Chapter 12

1136 Words
Sepulang dari rumah Pak RT, Danica memilih tidur lagi. Tidurnya kurang. Fisiknya lelah. Batinnya lelah. Padahal niat awalnya adalah hari ini ia akan nyekar ke makam ibunya. Tetapi ia terlalu lelah. Begitu lelahnya, hingga tidur pun ia tak bermimpi. Ibunya yang sebelumnya datang berhari-hari ke dalam mimpi, kali ini pun tidak datang. Danica membuka matanya dengan malas. Kamarnya tidak gelap. Lampu temaram berwarna kuning sudah dinyalakan.  Dengan posisi tidur miringnya, ia bisa melihat lemari pakaian kuno yang terbuat dari jati, meja rias dengan banyak laci, juga beberapa perabotan lama lainnya. Danica meregangkan tubuhnya, menghadap langit-langit kamar. Lampu gantungnya tidak menyala. Sesuatu menarik pikirannya perihal lampu gantung. Ada sesuatu yang salah. Gadis itu perlahan bangun. Mengumpulkan sel abu-abu di dalam kepalanya untuk menyatu, agar bisa berpikir apa yang membuatnya merasa ada sesuatu yang salah. Kedua manik matanya bergulir mengitari ruangan tidur, dan berhenti pada lampu kecil berwarna cokelat dengan sinar yang resup. Lampu itu menyala. Sontak Danica menurunkan kakinya dari tempat tidur. Seseorang tadi masuk ke dalam kamarnya dan menyalakan lampu tidur. Apakah Mbok Min? Ketika membuka pintu, Mbok Min baru saja meletakkan gorengan tempe yang terlihat hangat dan garing di meja makan. Wanita tua yang masih segar dan kuat itu, tersenyum ceria melihat Den Ayunya bangun. Danica menghampiri dan menatap meja makan. Aroma masakan kampung menguar menggoda perut Danica. Sayur bayam bening yang masih mengepul. Sambal terasi dengan tomat yang digoreng. Tempe goreng yang terlihat kriuk. Hanya tiga macam itu saja yang tersaji. Tetapi ketiga lauk-pauk itu sudah lebih dari cukup. "Mas Agasta lagi mandi. Tapi, kalau Mbak Nica mau makan duluan, makan aja. Pasti lapar. Tadi siang aja, makannya sedikit. Pagi sudah gak sarapan. Ayo, makan aja dulu. Kata Mas Agasta, kalau Mbak Nica sudah bangun, disuruh makan aja dulu. Takutnya kena sakit perut." Keinginan segera makan, menguat dalam diri Danica. Ia memang sangat lapar. Tetapi ada tamu. Rasanya tidak sopan kalau dirinya makan tanpa tamunya itu. "Nanti ajalah, Mbok." "Nanti sakit perut." "Gak. Saya gak pa-pa. Mbok Min aja makan duluan, ya." Mbok Min terkekeh. Senang dengan Den Ayunya yang bisa menebak kalau dirinya lapar. Mbok Min mengangguk dan berbalik hendak ke belakang. "Mbok...." Mbok Min menghentikan langkahnya. "Kenapa, Mbak?" "Mbak Min tadi nyalain lampu?" "Iya, Mbak," jawab Mbok Min dengan keheranan akan maksud tanya Danica. Menyalakan lampu sudah menjadi kewajibannya ketika matahari sudah mulai meredup dari Barat. "Termasuk kamar saya?" "Ooo..., kalau kamar-kamar, tadi Mas Agasta yang hidupin. Mas Agasta juga tadi mengetok pintu kamar Mbak Nica. Karena gak disahutin, Mas Agasta masuk aja. Katanya, bahaya kalau perawan tidur maghrib-maghrib dengan lampu gelap, hehehe...." "Jadi..., dia liat saya tidur, dong?" tanya Danica panik. Belum pernah ada seorang pria pun yang melihatnya tidur. Danica merasa tidurnya seperti penari Jatilan yang sedang beraksi. Liar dan tidak keruan. "Ya, iya mustina. Kenapa, Mbak?" "Gak, gak kenapa-napa. Ya udah, Mbok Min ke belakang aja." Danica mengibaskan tangannya yangbdituruti Mbok Min. Danica duduk di salah satu kursi makan sembari menutupi wajahnya dengan malu. Agasta pasti tertawa melihat caranya tidur. Jangan-jangan, setelah mandi, Agasta akan meperolok dirinya. "Sial!" maki Danica lirih. Matanya bergulir pada kedua kamar di hadapannya. Kamar orang tuanyalah yang membuatnya terpaku. Pintu kamarnya terbuka lebar. Mengundang Danica untuk mendekat. Dari tempatya duduk, Danica bisa melihat kaki ayahnya yang terbujur. Tidurkah? Tanya Danica dalam hati. Tubuhnya bangun sendiri dari kursinya. Sebagian besarnya, ingin melihat keadaan ayahnya. Perlahan ia melangkah. Semakin dekat, semakin cepatlah jantungnya berpacu, dan semakin lambat juga langkahnya. Sampai di ambang pintu saja kesanggupan Danica. Ia menyandarkan tubuhnya di palang pintu sembari menatap ayahnya yang kedua matanya terpejam. Selang infus masih terpasang dan tabungnya masih terisi banyak. Baru digantu Agasta. Dalam keadaan sakit, ayahnya terlihat bersih. Pakaiannya juga berbeda. Sudah diganti. Agasta pasti yang melakukan. Agasta memperlakukan ayahnya lebih dari tindakan seorang dokter. Rasa malu menyisip di hati Danica. Harusnya, ia yang merawat ayahnya, bukan orang lain. "Fuhhh...." Angin dingin dengan aroma Mint menerpa ke telinga Danica. Gadis itu menjingkat dan menoleh sengit. Kepala Agasta sesjajar dengan kepalanya. Tubuhnya yang besar membungkuk di balakang Danica. Menjadi penghalang bagi gadis itu mundur, menghindar. Agasta seperti tak peduli dengan kepala dan tatapan Danica yang menoleh ke arahnya. Tatapannya tertuju pada ayah angkatnya yang terbaring dan tertidur pulas. "Bapak sudah makan. Sudah dibersihkan juga dan sudah minum obat. Dan kali ini, Bapak menurut, tidak banyak protes." Danica mengalihkan pandangannya kembali pada ayahnya. "Biasanya ada saja yang dikeluhkan. Yang makanannya hambar. Yang punggungnya capek. Yang tempat tidurnya keras. Dan banyak lagi yang diprotesnya. Tapi sejak pagi, Bapak sangat tenang juga penurut. Sepertinya, kamar ini, tempat tidur ini, adalah tempat yang tepat baginya." "Heh..., kesadaran yang telat bahwa rumah adalah tempat ternyaman untuk kembali. Sudah seperti itu baru pulang." Danica tak ingin lama-lama pada kesenduannya. Ia berbalik dan mendorong tubuh Agasta agar memberikannya ruang, agar bisa berlalu. Aroma harus sabun mandi, menggoda hidung Danica. Pria wangi selalu menarik Danica. Tapi, tidak Agasta. Gadis itu bergegas kembali ke meja makan. Niatnya adalah makan dan mengisi perut yang keroncongan. Tak ada keinginan darinya untuk menawari Agasta. Danica tak peduli. Tetapi Agasta ternyata mengikuti Danica. Ia menyampirkan handuk di sandaran kursi dan duduk di dekat Danica. Danica yang tidak suka sesuatu tidak pada tempatnya, berdiri kesal, mengambil handuk Agasta, dan membawanya ke belakang. Ke tempat jemur handuk. Agasta tersenyum melihatnya. Saat Danica kembali, piringnya sudah ada nasi dan Agasta sedang menyendok sayur untuk dirinya sendiri. Setelahnya baru Danica yang menyendok sayur. Keduanya pun makan dengan tenang. Agasta paling cepat makan. Ia sampai nambah untuk kedua kalinya. Danica melihat saja. Tubuh yang besar, pastinya butuh asupan makanan segudang. Tapi ternyata, Danica pun ikut tambah meski tak sebanyak Agasta. Agasta meneguk habis minumannya. Ia melirik ke arah Danica yang juga sedang minum. "Besok-besok, kalau mau minum manis setelah makan, jangan lagi teh, ya," ucap Agasta. "Bukan urusanmu," sahut ketus Danica. "Teh yan diminum setelah makan justru menyebabkan katalis. Itu yang akan meningkatkan asam lambung. Nanti kena gerd, nangis." "Saya gak pernah kena apa-apa, tuh setelah minum teh kalau abis makan." "Ooo..., mungkin karena itu kamu pendek." "Maksud kamu apa?" tanya Danica kesal dengan mata mendelik. "Selain menimbulkan peningkatan asam lambung, tanin dalam teh yang memiliki beragam manfaat, justru mengha;angi penyerapan besi. Ini kan kamu makan bayam. Kandungan zat besi pada bayam, tidak akan memberikan efek positif di kamu. Kamu yang harusnya memiliki masa pertumbuhan baik menjadi tinggi, eh malah...." Agasta tersenyum dengan mata yang mengerling menatap postur tubuh Danica. Segera Danica menginjak kaki Agasta dan keluar dari kursinya. Ia melangkah menuju ke kamarnya. Bukan kamar tamu. "Nica, besok pagi kita ke makam, ya." Ajakan Agasta menghentikan langkah Danica dan berbalik. "Mau apa?" Agasta berdiri dan mendekati Danica. "Mau nyekar. Apa lagi? Mbok Min saya mintai tolong untuk membeli bunga di pasar." Danica menoleh ke kamar orang tuanya. "Sama Papa?" "Menurutmu bagaimana, Nica? Perlukan ayahmu tahu jika wanita yang dicintainya sudah tiada ataukah menunda dulu?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD