Chapter 10

1208 Words
Sayur lodeh dan ikan asin beserta sambal terasi, tersaji hangat di meja makan bulat dengan taplak meja berwarna cokelat muda. Ada sulaman bunga di ke empat sisi taplak. Sulaman Manika, ibunda Danica. Hampir semua taplak meja adalah hasil dari prakarya alamarhumah ibunda Danica. Selalu ada sulaman atau rajutan yang dibuat. Danica makan siang bersama dengan Prasaja. Tatapannya terarah pada orang tuanya yang pintunya tidak ditutup rapat. Agasta sudah bangun lebih awal dari Danica dan pria itu sudah makan. Karenanya ia menolak dan memilih mengurus ayah Danica. Dalam hati dan pikiran Danica, berkutat pertanyaan akan siapa sebenarnya Agasta. Semalam pria itu menyebut Rahadyan dengan Bapak. Cara penyebutannya bukanlah cara penyebutan seorang bawahan kepada atasannya. Melainkan sesuatu yang lebih dekat. Seperti seorang anak pada ayahnya. "Dia sebenarnya siapa, Nica? Jujurlah. Saya ndak apa-apa, kok." Kata-kata Prasaja, membuyarkan pikiran Danica. Gadis itu mendengkus dan kembali pada makanannya. Ia malas meladeni Prasaja. Sebenarnya Prasaja adalah pria yang baik, juga cukup tampan. Ia juga dari keluarga mapan, meskipun keluarga Prasaja mengabdi pada apa yang dimiliki Danica, tapi tetap saja di mata orang-orang keluarga Prasaja adalah keluarga terpandang. Banyak wanita mengantri untuk mendapatkan hati Prasaja. Lelaki itu terlihat tak peduli meskipun tetap berteman dengan semua. Setiap ditanya, Prasaja selalu mengatakan bahwa dirinya sudah punya jodohnya sendiri dan nama Danica sering keluar dari bibir Prasaja. Itu yang membuat Danica kesal. Ibunya pernah cerita bahwa saat saat ia berulang tahun yang ke lima, orang tua Prasaja mengajukan lamaran. Ibunya bilang kalau saat itu suasana sedang ceria. Pikir ibunya tak perlu ada tanggapan yang serius. Pun, di kemudian hari tawaran pertunangan semakin kencang diminta oleh keluarga Prasaja, tetap ibunya tak memberikan keputusan yang pasti. Pernah saat SMA, Danica menyukai seorang pria, kakak kelasnya. Berusaha Danica memberikan sinyal cinta pada si pemuda, tetapi tidak ada balasan. Sampai kemudian ia mendengar dari seorang teman jika pria yang ia sukai sebenarnya menyukainya juga. Hanya saja, Prasaja sudah menekankan pada si cowok kalau Danica adalah miliknya. "Nica." Prasaja menyikut lembut lengan Danica yang terlihat melamun tetapi tetap mengunytah makanannya. "Apa?" Prasaja mengembuskan napas dengan reaksi Danica yang tidak peduli. "Mbok, ya kalau dipanggil tuh jawabanya 'dalem'." Hidih..., emang kamu siapa? batin Danica bergidik. "Jadi dia itu siapa kamu sebenarnya?" "Ah gak tau ah! Nanya melulu. Saya kan lagi makan. Bisa tenang gak, sih?" bentak Danica sembari melotot. "Dahlah, jadi gak selera makan." Danica berdiri dengan kasar, meneguk habis air minumnya, dan masuk kamar untuk berganti pakaian. Sedangkan Prasaja yang ditinggal begitu saja, menatap punggung Danica dengan tangan mengepal. Sadar diri bahwa sebenarnya ia berada di bawah kaki Danica, untuk sementara Prasaja menguatkan dirinya agar bersabar. Seperti telepati, tak lama baik Danica ataupun Agasta sama-sama keluar dari kamar masing-masing. Sampai-sampai Prasaja keheranan dengan kemunculan keduanya yang serempak. Prasaja pun berdiri dan ketiganya bertemu di pintu gebyok. "Bawa surat-suratnya, gak?" tanya Danica. "Bawa. Lengkap. Kecuali surat kematian. Danica mendengkus mendapati jawaban dari Agasta. "Naik mobil sama saya, Nica," ajak Prasaja begitu ketiganya sampai di luar. "Biar dia mengikuti saja di belakang." "Kita mau ke mana?" tanya Nica. "Ke Pak RT, 'kan?" jawab Prasaja bingung. "Pak RT rumahnya di sana." Telunjuk Danica terarah pada rumah bercat putih yang tak seberapa jauh dari rumahnya. "Dan kita perlu naik mobil? Berlebihan sekali, sih." "Maksud saya, setelah dari Pak RT, saya mau ajak kamu jalan sekalian." Agasta kembali tertawa lirih. Kebodohan berulang. Sudah jelas sekali Prasaja meminta Agasta membuntuti dengan mobil, yang artinya, Prasaja sebenarnya lupa memperkirakan jarak anatar rumah Danica dengan rumah pengurus RT-nya. "Saya capek. Gak pingin ke mana-mana. Ayo." Danica melesat jalan duluan. Mengabaikan Prasaja yang memberikan mimik wajah kecewa. "Ayo." Agasta yang membuntuti Danica, sempat-sempatnya menggoda Prasaja dengan mengulang kata-kata Danica sembari mengerlingkan mata. Agasta suka dengan kekalutan di wajah Prasaja. "Awas aja nanti," gumam Prasaja sembari mengepalkan tangan. Setelah menghela napas berulang kali, Prasaja pun menyusul Danica dan Agasta. *** Danica menatap Agasta dengan tatapan melotot. Begitu juga Prasaja. Keduanya sama-sama tak menduga tentang siapa sebenarnya Agasta. Terpikirkan pun tidak, setidaknya bagi Danica. Melihat penampilan Agasta, rasanya mustahil jika Agasta adalah seorang dokter apalagi dokter spesialis penyakit dalam. Bagi Danica, Agasta sangat tidak cocok menjadi dokter. Melihat perawakannya yang tinggi dengan jambang tipis mengitari dagu dan pipi luarnya. Mata hitam dinaungi alis sangat tebal yang memiliki garis menukik ke atas. Agasta lebih cocok menjadi seorang tukang pukul, di mata Danica. Belum lagi, suara Agasta yang bariton. Berat dan dalam. Seperti menekan siapa saja yang diajaknya bicara. Rasanya terlalu jauh menjadi dokter yang Danica pahami sebagai seorang yang lembut dan manis. "Wah, di usia semuda ini bisa jadi dokter spesialis, ya," ucap Pak RT bernama Yudi. Ia terlihat sangat kagum dengan sosok Agasta. "Kok, bisa?" Pertanyaan Yudi mewakili Danica dan Prasaja yang meragukan sosok Agasta sebagai dokter. "Ya, bisa saja, Pak. Saya selalu memberikan yang terbaik hingga tak perlu lama untuk lulus dan menjadi dokter. Tidak sulit juga untuk menjadi dokter. Asal encer," jawab Agasta sembari melirik Danica yang dibalas gadis itu dengan cibiran. Menurutmu otak saya gak encer? Liat aja nanti. Dasar Buto, maki Danica dalam hati yang kesal karena saat mengucapkan otak encer, tatapan Agasta justru terarah padanya. Sekalian saja Agasta mendapat julukan Buto, yaitu seorang raksasa jahat yang ada di cerita-cerita pewayangan. "Di Rumah sakit mana?" "Rumah Sakit Sentosa Internasional." Makin terkejutlah tiga orang tersebut. Itu adalah rumah sakit kelas elite di Surabaya. "Kalau mengarang jangan kebanyakan," tegur Prasaja yang gak suka dengan cara Agasta menyombongkan diri. Ia menjadi kerdil sejak pria itu mengatakan adalah seorang dokter. Dan semakin kerdil setelah tahu di mana ia kerja. Agasta tak menyahut. Ia mengeluarkan dompet dari dalam saku celana jeans-nya. Tak lama ia menyodorkan sebuah kartu putih yang memiliki cetakan yang jelas perihal data diri Agasta. Lelaki itu menyerahkannya ke Yudi. Yudi dengan antusias membaca data yang tertera di kartu tebal tersebut. Itu adalah kartu Agasta sebagai dokter yang dikeluarkan oleh pihak rumah sakit. "Di situ sudah lengkap, Pak. Ada nama, alamat, STR saya sebagai dokter, spesialisasi saya, dan tentunya tempat saya bekerja. Itu juga ada barcode-nya. Bapak bisa membuka situs Rumah Sakit Sentosa Internasional, klik mencari dokter, dan Pak Yudi bisa memasukkan nama saya atau bisa scan barcode." "Coba saya yang scan, Pak," Prasaja menawarkan. Tawaran yang mengandung rasa penasaran yang sangat tinggi. Ia yakin jika Agasta berdusta. Prasaja membuka situs rumah sakit dimaksud, dan menerima kartu identitas sebagai dokter milik Agasta. Awalnya ia mencoba melakukan scanning. Terhenyak Prasaja karena langsung muncul data Agasta berikut fotonya. Sedikit berbeda karena di data tersebut, Agasta sangat rapi. Dan bahkan sangat tampan. Prasa yang minder, masih berharap ini palsu. Ia kemudian mengetik nama Agasta dan keluar hasil yang sama. "Bagaimana, Mas?" tanya Yudi tak sabar. Dengan kecewa, Prasaja meletakkan kartu Agasta di meja. "Koneksi tidak stabil, Pak," dusta Prasaja. Agasta hanya memberikan senyuman mengejek ke arah Prasaja, karena dia tahu Prasaja berdusta. Yudi mengambil kartu identitas Agasta dan kembali membaca profil pria itu. "Oh, iya. Dan tujuannya ke rumah Mbak Nica apa?" Danica menahan napas. Ini akan menjadi informasi yang mengejutkan. Karena baik Yudi ataupun Prasaja adalah orang-orang yang pasti mengenal ayahnya. Untuk Prsaaja, kemungkinan tahu tentang ayah Danica dari orang tuanya. Agasta tak langsung menjawab. Ia menatap tajam Danica. Seolah memberi kesempatan bagi Danica menjelaskan. Danica menelan liurnya. Ia paham arti tatapan Agasta. Tetapi, dirinya gugup dan belum siap. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD