Chapter 41

1524 Words
Danica mengeluarkan foto usang, bergambar wajah sahabat ibunya dari dalam kotak kayu. Ia mengamati wajah cantik yang tersenyum manis. Seorang yang fotogenic. Sepertinya jiak di foto dengan model seperti bagaiamana pun, hasilnya akan sangat dramatis karena wnaita itu memiliki wajah yang ekspresif. Tapi yang Danica ingat tentang Tante Ajeng adalah, seorang wanita yang sangat kurus. Rambut yang menipis parah bahkan hampir botak. Bulu alisnya juga ikut menipis. Wajahnya sangat tirus dengan bibir yang seperti monyong, tebal, dan pecah-pecah. Tak ada yang menarik dari Tante Ajeng, yang ada bahkan sangat miris dan kasihan. Jika diingat lagi, tubuh sakit Tante Ajeng, serupa dengan ayahnya. Tersisa tulang dan kulit saja. Setiap kali ibunya dan Danica berkunjung, Tante Ajeng akan sangat senang. Wajahnya berseri meskipun mata itu layu susah berbinar. Tante Ajeng akan terus memegangi tangan Danica. Bertanya ini dan itu dengan napas tersengal. Ibunyalah yang kemudian banyak bercerita. Dari perihal Danica kecil. Sekolah di taman kanak-kanak. Menjadi seorang yang terlalu aktif. Sampai tentang Danica yang galak dengan teman-teman cowok sekolahnya. Tante Ajeng biasanya akan tertawa degan suara aneh. Menarik napas dengan kesussahan. Lalu ibunya akan dengan sabar memberikan minuman yang sudah ada sedotannya. Danica menemani ibunya mengunjungi Tante Ajeng hanya di hari Sabtu dan Minggu. Hari-hari lainnya, ibunya akan datang sendirian mengunjungi Tante Ajeng setiap harinya. Ibunya tak banyak bercerita tentang Tante Ajeng selain bahwa wanita itu adalah sahabat terbaik. Setiap ditanya, ibunya akan bungkam. Jadi, praktis Danica tak mengenal wanita itu. Danica keluar dari kamar dan menuju dapur mencari Mbok Min. Berpikir mungkin Mbok Min tahu sesuatu tentang teman ibunya ini. Mbok Min sedang melipat pakaian yang baru diambilmya dari jemuran dan Danica langsung duduk di sebelah Mbok Min. "Mbok, kenal Tante Ajeng?" Danica menyodorkan foto usang Tante Ajeng ke Mbok Min. Wanita itu menatap lekat foto itu tanpa menyentuhnya. Ekspresi aneh. Sulit bagi Danica memahami. "Sahabat Mama, 'kan?" "Iya." "Orangnya sebenarnya kayak gimana, Mbok?" "Baik." "Itu saja?" Mbok Min diam. Danica tidak pasti kenapa Mbok Min diam. Apakah memang enggan membicarakan orang meninggal ataukah tidak begitu kenal. "Tante Ajeng sering main ke sini?" "Sesekali." "Tante Ajeng gak punya keluarga?" "Punya." "Di mana?" Kembali Mbok Min diam. "Kenapa Mbok, kok Diam?" "Sudah, Mbak. Ndak usah tanya-tanya orang meninggal. Pamali. Gak baik. Yang lalu biarkan berlalu. Ndak usah ditarik lagi." Mbok min sigap berdiri dan akan memabwa masuk semua jemuran yang sudah dilipta, masuk ke dalam ruang setrika. Danica tak mencegah. Dia hanya menghela napas. Hatinya bergetar. Ia merasa Mbok Min sedang sengaja menyimpan sesuatu. "Di sini." Danica mendongak dan Agasta mendekati. Pria itu selalu terlihat sangat tampan jika habis mandi. "Apa ini? Foto siapa ini?" Agasta mengambil foto Tante Ajeng dari tangan Danica. Danica sendiri tidak keberatan. "Tante Ajeng." Agasta sekeita terdiam. Wajahnya menjadi serius. Agasta teringat percakapannya di pemakaman beberapa hari lalu. *** "Ibumu seorang wanita yang luar biasa." Kening Danica mengernyit. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Agasta memuji ibunya. "Kayak kamu kenal Mama saya aja," cibir Danica. "Secara personal, pasti enggak. Tapi..., Bapak sering bercerita tentang beliau. Membuat saya merasa kenal saja." "Memangnya apa yang Papa omongin tentang Mama?" Rasa penasaran tak bisa dibendung Danica. "Banyak." Agasta mengusap lembut kijing Manika. "Yang jelas, ibumu adalah wanita yang sangat luar biasa. Seorang wanita dengan hati yang sangat mulia. Seorang wanita yang benar-benar terlahir sebagai ibu." "Tidak dengan ibu saya." Agasta menghela napas. "Seorang wanita, memang tertakdir menjadi seorang ibu. Tetapi tidak semua wanita menjadi seorang ibu yang sebenar-benarnya ibu." Danica melihat kesenduan yang semakin dalam dari raut wajah Agasta. Bibir yang mengatup, seperti mengerucut. "Bahasamu hanya membuat pusing aja. Tapi, terima kasih pujianmu untuk Mama." Agasta tak menyahut. Ia menyorongkan kresek isi bunga ke Danica. Gadis itu mulai menabur bunga dan Agasta menyirami tanah makam. "Jangan dihabiskan!" cetus Danica sembari memasukkan kembali bungkusan daun pisang yang berisi sisa bunga ke dalam kresek lagi. "Kenapa?" "Untuk ke makam satunya lagi." Agasta mengernyit bingung. "Udah, ayo." Danica sekali lagi menunduk khidmat. Menyampaikan perpisaha pada ibunya di dalam hati. Lalu ia melangkah ke bagian lain makam. Agasta hanya mengikuti dengan bingung dan mengira-ngira dalam hati. Mungkin Danica ingin ke makam kakek dan neneknya juga. Tahu begitu, Agasta tentunya akan meminta bunga tambahan pada Mbok Min. Danica berhenti di depan makan yang jauh lebih sederhana dari makam ibunya Danica. Makam itu hanya dikelilingi batu marah yang sebagiannya dipendam. Mirip pagar. Maesannya pun jauh lebih sederhana. Terbuat dari kapur putih. Tertera nama Ajeng di sana, dengan tahun kematian lebih muda dari ibunya Danica. Agasta terkejut bukan kepalang setelah membaca nama yang tertera. Bibirnya hampir terbuka untuk berkata sesuatu, tetapi segera dikatupkannya. Ia memutuskan diam dan mengikuti Danica berdoa. "Ini makam siapa. Nica?" tanya Agasta setelah yakin melihat Danica selesai berdoa. "Sahabat Mama. Sahabat dari kecil." "Ibumu cerita apa tentang beliau?" Danica menoleh, "Banyak. Kenapa? Kamu mau tau?" Agasta hanya meringis malu. Ia memang ingin tahu, tetapi cara bertanya Danica seolah-olah menempatkan Agasta seperti ibu-ibu arisan yang pingin mengorek-ngorek sesuatu. "Kamu pasti sangat dekat dengan beliau?" tanya Agasta dengan tatapan menyelidik. "Tidak terlalu. Saya mengenal beliau ketika masih SMP. Mama mengajak saya ke rumah sakit." "Beliau sakit? Sakit apa?" "Bisa gak kalau tanya itu santai aja." Lirik Danica menyindir. Sikap Agasta terasa berlebihan saat melihat makam Ajeng. Seperti seorang yang antusias bisa menemukan sesuatu. Hal yang aneh. "Hehehe..., penasaran aja." "Sakit kanker paru-paru." Danica memberi isyarat menghentikan pembicaraan dengan mulai menabur sisa bunga sampai habis dan Agasta pun menyirami tanah makam sampai air dalam jirigen habis. Baru setelahya keduanya memutuskan pulang. Saat akan naik ke atas motor, Prabu bertanya pada Danica. "Bagaimana perasaanmu saat melihat almarhumah Tante Ajeng untuk pertama kali?" *** "Bagaimana perasaanmu saat melihat almarhumah Tante Ajeng untuk pertama kalinya?" Prasaja mengulang pertanyaannya saat dulu di makam. Pertanyaan yang belum dijawab Danica. "Menyedihkan. Beliau sendirian di rumah sakit dalam keadaannya yang kritis karena kanker paru-paru. Tidak ada kerabat. Tidak ada siapa pun. Benar-benar sendiri. Hanya Mama yang menemani." "Hanya itu?" "Ya hanya itu. Apalagi yang bisa saya rasakan saat melihat seorang wanita pesakitan di usia saya yang masih empat belas tahun." "Dan bagaimana perasaanmu setelah melihatnya dengan penampilannya yang seperti ini?" "Sangat berbeda. Beliau terlihat adalah seorang periang. Saya yakin teman lelakinya banyak. Ini karena dia supel. " Danica mengambil foto Tante Ajeng dari tangan Prasaja dan memandangi foto itu lekat-lekat. "Kalau mau jujur. Tante Ajeng sangat cantik. Jadi penasaran, kenapa Papa memilih Mama bukan Tante Ajeng?" Agasta menelan air liurnya. Ada rahasia yang ia ketahui tentang si Tante Ajeng, Manika, dan Rahadyan. Tetapi ia merasa belum waktunya menyampaikannya pada Danica. Harus satu-satu diurai dengan baik. Baru subuh tadi ada kemajuan perkembangan hubungan Rahadyan dengan Danica. Langkah yang masih sangat kecil dan amsih butuh usaha keras agar Danica bisa lebih dekat lagi dan keduanya bisa saling memaafkan. Jadi, perihal Tante Ajeng, Agasta memilih diam dulu. "Agasta. Terima kasih." Agasta menoleh dan bingung. "Terima kasih untuk apa?" "Menjaga saya agar tidak digondol wewe saat maghrib." *** "Mbok...." Mbok Min menghentikan langkahnya. "Kenapa, Mbak?" "Mbak Min tadi nyalain lampu?" "Iya, Mbak," jawab Mbok Min dengan keheranan akan maksud tanya Danica. Menyalakan lampu sudah menjadi kewajibannya ketika matahari sudah mulai meredup dari Barat. "Termasuk kamar saya?" "Ooo..., kalau kamar-kamar, tadi Mas Agasta yang hidupin. Mas Agasta juga tadi mengetok pintu kamar Mbak Nica. Karena gak disahutin, Mas Agasta masuk aja. Katanya, bahaya kalau perawan tidur maghrib-maghrib dengan lampu gelap, hehehe...." "Jadi..., dia liat saya tidur, dong?" tanya Danica panik. Belum pernah ada seorang pria pun yang melihatnya tidur. Danica merasa tidurnya seperti penari Jatilan yang sedang beraksi. Liar dan tidak keruan. "Ya, iya mustina. Kenapa, Mbak?" "Gak, gak kenapa-napa. Ya udah, Mbok Min ke belakang aja." Danica mengibaskan tangannya yangbdituruti Mbok Min. *** Agasta tertawa geli setelah diingat kejadian itu oleh Danica. "Kamu tidur terlalu pules. Saya tidak tega membangunkan. Jadinya saya nyalakan saja lampu agar kamar kamu tak terlalu gelap." "Manis sekali. Cewek kamu pasti senang punya cowok sepertimu." "Entahlah. Saya tidak beruntung perihal perempuan. Tidak ada yang mau sama saya." "Hahaha.... Alasan yang klasik sekali. Dasar buaya." "Memang begitu adanya." Danica hanya mencebikkan bibir saja yang dibalas Agasta dengan cekikikan. "Kamu sama Prasaja itu hubungannya yang bagaimana?" tanya Agasta penasaran." "Hubungan yang begitu saja. Gak ada yang istimewa." "Masak iya gak istimewa? Saya kira kalian berdua malah tunangan. Mana ibunya perhatian sekali sama kamu." "Sebenarnya beberapa kali Bude Yuni dan Pakde Surya mengajukan tunangan ke Mama. Tetapi Mama selalu bilang kalau saya masih kecil. Tunggu saya lulus SMA dulu." "Trus setelah kamu lulus SMA, jadi tunangan?" "Enggak. Enggak ada itu tunangan akrena Mama keburu meninggal. Kalau diingat-ingat, mungkinkah Mama sebenarnya kurang setuju kalau saya tunangan dengan Prasaja. Dan Mama sudah ada firasat akan meninggal di hari pengumuman kelulusan saya." Agats terhenyak. "Memangnya, mamamu meninggal tepat di hari pengumuman?" Danica mengangguk lemah. "Saya ke sekolah dan Mama terlihat biasa saja. Memang beberapa hari sebelumnya Mama sakit. Tetapi menjelang kelulusan saya, Mama terlihat sehat. Saat saya pulang, Mama menyambut saya di teras. Beliau duduk di sana dengan senyum manisnya. Itu senyum terakhir Mama untuk saya. Dan saat saya memeluk Mama dan mengatakan saya lulus dengan nilai terbaik. Mama membelai kepala saya lama dan memeluk saya erat." Sebulir air mata lolos. Danica tak bisa menahan kesedihannya. Duka itu kembali datang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD