Chapter 42

2727 Words
Agasta jadi merasa bersalah karena menanyakan hubungan Danica dan Prasaja yang justru merembet pada kisah sedih atara Danica dan ibunya. Sedikitnya Agasta menyalahkan dirinya sendiri yang bodoh. Padahal dengan melihat tanggal meninggalnya Manika di batu nisan, harusnya Agasta sudah bisa mengira-ngira bahwa ada hal tragis dalam kehidupan Danica. Saat remaja sebayanya, bersorak dengan kelulusan, Danica justru digelung dengan kedukaan. Reaksi alam manusia, ketika kedukaan menerjang, dan ada seseorang di dekatnya, maka keberadaannya bukan hanya sekedar ada, tetapi dibutuhkan. Danica menyandarkan kepalanya di lengan Agasta dan pria itu mengusap pipi Danica. Yang satu membutuhkan kekuatan, satunya memberikan tak hanya kekuatan, tetapi juga perlindungan. "Eh..., aduh..., salah...." Mbok Min yang mucul dari dalam, terkejut dan bingung sendiri, sekaligus menjadi malu. Ia secara tak sengaja melihat putri embannya dengan tamu pria, duduk bersisian, yang bagi dirinya terlihat romantis. Meskipun ia segera berbalik dan memunggungi sejoli, tetap rasa geli tak bisa dihindari. Mbok Min cekikikan sampai tubuhnya bergetar. Danica langsung menegapkan tubuhnya. Menatap sekilas Agasta dan segera menghapus air mata yang tak sedera di awal. Hatinya seketika kacau, mengingat betapa mudahnya ia menyandarkan diri pada lelaki yang belum lama ia kenal. Itu bukan dirinya. Pada yang sudah lama kenal saja, Danica memberikan batas yang panjang dan lebar, apalagi pada yang baru kenal. Tetapi Agasta berbeda. Danica tidak mengerti kenapa diriya bisa lemah dan pertahanannya runtuh. Danica mengingatkan dirinya sendiri untuk memperbaiki tamengnya. Ia tidak boleh terpengaruh lagi. "Kenapa Mbok Min?" tanya Agasta mendahului Danica yang sudah membuka mulutnya. "Itu, Mas." Mbok Min memutar tubuhnya dan menatap keduanya dengan senyum penuh makna. "Di depan ada Mbak Maya." "Maya? Rajin amat datangnya sekarang." Danica berdiri dengan wajah ketus dan melangkah kesal. Baru saja ia bertekad untuk membangun benteng, tidak peduli dengan Agasta, tidak terpengaruh dengan apa pun yang berhubungan dengan Agasta. Tapi baru dengan nama Maya datang untuk Agasta saja, dia sudah kesal. Saat Danica akan berbelok masuk ke dalam kamar, pergelangan tangannya ditangkap Agasta yang rupanya mengikuti Danica. "Apa?" tanya Danica kesal karena bentengnya belum terbangun lagi. "Temani ke depan." "Idih, ogah. Kencan aja sendiri sana." Danica mencoba melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman Agasta. "Udah, ah. Temani." Agasta setengah menarik Danica agar mengikuti langkahnya. Danica merasa percuma juga melawan. Agasta memegang pergelangan tangannya dengnan kuat. Lagi pula, menatap tangannya yang pegang Agasta, ada perasaan menyenangkan yang membuat Danica tersenyum sendiri. Ia suka. "Hai, May," sapa Agasta ramah. Sempat terukir senyum manis Maya untuk Agasta. Tetapi, senyum itu menjadi aneh saat kemudian melihat Danica. Kedua mata Maya bergulir ke bawah dan senyumnya seketika memudar mendapati Agasta memegang pergelangan tangan Danica. Danica yang memahami makna ekspresi Maya, serega melepaskan tangannya. Danica heran bagaimana kali ini tangannya sangat mudah dilepas. Artinya, Agasta dengan sangat sengaja meregangkan pegangannya sesaat setelah di luar. "Hai, May," sapa Danica dengan canggung. "Hai," jawab Maya dengan nada malas. Maya sendiri sudah tidak memiliki gairah setelah melihat tanga Agasta yang memegangi tagnan Danica. Ia tidak bodoh untuk tahu jika Agastalah yang membawa Danica turut serta untuk menemui dirinya. "Apa itu May?" tanya Agasta memecah kekikukan. Kedua tangan Maya memegang piring saji yang ditutupi kain serbet kotak-kotak. "Oh, ini. Tadi saya buat pisang nugget cokelat keju. Semoga kamu suka." Maya menyodorkan piring sajinya ke Agasta. Ia seperti dengan sengaja mendirikan pembatas dengan mengabaikan Danica. "Kelihatannya enak ini." Agasta membuka sedikit kain serbetnya. Maya, sigap dengan membuka semua kain serbetnya. Menampilkan jejeran pisang yang sudah dibungkus tepung dengan remah roti dan diberi siraman cokelat. Tak terlihat kejunya, karena ada dalam balutan tepungnya. "Dicoba, deh." Maya tanpa sungkan menyodorkan salah satu pisang nugget ke dekat mulut Agasta. Meski samar karena berusaha disembunyikan, tapi tetap reaksi Agasta yang terkejut, tertangkap mata Danica, dan gadis itu hanya mencibir sabar. Menganggap reaksi Agasta berlebihan dan Maya terlalu berani. Agasta tak bisa mengelak. Ia membuka mulutnya dan menikmati gigitan pertama pisang nugget buatan Maya. Wajah Maya yang tadinya tidak enak, kembali cerah saat melihat ekspresi Agasta yang tersenyum, mengangguk-angguk dan terlihat puas. "Enak?" tanya Maya antusias. "Enak." Agasta mengambil pisang yang sudah digigitnya dari tangan Maya. "Ini pisangnya juga manis. Jago masak kamu, Maya." "Masih belajar itu," ucap Maya tersipu malu. "Nica, cobain, deh." Tanpa diduga, Agasta melakukan hal serupa dengan Maya. Dia menyodorkan pisang nugget, langsung ke dekat bibir Danica. Bedanya, Agasta tidak menyodorkan pisang nugget baru, melainkan pisang nugget bekas gigitannya. "Nih, cobain." Agasta semakin mendekatkan pisang nugget, sampai menempel di bibir bawah Danica. Agasta mengabaikan tatapan sengit Danica. Bahkan ia juga mengabaikan ekspresi terkejut Maya akan aksi Agasta yang terlalu akrab dengan Danica. Mau tidak mau, Danica membuka mulutnya dan menggigit sedikit pisang nugget buatan Maya. Sama dengan puding yang sebelumnya dibuat Maya untuk Agasta, pisang olahan ini pun sama enaknya. Danica tak menyangka jika Maya ternyata pintar memasak, mengingat saat dulu jaman sekolah, Maya terlihat sangat manja. "Enak?" Danica tersenyum terpaksa sembari menatap Maya dengan tidak enak hati. Maya pasti kesal. Danica mengingatkan diri untuk Agasta lebih sopan lagi jika ada Maya. "Enak. Pisangnya enak. Kamu pintar masak, ya, Maya." Danica mencoba ramah pada Maya. "Terima kasih," jawab Maya kaku. Suasana menjadi canggung. Masing-masing mulai bingung dengan pilihan. Maya tadinya ingin menghabiskan waktu menjelang sore dengan Agasta, tetapi dengan adanya Danica, ia menjadi tidak yakin bisa menghabiskan waktu dengan kesenangan bersama pria yang sedang ia sukai. Danica lagi-lagi memamahi situasinya. Ia sangat memahami jika tujuan Maya adalah Agasta. "Ya, udah. Dilanjut. Saya mau masuk ke dalam," pamit Danica. Wajah Maya langsung sumringah. "Eh, kenapa masuk. Ayo, ngobrol bertiga. Pasti ada cerita seru dari kalian berdua. Ayo, May..., silahkan duduk." Agasta lagi-lagi menangkap pergelangan tangan Danica. Ia meletakkan piring saji isi pisang nugget di meja. Menyilakan Danica duduk dengan sedikit memaksa. Lalu ia masuk ke dalam dan mengeluarkan kursi tambahan, yang diletakkan di sisi kursi Danica. Saat itu juga, Danica sangat ingin memalu kepala Agasta agar pria itu pandai membaca situasi, Sudah sangat jelas tujuan Maya adalah Agasta, maka adanya pihak lain, akan dianggap pengganggu. Hal begitu saja, Agasta tidak memahami. Atau mungkin pura-pura tidak paham. Yang Danica tidak tahu adalah Agasta sebenarnya memahami situasinya. Hanya saja, dirinya tidak nyaman berdua saja dengan Maya. Pada dasarnya juga, Agasta memang tidak suka berbicara berdua saja dengan lawan jenis. Ini karena Agasta tahu, muaranya akan ke mana, yaitu pengharapan akan kemajuan masa depan sebuah hubungan. Agasta memanfaatkan Danica untuk menjadi penyelamat. Ia tak peduli jika Danica dendam dan kemudian menjadi pemarah nantinya. Yang penting dirinya selamat sekarang. "Gimana rasanya jadi bidan? Pasti seru, ya," ucap Agasta membuka percakapan. "Hehehe..., begitulah. Tapi, saya belum sepenuhnya menjadi bidan. Saya hanya masih membantu-bantu saja," jawab Maya. "Lulusan baru, butuh praktek, sih, ya." "Iya, Mas. Ini saya bingung antara melanjutkan ke pasca sarjanan atau tunggu nanti-nanti, ya, Mas? Mas Agas ada saran?" Dan pembicaraan pun di d******i Agasta dan Maya. Danica hanya menjadi obat nyamuk untuk keduanya. Hatinya dongkol. Yang ia lakukan hanyalah menikmati pisang nugget buatan maya. *** Kursi dibawa masuk Agasta dengan ringan. Langkahnya santai tanpa beban. Padahal Danica dengan mata yang membulat lebar, menatap galak Agasta. Ia berjalan di belakang Agasta sembari membawa sisa pisang nugget Maya. Berbeda dengan Agasta yang menaruh kursinya dengan kalem, Danica justru menutup pintu, sedikit kasar. Tubuh Agasta menjingkat dan menatap Danica yang sudah kembali menata dirinya dengan sangat tajam. Andai mata Danica memiliki keajaiban, pastinya yang keluar adalah ribuan busur panah, yang terarah pada Agasta. "Hei! Lain kali, kalau kamunya ingin pendekatan sama Maya atau sama siapa pun itu, gak usah bawa-bawa saya! Paham kamu!" ucap tegas Danica yang terdengar sebagai ultimatum. "Saya muak asal kamu tau." "Saya sedang tidak mendekati siapa-sapa," jawab Kalem Agasta. "Apanya yang gak lagi pendekatan, hah? Sadar gak sih kalau kamu itu banyak nanya seputar kehidupan dia. Kalau bukannya lagi penjajakan atau pendekatan, apa lagi namanya?" "Saya Cuma tanya-tanya aja, sih. Kan gak ada yang salah." "Salah!" hardik Danica keras. "Kamu bawa saya di sana, tetapi kamu juga menjauhkan saya di sana." "Maksudnya apa? Kamu kan tadi duduk dekat saya." Danica mendekat. Menatap leher Agasta dengan tajam. Membayangkan bagaimana rasanya andai ia berhasil mencekik leher yang seperti pipa betan. Kuat. Leher yang agak panjang. Jakun yang naik tutun menggoda. Danica penasaran bagaimana rasanya jakun pria jika tersentuh di jemarinya. Nica! Sadar Nica! Jangan malah berpikiran kotor! Danica mengerjapkan mata beberapa kali. Mengusir pikirannya yang aneh-aneh karena melihat jakun Agasta. "Kamu