Butuh dua jam setengah bagi Prasaja untuk sampai ke Surabaya. Ia langsung menuju ke salah satu hotel mewah di daerah kota. Tujuannya bukan menginap, melainkan ke restoran yang sudah dipesankan Farah.
Prasaja melangkah tanpa tolah-toleh. Sesampainya di hotel dimaksud, ia memarkirkan mobil gelapnya, masuk hotel dan menuju lift, lalu ke lantai paling atas, menuju restoran. Di sana ia langsung bisa melihat Farah yang mengenakan pakaian dengan warna mencolok. Entah apa tujuannya. Mungkin Farah ingin, saat Prasaja muncul, pria itu bisa langsung melihat dirinya.
"Oke. Saya sudah datang. Ada apa?" tanya Prasaja tanpa basa-basi. Ia langsung duduk dan menatap tajam Farah.
"Capek, ya? Kita pesan makan dulu, ya." Farah mencoba untuk bersikap lembut meskipun Prasaja sudah kasar sejak kedatangannya. Farah sudah bertekad tidak membuat Prasaja menjadi tidak nyaman.
"Saya tidak capek dan saya tidak lapar. Bisakah kita langsung saja, Far. Saya harus pulang sore ini juga."
Wajah Farah seketika pias. Ia tak rela Prasaja lagsung pulang begitu saja.
"Kamu gak menginap? Biasanya kamu menginap. Kenapa harus pulang cepat-cepat, Mas?"
"Saya tidak ada waktu, Far. Ayolah cepat, ada apa ini?" Prasaja menatap Farah penuh selidik. Prasangka baru berkelebat. "Kamu sednag mempermainkan saya, 'kan , Far? Kamu hanya ingin saya datang saja, padahal tidak ada yang perlu dibicarakan. Kamu hanya ingin membuat saya kesal. Begitu, Far?"
"Enggak. Saya gaka da pikiran begitu. Memang ada yang mau saya bicarakan. Tapi..., saya kira kamu akan menginap. Apalagi yang akan kita bicarakan ini penting."
"Kalau penting, ya cepat bicara. Gak usah ulur-ulur waktu."
"Kenapa kamu jadi marah-marah begini?"
"Please, saya sudah datang Farah. Jangan bermain-main dengan saya. Perjalanan saja sudah jauh. Saya tidak pakai sopir dam semalam saya kuran tidur karena memeriksa laporan anggaran. Jadi, kamu mau bicara cepat atau saya pulang."
Farah menggigit bibirnya. Ekspresi tegas Prasaja, tak berani lagi di otak-atik Farah dengan rayuan. Ia kemudian merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kotak kecil dan sedikit panjang. Disodorkannya kotak tersebut ke Prasaja.
"Bukalah," pinta Farah.
"Apa ini? Saya tidak sedang ulang tahun, 'kan?"
"Anggap saja ini kado yang diawali"
Prasaja menggoyangkan kotaknya. Ia mendengar ada suara aneh di dalamnya. Seperti sebuah benda yang jauh lebih ringan. Dengan penasaran, Prasaja membuka kotaknya.
Di dalamnya ia melihat sebuah alat mirip pengatur suhu. Tetapi tidak ada indikator angka untuk penentu suhu. Hanya ada dua garis berwarna merah menyala.
"Apa ini?" tanya Prasaja bingung.
"Saya hamil, Mas Pras. Saya hamil anak kita."
Prasaja mendelik. Tubuhnya menjingkat sampai kursinya berdecit mundur. Berita dari farah bagaikan petir di siang bolong.
"Jangan main-main, Far. Ini gak lucu."
"Saya gak main-main. Ini serius, Mas Pras. Saya hamil empat minggu."
"Gak bisa begini. Saya kan suruh kamu pakai pil. Kenapa bisa kebobolan begini?"
"Saya pernah kelupaan Mas Pras."
"Halan sialan. Pake acara lupa segala. Kamu sengaja, 'kan? Kamu mau menjebak saya!" Prasaja benar-benar gusar. Ini di luar perkiraan sama sekali.
"Kamu kok berpikiran buruk, Mas Pras. Lagi pula kenapa memangnya kalau saya hamil. Kita dua orang yang dewasa, Mas Pras. Gak ada yang perlu dikhawatirkan lkarena kita bisa bertanggung jawab akan ini."
"Tapi, saya belum siap!"
"Mau nunggu kamu siap sampai kapan? Kita sudah dua tahun lebih, kita gak bisa begini terus seperti ABG."
"Kamu yang seperti ABG. Kamu tidak bertanggung jawab dengan hubungan ini. Kamu sengaja membobolkan diri sendiri."
"Justru karena saya bertanggung jawab, saya tidak panik. Saya meneleponmu. Saya memberitahukanmu dengan jujur."
"Halah banyak omong. Gugurkan."
Farah terhenyak. Ia menatap Prasaja tak percaya.
"Saya tidak mau anak itu. Saya belum siap. Jadi gugurkan."
"Saya tidak mau, Mas. Ini buah cinta kita. Saya gak mau ini digugurkan. Anak ini harus kita rawat."
Prasaja sudah tidak tahan lagi. Kepalanya terasa membengkak. Berada di sana sedetik lebih lama, Prasaja yakin dirinya akan berubah menjadi monster.
"Far. Saya gak peduli kamu beranggapan apa. Saya mau kamu gugurkan anak itu. Berapa pun biayanya bilang saya. cari tempat terbaik. Sebaiknya di luar negeri agar kamu bisa memulihkan diri juga. Semua biaya, menjadi tanggungan saya."
"Mas!" Farah langsung memegang pergelangan tangan kekasihnya sebelum Prasaja benar-benar berdiri. "Saya gak butuh uangmu untuk itu. Saya butuh pertanggung jawabanmu."
"Itu bentuk pertanggung jawaban saya, Far. Dari pada anak itu lahir, tidak mendapatkan apa-apa dari saya, lebih baik kamu buang saja dia. Usianya masih emapt minggu. Dia masih berupa gumpalan. Jadi tidak ada yang salah jika dibuang. Anggap saja kamu sedang buang penyakit."
Farah semakin pucat. Pernyataan Prasaja begitu sadis. Selama berhubungan dengan Prasaja, lelaki itu adalah seorang lembut dan menyenangkan. Memang egois, tetapi tidak sadis. Kini Farah seperti melihat sisi lain Prasaja yang tak ia ketahui sebelumnya.
"Farah. Saya akan menikahimu, pasti saya akan menikahimu, tetapi tidak dalam keadaan hamil. Buang janin itu atau saya akan berubah pikiran. Pertimbangkan itu masak-masak."
"Kenapa memangnya kalau menikah dalam keadaan saya hamil? Kamu malu? Saat berbuatnya apa kamu ada malu?" Emosi Farah mulai mencuat. Ia benar-benar sakit hati dan kecewa dengan permintaan Prasaja yang terasa sadis.
"Mikir pakai orakmu yang kecil itu. Apa sikap bapakmu kalau tahu anaknya hamil? Saya pasti akan direndahkan oelh bapakmu. Saya akan dicap b******n dan masih banyak lagi cap buruk ke saya. Dan saya tidak bisa hidup dengan cap buruk menempel kuat.
Pertimbangkan juga apa kata orang-orang, relasi-relasi saya, relasi-relasimu. Mereka tak hanya menertawakan kita di balik punggung, tetapi juga mencemoooh kita. Kamy pikir enak hidup dengan tatapan-tatapan merendahkan seperti itu, hah?
Jangan manja lah Farah. Kamu gak sebodoh itu untuk memahami ini semua."
Farah sudah menangis. Tapi, cepat-cepat ia menghapus air matanya. Prasaja bisa makin beringas kalau dirinya menangis. Prasaja tidak suka Farah menangis di tempat umum.
Farah memegangi pergalangan tangan Prasaja dan membelainya lembut. Sangat berharap jika Prasaja melembut karena belaiannya.
"Mas Pras. Sayang. Mari kita hadapi ini sama-sama. Saya yakin, Papa tidak akan semurka seperti yang kamu kirakan. Dan perihal orang-orang lainnya. Kita bisa menutup telinga rapat-rapat."
"Kamu ini bodoh atau g****k? Kamu yang enak di situasi ini. Kamu hanya akan ada di rumah terus dengan alasan hamil dan menjaga kesehatan. Kamu tidak akan keluar ke mana-mana. Wajahmu tidak akan dilihatin. Kamu tidak akan melihat bagaimana ekspresi orang yang membicarakanmu. Karena apa? Karena kamu di rumah!" bentak Prasaja tidak sabar.
"Tapi bagaimana saya? Mikir gak otakmu? Saya masih harus bekerja. Saya berhadapan dengan banyak orang. Saya harus melihat bagaiman wajah-wajah mereka berkespresi merendahkan saya. Mikir gak?
Jadi, jangan sengsarakan saya. Kamu gugurkan atau hubungan kita berakhir selamanya."
Prasaja menyentakkan tangan Farah dan melangkah cepat meninggalkan restoran. Prasaja tidak peduli bagaiman pucatnya wajah Farah. Ia tidak urus itu.
Prasaja harus pulang. Ibunya yang bisa memecahkan masalahnya.
***