Chapter 11

1258 Words
Hujan di malam hari, di bawah kaki gunung, tak hanya rasa dingin yang menyerang, tetapi juga kantuk dan malas. Masih pukul sembilan malam, masih terlalu pagi untuk tidur malam. Ada acara debat di televisi yang ingin ditunggu jam tayangnya oleh Yudi. Beberapa kali ia menguap, tetapi ia tetap bertahan membuka mata dan menyaksikan acara televisi yang tak terlalu disukainya. Istri dan anak-anaknya sudah masuk kamar masing-masing. Untuk istrinya, sudah dipastikan terlelap tidur. Dengkurannya saja terdengar sampai ke ruang tamu yang merangkap juga ruang santai Yudi, karena televisi ada di sana. Sedangkan untuk kedua putra dan putrinya, Yudi gak terlalu ambil pusing. Ini hari Sabtu dan besok Minggu, jadi tidak ada kewajiban belajar apalagi bangun pagi. Dibiarkan saja putra putrinya di kamar dengan aktifitas yang mereka sukai sendiri. Entah akan tidur jam berapa mereka. Yudi mendengar derit pagarnya. Ia bisa mendengar suara pagar di tengah suara hujan karena suara televisi ia minimkan. Selain itu, hujan deras sudah berganti menjadi hujan rintik-rintik yang tak berisik. Sontak Yudi bangun. Ia lupa menggembok pagar. Kampungnya aman. Ini membuatnya sering mengabaikan tindakan mengunci pagar. Ia baru ingat akan pagar dikunci jika istrinya mengingatkan. Yudi segera menuju ke jendela kaca dan mencoba mengintip keluar. Beruntung dirinya tak perlah lupa menyalakan lampu teras, hingga ia bisa melihat keluar dengan jelas. Rahadyan dengan setengah menunduk, berlari cepat masuk ke teras. Sampai di teras, Rahadyan menepiskan sisa air hujan yang menempel di jaketnya. Seperti khawatir basah yang menempel akan mengotori rumah Yudi. Bergegas Yudi membuka pintu. "Ada apa, Pak? Ada masalah? Terjadi sesuatu?" tanya Yudi sembari mendekat Rahadyan. Kepalanya celingukan menatap jauh ke belakang Rahadyah, tepay ke rumah Rahadyan. Perasaannya menjadi khawatir karena kedatangan seseorang di malam hari, biasanya membawa kabar kurang menyenangkan. "Tidak. Tidak ada apa-apa, Pak. Maaf, apa sudah tidur?" tanya Rahadyan dengan wajah lembab yang dipaksa tersenyum. "Belum. Saya belum tidur. Monggo, monggo, masuk dulu. Dingin di sini." "Ndak pa-pa, di sini saja, Pak. Saya ndak lama." "Mau lama atau sebentar, mbok masuk dulu. Dingin, lho. Saya aja ndak kuat. Monggo,monggo." Yudi memaksa sembari menepuk lengan Rahadyan dan sedikit memberikan dorongan agar tetangganya itu menurut. Ngobrol di luar, malam-malam, hujan, sama aja menyiksa diri. Dinginya bisa sampai ke tulang. "Monggo duduk. Saya buatkan kopi dulu." "Ndak usah, Pak. Sungguh ndak usah. Saya Cuma sebentar." Rahadyan melihat keseriusan dari wajah tetangganya itu. Malam-malan datang tanpa sebuah rencana, berarti Rahadyan datang dengan maksud yang kuat akan sesuatu. Yudi memahami dan mempersilakan Rahadyan duduk. "Bagaimana, Pak. Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?" "Saya akan pergi, Pak." Yudi tak terlalu terkejut. Rahadyan adalah putra tunggal dari seorang kaya-raya yang memiliki banyak tanah perkebunan juga peternakan sappi. Pun begitu, hidupnya sederhana. Rumahnya saja masih model lama tanpa pembaharuan yang berlebihan. Rahadyan sangat tidak manja. Meskipun kaya raya, Rahadyan tetap ingin bekerja sesuai dengan cita-citanya. Pria itu sekolah pelayaran dan kemudian menjadi nahkoda kapal. "Bawa kapal lagi, Pak?" tanya Yudi terkekeh karena ia menebak dengan sangat yakin. "Hehehe..., iya, Pak." "Aduh, kenapa gak cuti panjang saja. Kan baru punya bayi. Apa gak sayang kalau ditinggal?" goda Puji. "Ya, sayang sih, Pak. Maunya juga cuti panjang. Tetapi, ya, karena panggilan tugas, terpaksa juga saya pergi. Saya titip istri dan putri saya, Pak." "Itu pasti. Saya akan jaga warga saya sebaik-baiknya." Yudi tergelak sedikit sombong. Ia suka dianggap penting. "Kalau istri saya butuh bantuan apa, atau putri saya kenapa-napa, tlong dibantu, Pak." "Tenang. Pasti saya bantu dan jaga. Pak Rahadyan bekerja saja yang tenang." "Saya mungkin akan pergi lama, Pak." Rahadyan kemudian merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan amplop putih yang sudah dilem. "Maaf sebelumnya dan saya harap Pak Yudi tidak tersinggung. Ini sekedarnya, sebagai bentuk terima kasih saya, menjaga istri dan putri saya." Yudi tentu langsung menolak. Itu berlebihan baginya. "Tolong, Pak, diterima. Agar saya lega. Saya titip Manika dan Danica. Sepertinya saya akan pergi lama." *** Yudi mengingat hari terkahir Rahadyan akan pergi. Pria itu memberikan amplop dengan selembar cek di dalamnya. Saat dibuka, cek itu tertera angka dalam jumlah yang fantastis di masa itu. Bahkan dengan uang pemberian Rahadyan, ia bisa mendepositokan untuk kedua putra dan putrinya. Tak disangka Rahadyan memang pergi untuk waktu yang sangat lama. Manika, tidak memberikan informasi apa-apa, dia lebih banyak bungkam dan hanya menjawab kerja. Jika ditanya lebih, Manika akan diam. Waktu bergulir dan Yudi selalu membantu Manika serta putrinya untuk segala urusan administratif. Berbeda dengan istrinya yang selalu mengambil kesempatan untuk mengorek-ngorek informasi, Yudi memilih untuk menjaga dan menghormati Manika seperti janjinya pada Rahadyan. Manika dan Danica bukanlah seorang yang merepotkan. Ibu dan anak itu terlalu tenang kehidupannya. Diam-diam, Yudi merasa berhutang budi pada Rahadyan. Ini karena ia tak memberikan banyak tetapi Rahadyan memberikan terlalu banyak. "Alhamdulillah. Saya lama menunggu-nunggu. Saya pingin ketemu. Saya bisa ikut Mbak Nica pulang. Mau lihat keadaan beliau?" tanya Yudi antusias. Danica menoleh pada Agasta. Tugas sudah dilaksanakan Danica. Ia sudah menginformasikan tentang tujuan Agasta. Kini waktunya Agasta menjelaskan keadaan pasiennya. "Sementara, tidak bisa dijenguk dulu, Pak. Perjalanan dari Surabaya kemari memang masih kuat ditempuh bagi kita-kita yang sehat, tetapi bagi Bapak, ini menguras tenaganya. Jadi, saya kira baiknya Bapak istirahat dulu dan tak menerima kunjungan untukbeberapa hari ke depan," jelas Agasta. "Sakit beliau pasti berat. Sampai-sampai harus didampingi dokter pribadinya." "Tidak juga. Tapi, karena sudah usia, pasti beda dengan kita, penerimaan tubuh atas sakitnya." Diam-diam Danica tersenyum. Bersyukur Agasta tak menjelaskan penyakit ayahnya. Dan berterima kasih karena Agasta bisa menjaga martabat ayahnya meskipun dirinya sendiri tidak tahu harus bagaimana berhadapan dengan ayahnya. "Baik, baik, saya memamahmi. Tapi, nanti-nanti, ndak tau kapan, saya juga pingin jenguk beliau. Saya ada hutang budi sama beliau ." "Pasti, Pak. Biar Bapak pulih dulu, baru mungkin bisa menerima tamu." Yudi menatap Danica dengan senyum lembut. "Pasti Mbak Nica bahagia. Akhirnya bapaknya pulang." *** Hati Danica kacau. Ia tidak suka orang lain mengira dirinya baik-baik bahkan bahagia karena sang ayah pulang ke rumah. tetapi dirinya jug tak mungkin menunjukkan ketidaksukaan secara nyata. Sikap plin-plan yang tak disukai Danica, ya akhirnya harus ia terapkan pada dirinya sendiri. Bertahun-tahun di sepanjang hidupnya, ia merasa menjadi yatim yang tidak jelas. Dikata ayah meninggal, bukan. Tidak meninggal, kehadirannya tak pernah ada. Dan orang-orang mungkin sekarang berpikir bahwa Danica sedang bahagia-bahagianya. Kehilangan satu, satunya datang. Sampainya di rumah, di ambang pintu yang masih terbuka, Danica tiba-tiba berbalik. Dua pria yang tadi berjalan di belakang Danica bak seorang penjaga, seketika berhenti dan bertanya-tanya akan ada titah apa dari Danica. Danica menatap Prasaja. "Gak pulang?" Usiran halus yang sebenarnya dimengerti Prasaja. Tetapi Prasaja adalah seorang yang tidak pedulian. "Saya mau jenguk Om." "Gak dengar apa yang diomongin Agasta tadi ke Pak RT?" "Ya, itu kan orang lain. Saya kan bukan." "Bukan orang lain bagaimana? Kamu bukan saudara kandung saya, bukan kerabat saya, ya itungannya kamu itu orang lain. Udah sana pulang. Saya capek." Danica langsung berbalik dan masuk ke dalam. Ia tak melihat bagaimana Prasaja hendak menyusul tetapi kalah sigap dengan Agasta yang sudah berdiri di ambang pintu menggantikan posisi Danica. "Ngapain kamu? Minggir!" bentak Prasaja. "Gak dengar tadi Danica bilanng apa?" Prasaja menggeram lirih. Ia benar-benar benci dengan sosok Agasta. "Dengar. Kamu sendiri apa budek, kamu kan juga orang lain. Kenapa masih di rumah ini?" "Beda kasusnya. Kalau saya dah pasti ada ijin. Sampai ke RT segala. Dan tujuan saya sudah direrstui sama si pemilik rumah. Tapi, kalau kamu..., bukannya tadi Danica suruh kamu pulang. Sana." Agasta tanpa sungkan mengusir Prasaja. "b******k!" "Udah, sana. Apa mau cari ribut ama cewek sedang marah-marah. Kan gak lucu." Tak ada pilihan. Prasaja memilih pulang dengan membawa berita bagi keluarganya. Itu jauh lebih penting, mengabarkan kedatangan seseorang yang sudah dianggap mati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD