Gio, terlebih, mengetahui kenyataan bahwa pekerjaan mereka saling berkesinambungan.
“Kamu tadi ikut seminar ini juga? Jadi, kamu anak Sastra?” Alea mengangguk antusias. Ia sangat bangga dengan jurusan kuliahnya itu.
“Saya baru tahu kalau Pak Gio penulis skenario film. Keren, Pak,” puji Alea. Ia tidak punya maksud lain. Murni hanya ingin menyapa, karena kaget dan seketika kagum dengan pria itu.
“Kalian saling kenal? Kamu kenal Pak Gio dari mana, Le?” bisik Putri.
“Enggak kenal banget, sih. Cuma Pak Gio pernah bantu aku beberapa hari yang lalu,” jawab Alea. Setelah itu, ia kembali menatap Gio. “Ya, sudah, Pak. Kami duluan ya. Terima kasih atas ilmu yang Bapak bagikan pada kami hari ini. Permisi,” pamitnya.
Alea berniat langsung mengajak Putri pergi dari sana. Namun, sebuah panggilan berhasil menghalaunya,
“Alea, tunggu sebentar!” Itu adalah suara Gio.
“Ya?”
“Kamu … apa kamu berencana mengikuti lomba yang diadakan PH kami? Tentang lomba menulis, pelatihan pembuatan skrip, dan lainnya itu,” tanya Gio.
Alea tersenyum. “Iya. Saya berencana untuk ikut. Kami berdua pasti akan ikut!” serunya dengan penuh semangat, sambil mengangkat tangan Putri juga.
Gio balas tersenyum. “Bagus. Semangat, ya! Semoga berhasil!”
“Makasih, Pak. Kalau begitu, kami permisi dulu,” Alea kembali berpamitan, dan kali ini, akhirnya ia benar-benar pergi.
Sejak tadi, Putri terus memperhatikan Alea. Sadar dirinya diperhatikan dengan tatapan aneh, Alea pun menoleh ke arah sahabat barunya itu. “Kenapa?”
“Serius kamu kenal Pak Gio?”
“Dibilang kenal juga enggak. Sekadar pernah ketemu satu kali aja, sih. Memang kenapa?” bingung Alea.
“Respons Pak Gio ke kamu baik gitu. Kamu nggak mau coba memanfaatkan peluang? Kamu ada kontak dia nggak? Kalau nggak ada, mending cari sekarang! Bangun hubungan yang baik sama Pak Gio! Siapa tahu dia bisa bantu kamu nantinya,” usul Putri.
Alea mengernyitkan alisnya, tidak paham dengan maksud ucapan Putri. “Bantu gimana? Aku kelihatan kayak orang yang lagi butuh bantuan?”
Putri memutar bola matanya malas. “Bantu lomba besok ini, lewat jalur belakang,” bisik Putri. “Dia kan salah satu jurinya, Le. Dia juga bakal jadi salah satu pembimbing buat pelatihan pembuatan skrip. Jadi, harusnya sih bisa bantu.”
Alea melongo. “Maksud kamu, kamu nyuruh aku curang, gitu? Aneh-aneh aja. Lagian aku sama Pak Gio nggak sedekat itu kaliii … kamu jangan salah paham!”
“Ck, makanya aku suruh kamu deketin dia, Le! Biar deket, biar kamu nggak sungkan buat minta tolong. Respons dia ke kamu bagus, kok. Aku yakin dia bakalan mau bantu kamu nantinya. Lumayan tahu, Le. Kapan lagi kamu bisa punya kesempatan seperti ini?” bujuk Putri.
Alea menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak mau. Selain tidak mau curang, ia juga tidak mau menggantungkan harapannya pada orang lain. Alea ingin, apabila memang dirinya menjadi salah satu pemenang dan mendapat kesempatan maju nanti, itu semua adalah karena kerja kerasnya sendiri, bukannya bantuan orang lain.
“Yeee … ni anak dikasih ide juga,” keluh Putri, kesal karena Alea enggan memakai ide briliannya.
Lagi pula, di zaman sekarang, siapa sih yang mau mengabaikan peluang emas seperti ini begitu saja?
***
Alea sudah minta izin pada Bian kalau ia akan pulang terlambat, karena membantu Putri dan panitia seminar membereskan ruangan. Alea baru sampai di apartemen pada pukul tujuh malam. Begitu ia masuk, lampu-lampu sudah dinyalakan, yang itu artinya Bian sudah ada di dalam.
Alea melirik ke arah meja makan. Ternyata sudah ada beberapa jenis makanan di sana. Ia mengulas senyum. Tampaknya malam ini akan menjadi pertama kali ia memakan hasil masakan Bian. Ternyata, laki-laki itu cukup pengertian. Saat lapar ia bisa masak sendiri, bukannya meneror Alea agar buru-buru pulang.
Alea berniat langsung ke kamar untuk membersihkan diri. Namun, ternyata Bian sudah tidak berada di sana.
“Mungkin dia lagi di studio,” pikir Alea. Toh biasanya memang seperti itu. Bian biasa masuk ke kamar mereka hanya saat ia akan mandi atau perlu untuk berganti pakaian. Selebihnya, Bian lebih suka menghabiskan waktunya di ruangan berukuran 2,5x3 meter persegi yang dipenuhi peralatan bekerjanya.
Alea memilih acuh. Ia lanjutkan niat awalnya, membersihkan diri di kamar mandi. Barulah setelah itu ia berencana memanggil Bian untuk makan malam bersama.
“Ini semua kamu yang masak?” tanya Alea dengan antusias, saat mereka sedang menyiapkan hidangan untuk diri mereka masing-masing.
Bian menatap Alea dengan alis mata mengernyit, “kamu pikir?”
Alea semakin kesulitan mengontrol ekspresinya. Ia tersenyum lebar, tak sabar menyantap hasil masakan suaminya itu.
“Aku delivery order tadi,” ucap Bian tiba-tiba.
Bahu Alea merosot. Tampaknya ia berharap terlalu banyak dari pria itu. Lagi pula, mana mungkin Bian mau memasak untuk dirinya? Bahkan, jika benar Bian rela berkutat dengan bahan makanan di dapur, kemungkinan besar pria itu hanya akan memasak untuk dirinya sendiri. Membuat satu porsi makanan tanpa ingat jika ia sudah tidak tinggal sendirian di apartemen ini.