itu malah asyik ngobrolin hal-hal medis berdua. Menertawakan hal yang saya tidak pahami. Mendikusikan keputusan yang saya juga tidak mengerti. Saya di sana tadi Cuma jadi obat nyamuk kalian. Mendengarkan tanpa mengerti apa-apa. Ikut tertawa, tanpa tau apa yang ditertawakan. b******k! Besok-besok, kalau niatnya mau berdua-duaan, gak usah ajak-ajak saya. Sampai aja kamu berani ajak saya di kencan kamu dan Maya, liat aja. Saya bikin berantakan kencan kamu!" Sebuah ancaman keluar dari bibir Danica yang mungil. Posisi keduanya yang berdiri berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Hanya membuat Agasta geli sendiri. Danica mengomel seperti seorang anak kecil yang merengek ingin ini dan itu. "Kalau cemburu, bilang aja, Bos." Agasta menowel hidung Danica dan melangkah masuk sembari tertawa kecil. Sednagkan Danica menghentakkan kaki dan berpikir untuk melempar piring saji isi pisang nuffet ke punggung Agasta. *** Sepenggal kenangan *** Danica sudah selesai memasak airnya. Sesuai dengan permintaan Agasta, ia membuatnya hangat dan merendamkan handuk kecil, baru kemudian membawanya masuk ke kamar ibunya. Kamar orang tuanya saat bersama. "Letakkan di sini." Agasta menunju kursi yang ada di dekatnya. Ia memasukan bebera perlengkapan medisnya ke dalam tas. Urusan kesehatan untuk sang ayah angkat sudah selesai. Infus sudah dipasang di tangan kiri. Selang oksigen juga sudah terpasang di hidungnya. Agasta juga sudah menyuntikkan obat agar ayah angkatnya itu istirahat tenang. Danica menuruti Agasta. Ia meletakkan baskon berisi air hangat beserta handuknya di kursi yang disediakan. Danica diam saja menatap ayahnya. Menelusuri wajahnya dan seluruh tubuhnya yang sudah ditutupi selimut tebal. "Dia kenapa?" Akhirnya Danica tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Agasta yang baru saja menyeka tangan ayahnya dengan air hangat, berhenti dan menatap Danica sejenak. Ia menghela napas seolah-olah pertanyaan Danica itu beban. Kembali Agasta metendam handuk kecil ke air hangat, memerasnya, dan kali ini menyeka wajah ayah angkat dengan kelembutan. "Beliau sakit." Akhirnya Agasta menjawab pertanyaan Danica. "Sakit apa?" "Demensia." *** "Bapak jarang ingat akan banyak hal Nica," ucap lirih Agasta. "Bapak tidak pernah ingat apa pun. Bapak tidak pernah ingat saya." Danica langsung keluar kamar. Agasta mengkuti dan menggapai lengan Danica begitu sudah di luar kamar. Danica berbalik dengan kasar, untuk kedua kalinya ia menyentak tangan Agasta. "Apa?!" bentak Danica. "Beri kesempatan pada Bapak begitu beliau ingat, Nica." "Hah!" Danica pura-pura tidak mengerti lalu kemudian tertawa geli. "Kesempatan? Kesempatan katamu?" tanya Danica geram. "Dua puluh empat tahun berlalu, apa tidak pernah ada kesempatan untuknya, hah? Nunggu dia sekarat dulu, baru kesempatan itu dicari-cari, gitu?" Ada jawaban yang akan keluar dari bibir Agasta, tetapi pria itu menelannya lagi. Ia merasa ini bukanlah saat yang tepat. Apalagi Danica sedang marah-marahnya. "Apa? Mau omong apa kamu? Mau belain dia, ya?" Danica tidak bodoh untuk bisa membaca mimik wajah Agasta yang bersiap untuk bicara, tetapi diurungkan. "Saya tidak melakukan pembelaan. Hanya saja, setiap orang pernah bersalah dan setiap orang selalu diberi kesempatan untuk memperbaikinya, meskipun mungkin perbaikan itu tidak utuh. Dan ayahmu, kebetulan di saat lemah-lemahnya, baru menggapai kesempatan itu." "Kenapa nunggu sudah lemah kayak gitu baru ambil kesempatan?" "Kenapa tidak kamu tanyakan sendiri, Nica?' tantang Agasta dengan tetap menjaga suaranya agar tak meninggi. Ia tak ingin jika Danica semakin tersulut dengan kemarahannya sendiri. "Tidak. Saya tidak mencari jawaban. Saya sudah biasa hidup dengan segudang pertanyaan yang tak terjawab," jawab Danica ketus. "Kalau begitu, mungkin saat ini adalah kesempatan bagimu untuk mendapatkan jawaban atas setiap pertanyaanmu." Danica melengos. Kata-kata kesempatan ini menjadi berbalik pada Danica. "Bapak menderita Dementia. Saya yakin sejak subuh itu saya mengatakan apa sakit Bapak, kamu pasti sudah mencari informasi dengan sejelas-jelasnya. Bapak mengalami kemunduran dengan memorinya. Karenanya, saat ia berhasil menarik ingatannya, jangan kamu sia-siakan, Nica. Tanyalah. Tanyalah apa saja yang pernah terlintas dalam hidupmu. Jika Bapak, sudah kamu anggap terlambat dalam mengambil kesempatan sepanjang dua puluh empat tahun ini, maka..., sebaiknya kamu tidak terlambat mengambil kesempataan saat Bapak kembali dengan ingatannya." "Jangan mengajari saya!" "Saya tidak mengajarimu. Saya mengingatkanmu. Beliau sudah sangat tua. Penyakitnya bukan hanya sekedar Dementia. Tidak ada yang tahu seberapa lama lagi ia mampu bertahan. Saya rela meninggalkan semua, hanya agar saya tidak kehilangan kesempatan untuk membantu Bapak. Saya harap, kamu pun begitu. Jangan sampai kamu kehilangan kesempatan dan menyesal di sepanjang hidupmu." "Saya tidak akan menyesali apa pun." Pernyataan yang tak terdengar kuat. Pernyataan yang dipaksakan keluar hanya agar dirinya tidak lemah. Ia sudah sangat membenci ayahnya dan Danica ingin ayahnya tahu akan itu. "Kamu pasti akan menyesalinya, Danica." "Kenapa saya harus menyesal? Saya tidak bersalah apa-apa." "Sama sepertimu yang menganggap Bapak bersalah karena menyia-nyiakan banyak kesempatan, maka kamu pun tidak ada bedanya." Agasta menghela napas. Ia harus menyudahi pembicaraan ini. Rahadyan di kamar sendirian. "Tenangkan dirimu, Nica. Mungkin setelahnya kamu mau mencoba mengambil kesempatan untuk berdamai." *** "Harusnya kamu itu jaga hati Prasaja, Nica. Dia itu kan selalu ingin membuat kamu senang juga bahagia. Mbok ya kamu hargai," ketus Yuni yang kecewa. "Apa iya ibumu dulu ndak ngajari gimana bersikap sama orang baik?" "Kok, Bude bawa-bawa almarhuma Ibu? Ini apa hubungannya?" tanya Danica dengan suara mulai meninggi. "Ya, terus saya bawa-bawa siapa?" tanya Yuni santai tapi tak mengurangi sengitnya. "Yang urus kamu kan ibumu. Harusnya kamu itu bisa jaga perasaan orang lain kalau kamu gak mau disakiti. Opo sih yang kurang dari Pras? Asal kamu nyeletuk minta 'A', ke ujung dunia pun akan dia datangi Cuma untuk memenuhi kemauanmu. Mosok diajak jalan-jalan aja, pakai nolak segala." "Bude, yang ajak jalan-jalan kan bukan Pras," ralat Danica. "Ooo..., jadi kamu nyalahin saya?" Paramita menghentakkan kakinya. "Yang nyalahin Mbak Mita siapa? Saya kan Cuma meluruskan." "Jadi..., kalau saya yang ngajak, kamu akan langsung menolak, gitu?" Agasta mulai merasa kalau ini akan mengarah pada situasi yang tidak benar. Semua kalimat dibolak-balik dan itu menyudutkan Danica berlebihan. Secara naluri, Agasta tidak suka pengintimidasian yang tidak imbang begini. "Di dalam ada orang sakit. Sebaiknya kita tidak memvuat kegaduhan apa pun. Saya harap masing-masing dari kita bisa saling mengerti. Danica penulis dan dia punya tempo penyelesaian. Saya dokter dan saya punya pasien yang harus dijaga. Masalah jalan-jalan, masih ada waktu lain untuk membicarakannya." Agasta menatap Paramita dengan intens. Wanita seperti Paramita adalah wanita seperti kebanyakan yang menyukai dirinya. Tipe wanita dasar alias umum. Wanita yang mudah dimanipulatif dengan pujian juga kelembutan. Wanita yang silau akan pernampilan permukaan. Agasta sangat yakin, jika Paramita sudah sering kali dimanfaatkan. Senyuman terbaik diberikan Agasta untuk Paramita. Sebuah senyum tipas tetapi dengan sedikti kerlingan, adalah daya pikat Agasta. "Lain kali, mungkin kita bisa jalan-jalan." *** "Kamu terbiasa ya bikin janji atau harapan untuk para wanita?" tanya ketus Danica sembari menatap Agasta yang baru masuk setelah mengantar kepergian Yuni dan dua putra putrinya. "Maksudnya?" tanya Agasta balik dengan bingung. "Lain kali, mungkin kita bisa jalan-jalan." Danica mengulang kata-kata Agasta dengan mimik wajah yang dibuat aneh. Bibir dimonyongkan dan kepala bergerak-gerak seperti boneka kayu dengan pir di bagian lehernya. Agasta menunduk, menyimpan tawa agar tak keluar menjadi bahak yang akan membuat Danica makin emosi. "Apa kamu ounya ide bagaimana cara mengusir mereka? Kamua aja banyak diamnya." "Ya, karena saya gak suka menjanjikan apa-apa." "Oke.... Kalau kamu sudah mengkritik saya, lalu apa saran buat saya nantinya?" Danica menelan ludah. Dirinya ditodong padahal ia tak punya apa-apa sebagai jalan keluar. Budenya, Yuni dan putri sulungnya, Paramita, adalah seorang yang akan jauh lebih ngotot. Jika belum mendapatkan kepuasan, keduanya tidak akan berlalu. Prasaja pun sebenarnya begitu, hanya saja, Prasaja masih bisa diberi pemahaman agar tak mendesak. "Ya pokoknya gak usah menjajikan apa-apa kalau tidak bisa," jawb Danica seada-adanya. Sedikit memalukan karena itu jawaban anak kecil yang sepertinya cemburu akan sesuatu. "Bisa, kok. Saya juga ingin melihat-lihat apa isi kota ini. Bapak selalu menceritakan banyak hal menarik di kota ini. Tapi, saya belum ada kesempatan ke sini. Jadi..., gak ada salahnya saya menerima ajakan mereka untuk jalan-jalan." "Alasan klasik laki-laki. Kamu sebenarnya hanya ingin bersama si Mita." Agasta memberikan sengiran menggoda sembari berjalan perlahan mendekati Danica. Matanya tak beralih dari manik mata Danica. Mengikat gadis itu agar tak lari. Jantung Danica berlarian. Gengsinya menghalangi Danica memalingkan wajah atau berbalik badan. Tetapi deburan jantungnya, membuat Danica tidak keruan. Langkah Agasta yang semakin mendekat, membuat Danica semakin blingsatan. Sebuah towelan lembut mendarat di ujung mancung hidung Danica. "Kalau cemburu, bilang, Bos." Agasta terkekeh dan berlalu meninggalkan Danica yang kemudian menjadi kesal sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD