Prasaja mondar-mandir gelisah. Sebenatr duduk. Sebentar berdiri dan berjalan ke teras, melongokkan kepala ke pagar gerbang yang besar, berteriak pada seorang penjaga, bertanya apakah ibunya dan kakaknya datang. Jika mendapat jawaban yang sama bahwa belum kelihatan tanda-tanda mobil ibu dan kakaknya muncul, Prasaja akan mendengkus dan kembali masuk, duduk dengan gusar.
Surya, ayahnya, mengalihkan pikirannya dengan membaca pesan-pesan WA melalui ponsel pintarnya. Sesekali dirinya tersenyum dan mulai mengetikkan kata-kata dengan semangat. Berbeda dengan putranya yang terang-terangan dilanda panik, dirinya yang sudah tua, sanggup menyembunyikan kegelisahannya.
Sama seperti putranya, dirinya pun kesal bukan main karena istri dan putrinya dengan sengaja mematikan ponsel mereka. Bahkan sopir pribadi pun ponselnya tidak nyala. Sangat diyakini jika istri dan putrinya itu tak hanya belanja, melainkan mengadakan pesta pribadi. Agar tidak dingganggu telepon juga tidak ingin diminta pulang, mereka mematikan ponsel dengan sengaja. Sedangkan si sopir hanya menurut saja.
"Kamu mondar-mandir kayak setriakaan begitu apa ada hasilnya?" tanya Surya tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.
"Mama ini ke mana sih, Pa? Ngapain aja coba pakai mati-matiin HP segala. Si Agus juga gitu, pakai nurut aja matiin HP," sungut Prasaja. Ia sekali lagi melongokkan kepala keluar, berharap pagar terbuka dan ada mobil ibunya masuk.
"Namanya juga lagi senang-senang, mereka mana mau diganggu. Mereka pasti sibuk pilih baju ini, baju itu. Sepatu ini, sepatu itu. Banyak lagi ini dan itu. Sudahlah, tunggu aja dengan sabar. Mereka toh pasti pulang."
"Tapi, ini kan genting, Pa."
"Ya, terus kamu mau bagaimana?" Surya menurunkan kacamata sampai di pucuk hidung dan menoleh menatap Prasaja yang gelisah. "Uring-uringan kayak gimana juga, kalau mereka belum mau pulang ya gak akan pulang."
"Nanti-nanti, Papa harus lebih tegaslah sama Mama. Bilang ke Mama kalau mau pergi, jangan matikan HP. Biar gak ruwet kalau ada apa-apa."
"Kenapa gak kamu aja." Surya mencebik dan kembali menatap layar ponselnya.
Berurusan dengan Yuni sama artinya berurusan dengan badai. Yuni akan mencak-mencak, protes, ngomel sepanjang hari, dan akan marah-marah untuk hal sepele. Yuni adalah kepala keluarga yang sesungguhnya. Dialah yang memiliki peranan penting dan pengambil keputusan terakhir.
"Papa kan suaminya."
"Kamu kan anaknya."
"Arghhh, sudahlah." Prasaja menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan kasar. Ia pusing, ia kesal, tetapi ia tidak bisa melampiaskannya pada ayahnya. Setidaknya, meskipun ayahnya bukanlah panutan, ia tetap menghormati Surya dengan statusnya sebagai ayah dari dirinya, Prasaja.
"Omong-omong ..., yang namanya Agasta itu menurutmu bagaimana?" tanya Surya tiba-tiba.
Ia tadi tak banyak bicara saat putranya, datang-datang mencarinya, dan mengataka perihal pulangnya Rahadyan dibarengi Agasta. Ini karena sebagian besar dari dirinya syok mengetahui akhirnya Rahadyan pulang ke rumah. Surya sendiri sampai tidak tahu harus bersikap bagaimana dengan kepulangan Rahadyan, haruskan ia senang ataukah harus merasa susah.
Kalau pun ia bersikap senang, Surya tidak tahu harus senang yang seperti apa.
Di masa lalu, hubungannya dirinya dengan Rahadyan, bukanlah hubungan yang buruk, tetapi juga bukan hubungan yang sangat akrab. Statusnya sebagai pengawas peternakan, yang bahkan SMA saja tidak sempat ia enyam, membuat dirinya agak sungkan terhadap Rahadyan yang merupakan pemilik.
Rahadyan sendiri adalah seorang yang baik, ramah, dan tidak pemilih dalam bergaul. Ia akan menyapa siapa saja dan mengajak bicara jika pria itu memang ingin bicara. Sebenarnya di peternakan bisa dikatakan Rahadyan lebih condong dekat dengan Surya.
Saat Rahadyan muda—yang kala itu usianya selisih lima tahun lebih muda dari Surya—datang ke peternakan, yang dicarinya sering kali adalah Surya. Ia kemudian akan bertanya ini dan itu terkait dengan perawatan hewan ternak dan lain sebagainya. Barulah kemudian bicara yang lain-lain yang tidak jelas, tetapi asyik untuk dibicarakan.
Hanya sebatas itu kedekatannya dengan Rahadyan. Baginya tidak ada yang istimewa selain diam-diam dirinya menaruh iri dan kemudian mengikuti apa yang menjadi rencana istrinya.
Pun begitu, merasa susah juga, terasa berlebihan bagi Surya. Mendengar keadaan Rahadyan yang katanya sakit keras, sampai perlu ada dokter yang menjaga dua puluh empat jam, harusnya tidak ada yang dikhawatirkan sampai harus membuatnya kesusahan.
Lagi pula, Rahadyan adalah seorang yang sedikit lugu. Hanya diberi kata-kata manis dan sikap merunduk, Rahadyan akan dengan mudah ditekuk. Itu yang Surya pernah alami di masa lalu, saat kemudian Rahadyan murka terhadap istrinya, Yuni. Suryalah yang meluluhkan Rahadyan dengan mata-kata lembut dan sikap merunduk.
Jadinya, saat putranya memberitahukan perihal pulangnya Rahadyan, Surya menanggapi datar saja. Hanya terkejut, tidak lebih dari itu.
Mungkin yang perlu mendapat perhatian lebih adalah munculnya Agasta. Ia sangat yakin jika itu akan menjadi prioritas Yuni, istrinya. Agasta adalah ancaman bagi Prasaja untuk masuk dalam bagian kekayaan Rahadyan dan putrinya.
"Ya ..., gitulah."
Terlihat sekali jika Prasaja enggan membicarakan Agasta. Surya jadi semakin khawatir. Selain profesinya sebagai dokter, pastinya ada hal lain yang membuat Prasaja malas membicarakan dan itu dipastikan adalah hal yang membuat anak lelakinya merasa rendah.
"Gitulah itu gimana? Papa kan perlu tahu juga seperti bagaimana itu Agasta calon pesaingmu itu."
"Ya kan tadi sudah dibilangi. Dia itu dokter. Dokter spesialis malah. Di Rumah Sakit Sentosa Internasional. Dia membawa surat pernyataan Om Rahadyan yang ditandatangani juga oleh pengacaranya, bahwa saat Om Rahadya diantar pulang ke rumahnya, maka Agastalah yang bertugas untuk merawat dan menjaga."
"Sampai perlu pakai surat pernyataan juga?" tanya Surya keheranan.
Dan dibalas kedikan bahu sebagai jawaban bagi Surya kalau Prasaja tidak peduli akan itu.
"Jangan tanya saya kok bisa sampai pakai surat pernyataan segala. Pokoknya, sepertinya Om Rahadyan hanya ingin memastikan bahwa Agasta tidak diusir keluar dari rumah itu. Titik."
"Istimewa sekali sepertinya si Agasta ini. Memang orangnya kayak gimana?"
Prasaja menatap ayahnya kesal. Bisa-bisanya ayahnya menanyakan hal fisik seseorang yang merupakan pesaing bagi anaknya. Menjelaskan itu dengan gamblang, hanya membuat Prasaja tersiksa. Untuk pertama kalinya dalam perjalanan hidupnya, Prasaja merasa minder.
"Lihat sendiri ajalah, Pa," sungut Prasaja yang memilih berdiri, memeriksa ke teras, dan kembali melongok ke arah pagar, yang kemudian kecewa karena belum juga pagar dibuka, yang artinya lagi, ibunya belum pulang.
"Halah, Cuma tanya begitu aja kamu sewot."
"Ya, Papa lihat aja sendiri aja."
"Kamu jelasin aja apa susahnya."
"Ribet amat sih, Pa."
Sebelum perdebatan saling tunjuk itu menjadi keributan tidak jelas, terdengar bunyi klakson mobil. Yuni dan Paramita sudah datang. Bergegas Prasaja berdiri dan menyambut keduanya di ambang pintu.
Seperti dugaan, ibu dan kakak perempuan Prasaja membawa banyak tas kresek belanjaan.
"Aduh..., anak kesayangan lagi nungguin, Mama, ya?" Yuni bergegas menaiki anak tangga dan berjalan dengan sumringah ke arah Prasaja.
"Ma..., Om Rahadyan pulang."
Langkah Yuni langsung terhenti. Tubuhnya kaku dan kedua matanya melotot.
"Ra...Rahadyan papanya...."
"Ya, Ma. Om Rahadyan, papanya Danica sudah pulang ke rumah."
***