Mengengan dan menangis
***
Yudi mendengar derit pagarnya. Ia bisa mendengar suara pagar di tengah suara hujan karena suara televisi ia minimkan. Selain itu, hujan deras sudah berganti menjadi hujan rintik-rintik yang tak berisik. Sontak Yudi bangun.
Ia lupa menggembok pagar. Kampungnya aman. Ini membuatnya sering mengabaikan tindakan mengunci pagar. Ia baru ingat akan pagar dikunci jika istrinya mengingatkan.
Yudi segera menuju ke jendela kaca dan mencoba mengintip keluar. Beruntung dirinya tak perlah lupa menyalakan lampu teras, hingga ia bisa melihat keluar dengan jelas.
Rahadyan dengan setengah menunduk, berlari cepat masuk ke teras. Sampai di teras, Rahadyan menepiskan sisa air hujan yang menempel di jaketnya. Seperti khawatir basah yang menempel akan mengotori rumah Yudi.
Bergegas Yudi membuka pintu.
"Ada apa, Pak? Ada masalah? Terjadi sesuatu?" tanya Yudi sembari mendekat Rahadyan. Kepalanya celingukan menatap jauh ke belakang Rahadyah, tepay ke rumah Rahadyan. Perasaannya menjadi khawatir karena kedatangan seseorang di malam hari, biasanya membawa kabar kurang menyenangkan.
"Tidak. Tidak ada apa-apa, Pak. Maaf, apa sudah tidur?" tanya Rahadyan dengan wajah lembab yang dipaksa tersenyum.
"Belum. Saya belum tidur. Monggo, monggo, masuk dulu. Dingin di sini."
"Ndak pa-pa, di sini saja, Pak. Saya ndak lama."
"Mau lama atau sebentar, mbok masuk dulu. Dingin, lho. Saya aja ndak kuat. Monggo,monggo." Yudi memaksa sembari menepuk lengan Rahadyan dan sedikit memberikan dorongan agar tetangganya itu menurut.
Ngobrol di luar, malam-malam, hujan, sama aja menyiksa diri. Dinginya bisa sampai ke tulang.
"Monggo duduk. Saya buatkan kopi dulu."
"Ndak usah, Pak. Sungguh ndak usah. Saya Cuma sebentar."
Rahadyan melihat keseriusan dari wajah tetangganya itu. Malam-malan datang tanpa sebuah rencana, berarti Rahadyan datang dengan maksud yang kuat akan sesuatu. Yudi memahami dan mempersilakan Rahadyan duduk.
"Bagaimana, Pak. Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya akan pergi, Pak."
Yudi tak terlalu terkejut. Rahadyan adalah putra tunggal dari seorang kaya-raya yang memiliki banyak tanah perkebunan juga peternakan sappi. Pun begitu, hidupnya sederhana. Rumahnya saja masih model lama tanpa pembaharuan yang berlebihan.
Rahadyan sangat tidak manja. Meskipun kaya raya, Rahadyan tetap ingin bekerja sesuai dengan cita-citanya. Pria itu sekolah pelayaran dan kemudian menjadi nahkoda kapal.
"Bawa kapal lagi, Pak?" tanya Yudi terkekeh karena ia menebak dengan sangat yakin.
"Hehehe..., iya, Pak."
"Aduh, kenapa gak cuti panjang saja. Kan baru punya bayi. Apa gak sayang kalau ditinggal?" goda Puji.
"Ya, sayang sih, Pak. Maunya juga cuti panjang. Tetapi, ya, karena panggilan tugas, terpaksa juga saya pergi. Saya titip istri dan putri saya, Pak."
"Itu pasti. Saya akan jaga warga saya sebaik-baiknya." Yudi tergelak sedikit sombong. Ia suka dianggap penting.
"Kalau istri saya butuh bantuan apa, atau putri saya kenapa-napa, tlong dibantu, Pak."
"Tenang. Pasti saya bantu dan jaga. Pak Rahadyan bekerja saja yang tenang."
"Saya mungkin akan pergi lama, Pak." Rahadyan kemudian merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan amplop putih yang sudah dilem. "Maaf sebelumnya dan saya harap Pak Yudi tidak tersinggung. Ini sekedarnya, sebagai bentuk terima kasih saya, menjaga istri dan putri saya."
Yudi tentu langsung menolak. Itu berlebihan baginya.
"Tolong, Pak, diterima. Agar saya lega. Saya titip Manika dan Danica. Sepertinya saya akan pergi lama."
***
"Dilihat terus, apa ndak lecet motornya?"
Seorang wanita ayu dengan sanggul buatan tersemat di belakang kepala, dan mengenakan kebaya, keluar dari dalam rumah. Menatap Rahadyan dengan senyum lebar juga menggoda dengan kedipan mata, lalu tertawalah mereka berdua.
Wanita tersebut mendekati Rahadyan dan ikut-ikutan menatap motor tersebut dengan berbinar.
"Kamu bisa makenya apa ndak, toh, Dyan? Kok, dari kemarin Cuma diliatin tok motornya?" Si wanita mulai mengelus motor milik Rahadyan dengan kekaguman.
"Bisalah, Bu. Ngecelah Ibu ini."
Tawa kembali terdengar dri keduanya.
"Ya, kalau bisa, mbok ya dipake jalan-jalan atau apa gitu, lho. Ke peternakan sana, liat bapakmu. Ah...! Sekalian kamu aja ya, yang bawa rantang buat Bapak. Kasiahn kalau Ujo yang bawa. Sekali-kali dia biar istirahat. Dan ngengkol sepeda jauh-jauh."
"Ya wes, mana, Bu," jawab Rahadyan antusias.
Ibunya langsung sumringah dan beranjak ke dalam sembari memanggil seorang asisten rumah tangganya. Ia meminta si asisten untuk mengambilkan rantang makan siang suaminya.
Rahadyan sendiri, mengambil jaket berbahan jeansnya dengan semangat, di dalam kamar. Sempat ia mematut diri di cermin. Rambutnya masih terpotong rapi, tidak mengikuti jaman yang deras dengan model potongan rambut gondrong ala band ternama Inggris, 'The Beatles'.
"Ini. Bisa kamu bawanya?"
Baru keluar kamar, ibunya sudah menyodorkan rantang hijau dengan uliran batik yang aneh berwarna putih. Rahadyan menerima dan menimbang berat rantang tiga susun itu. Lingkar rantang tidaklah besar, tingginya juga biasa saja, tetapi dalam hati Rahadyan yang tadinya yakin, tiba-tiba jadi ragu bisa membawanya.
Motor Kawasaki Binter Merz-nya, bukanlah motor bebek yang memiliki sandaran penghubung dibagian tengah antara setir dengan jok motor. Mau tidak mau, Rahadyan harus menggantung di stang motor sisi kiri.
Setelah keluar rumah, ternyata Rahadyan agak kesulitan. Ia berulang kali mengeluh. Hati-hati Rahadyan membawa motornya, khawatir si rantang jatuh.
Rahadyan melihat seorang perempuan dengan rambut pendek sebahu, berjalan tenang di sisi jalan. Ia melihat kesempatan. Bukan untuk menggoda, melainkan untuk membantunya.
Rahadyan langsung memacu motornya sebentar, melewati si perempuan dan ia langsung berhenti.
Rahadyan turun dari motor, meletakkan rantang makanan di sadel motor, sembari dengan sabar menanti mendekatnya si perempuan.
Perempuan itu seperti seorang gadis remaja yang sepertinya masih berusia belasan tahun, tapi Rahadyan menduga usianya sepantaran dengan dirinya, wajahnya saja yang imut mengesankan jauh lebih muda. Wajahnya sangat manis, bahkan termanis dari para gadis; teman-temannya yang ia kenal. Rambut pendeknya, model bob, membingkai wajahnya yang oval. Mengenakan gaun terusan warna biru, si gadis terlihat segar sekaligus menonjol.
Rahadyan tersenyum manis. Dalam hati bertanya-tanya siapa gadis itu. Ia belum pernah melihatnya.
Si gadis yang sadar sedang dipandangi, hanya bisa mengeluh lirih, kesal dalam hati, dan menunduk untuk menghindari tatapan mata si pria. Gadis itu tetapi memiliki rasa penasaran juga. Sesekali ia mengangkat kelopak matany, untuk melihat sekilas si pria. Pria yang tertampan dan terapi. Si gadis yang awalnya khawatir, menjadi biasa. Ia tak takut karena penampilan si pria yang sangat kalem.
"Hai," sapa Rahadyan yang langsung menghentikan langkah si gadis.
Si gadis yang berhenti di hadapan Rahadyan, menatap sekilas Rahadyan dan kemudian beralih pada rantang makanan.
"Saya Rahadyan." Rahadyan mengulurkan tangannya dengan antusias.
Si gadis awalnya ragu, tetapi akhirnya menyambut juga uluran tangan Rahadyan. "Saya Manika."
***
Yuni sudah mencoba mendekati Rahadyan dengan berbagai cara, tetapi, tidak berhasil. Rahadyan tak memedulikannya seperti pria itu tak memedulikan banyak gadis lainnya.
Di tengah lamunannya yang beralih dari kekesalan dipecat pada Rahadyan, ternyata sepeda Yuni justru mengarah ke rumah Rahadyan, bukan rumahnya. Bahkan, Yuni sudah masuk ke pelataran rumah Rahadyan yang sepi.
Yuni mengernyit, mendapati rumah dalam keadaan sepi. Pintu depan bahkan tertutup. Biasanya jika sore menjelang, pintu depan terbuka lebar. Yuni menuntun sepedanya ke samping rumah, memarkirnya di sana, dan berjalan lebih masuk, sampai ke dapur belakang.
Yuni mendapati kompor kayu menyala dengan sebuah dandang nasi terpasang di atasnya. Kemungkinan ibunya sedang menanak nasi. Ia mendengar bunyi gemerisik, Yuni pun menoleh ke arah asal suara. Ibunya menyapu halaman belakang yang luas. Kebun tepatnya.
Ibunya terlalu serius menyapu, wanita tua itu tak menyadari kedatangan Yuni. Yuni juga tak berniat memberitahukan kedatangannya, ia justru melangkah masuk ke dalam.
Tak ada siapa-siapa. Tak terdengar suara. Yuni terus melangkah untuk mencari tahu. Ia membuka pintu kamar utama, tempat orang tua Rahadyan tidur. Saat ia mengetuk, tak ada sahutan. Perlahan Yuni membuka dan di dalam kosong.
Yuni langsung menduga jika ibu Rahadyan pergi, entah ke mana dan ada urusan apa.
Yuni penasaran apakah ibu Rahadyan pergi bersama putra tunggalnya. Yuni pun beralih ke kamar Rahadyan. Kali ini dirinya tak mengetuk, melainkan langsung membuka pintu kamar dengan sangat perlahan.
Gelap yang temaram. Jendela rupanya ditutup. Sedikit cahaya yang masuk, tetapi cukup untuk penerang, meski tak seberapa. Yuni bisa melihat ada yang tidur. Itu Rahadyan.
Mengendap-endap, Yuni melangkah masuk. Ditutupnya pintu kamar dengan amat sangat perlahan. Meski semua dilakukan dengan sangat hati-hati, tapi sebenarnya di dalam dirinya, menggelinjang sebuah keinginan.
Yuni berdiri di sisi tempat tidur Rahadyan yang menempel ke tembok. Pria itu tidur bertelanjang d**a dengan hanya menggunakan celana kain yang panjangnya hanya sampai sepaha. Posisi tidurnya tengkurap dan agak ke tengah tempat tidur.
Masih ada ruang yang sedikit, tapi sangat cukup jika Yuni ingin merebah di sisinya. Kegilaan Yuni tak bisa dibendung lagi. Frustasi dan harapan menajdi satu. Ia melepaskan pakaiannya sendiri tanpa rasa ragu. Hanya menyisakan BH dan celana dalam.
Ia semakin panas. Tak ada perasaan malu atau sungkan, Yuni pun merebah di sisi Rahadyan. Merasakan hangat yang keluar dari tubuh jantan tersebut. Jemarinya semakin berani dengan mengusap punggung lebar Rahadyan.
Perut Yuni mulai panas. Tubuhnya mengharap lebih. Yuni merapatkan dirinya ke Rahadyan, bahkan salah satu kakinya terangkat dan menumpu pada paha dan jga b****g Rahadyan. Tanpa bisa dicegah, desahan keluar dari bibir Yuni.
Tubuh Rahadyan tersentak. Kepalanya yang tadi miring menoleh ke tembok, terangkat dan menoleh ke sisi lain, sisi Yuni. Menyadari ada seorang wanita di kamarnya, Rahadyan meloncat bangun. Ia duduk sembari mengerjapkan mata berulang kali, memastikan apa yang ia lihat. Sedangkan Yuni, tak berniat bangun, ia tetap dengan posisi merebahnya, tetapi kali ini dengan pose menantang, yaitu telentang.
"Mbak Yuni...?" Suara Rahadyan berat, parau, khas seseorang yang sedang menahan volume sekaligus karena bangun tidur.
"Sini, Dyan. Tidur lagi," ajak Yuni santai.
"Ngapain di sini, Mbak? Bajumu..., bajumu mana?" Rahadyan celingukan.
Yuni kali ini memilih bangun dan duduk di depan Rahadyan. Dengan cepat ia meraih kedua pergelangan tangan Rahadyan. Diarahkannya kedua tangan ke payudaranya yang masih dilindungi BH. Telapak tangan yang hangat. Lagi, Yuni mendesah.
Rahadyan dengan kesar menarik tangannya, melompat turun dari tempat tidur. Ia melihat seonggok pakaian milik Yuni, Rahadyan memungutnya dan melemparkannya ke Yuni.
"Pakai bajumu, Mbak, dan keluar dari kamar ini."
"Ayolah, Dyan. Kamu gak usah malu. Saya juga rela melakukannya."
"Saya ndak mau, Mbak. Ini salah."
"Enggak. Gak ada yang salah Dyan. Kamu mau dan saya juga ikhlas menyerahkannya."
"Saya tidak mau, Mbak. Kamu itu saudara saya. Saya gak bisa melakukan hal beginian dengan saudara perempuan saya."
"Saya hanya sudara jauh. Sangat jauh. Bahkan saking jauhnya pertalian darah itu sudah memudar."
"Sudahlah, Mbak. Pakailah bajumu."
Rahadyan berbalik. Ia memutuskan keluar dari kamar. Tapi, Yuni melompat bak kijang betina. Ia langsung mendekap tubuh Rahadyan dari belakang. Mengusap perut lelaki itu dengan lembut.
"Kita punya waktu untuk melakukannya, Dyan. Kamu gak perlu takut apa-apa. Tidak ada orang dan saya tidak akan bersuara."
Perlahan, jemari Yuni turun semakin ke bawah dan perempuan itu tersenyum semakin lebar. Ia bisa merasakan milik Rahadyan yang kaku. Reaksi atas keinginan duniawi yang sangat alami.
"Kamu menginginkannya, Dyan. Jangan kamu tahan."
Rahadyan menarik napas, segera ia sentak jemari Yuni. Wajahnya memerah padam saat berbalik menghadap Yuni.
"Jangan kurang ajar, Mbak," ucap Rahadyan dingin.
"Jangan munafik, Dyan. Kamu sudah nafsu. Kamu sebenarnya mau. Buat apa kamu menahannya. Toh, sayanya saja tidak keberatan dan tidak sedang menuntut apa-apa selain memuaskan hasrat kita."
"Bener, Mbak. Nafsu saya sudah naik. Tubuhmu yang gak pakai baju, bikin saya nafsu."
Yuni tersenyum lebar. Salah satu tangannya menjulur ke balik punggungnya, menggapai kait BH-nya.
"Kalau gitu, kita bisa mulai, 'kan?" tanya Yuni lembut.
"Tidak ada yang dimulai. Saya memang sedang nafsu, tetapi saya bukan hewan, Mbak. Otak saya masih punya akal dan hati saya masih punya budi."
Rahadyan memungut kembali baju Yuni yang tadi disentak Yuni dan jatuh lagi ke lantai. Tidak lagi diserahkan ke Yuni, Rahadyan meletakkannya di tempat tidur.
"Saya akan melupakan kejadian ini, Mbak. Saya tidak akan pernah mengingatnya. Pakailah pakaianmu, Mbak, karena saya tidak akan pernah menyentuhmu."
Setelahnya Rahadyan bergegas keluar kamar, membiarkan Yuni yang mematung kaku.
***
Baru saja ia meletakkan keranjang cucian di tempat setrikaan, ketika Manika mendengar pintu depan diketuk dengan sopan. Kembali Manika menyeka keringatnya dengan punggung tangan dan mencoba merapikan rambut yang berantakan. Keluar keluhan dalam hati, karena potongan rambutnya yang pendek hingga susah diikat. Selalu masih ada helai-helai rambut yang lepas, meski rambut sudah dikuncir.
Manika tidak sadar jika anak-anak rambut yang melekat di kening, pelipis, dan pipi luar, justru membingkai wajah ayunya semakin ayu. Kecantikannya keluar semakin tegas.
Manika buru-buru ke ruang tamu. Dari pintu yang berkaca bening, yang diberi pelindung kain kasa tipis, ia bisa melihat sosok seorang pria, berdiri tegap dengan kedua tangan di pinggang. Perlahan-lahan Manika mendekat. Beruntung pria tersebut berdiri memunggungi pintu, jadinya Manika bisa mengira-ngira apakah pria itu orang baik atau oarng yang berniat jahat.
Pria itu mengenakan kemeja cokelat dengan bagian lengan yang dilinting. Manika membungkukkan tubuh, dengan sangat perlahan meminggirkan sedikit tirai kasa kaca, mencoba melihat lebih jelas lagi.
Sosok pria itu seperti seseorang yang ia kenal. Dengan lengan yang dilinting sampai ke siku dan punggung yang tegap, Manika yakin itu adalah pria yang menyapanya siang itu. Pria tampan yang membuat Manika mau berkenalan, meskipun kemudian ia memilih berlari menjauh ketimbang meladeni pertanyaan selanjutnya.
Jantung Manika berdegup keras. Dalm hati bertanya-tanya dengan penasaran, dari mana pria itu tahu dirinya tinggal. Manika sangat yakin, selain nama, ia tak menjawab apa pun.
"Dor!"
Manika yang tanpa sadar melamun dengan posisi mengintip, sontak terlonjak dan mengelus dadanya.
"Hai. Ingat saya?" Pria itu menempelkan kepalanya ke kaca agar bisa leluasa melihat ke dalam. Di wajahnya tersungging senyum yang kocak. "Manika, ini saya Rahadyan."
***
"Kalau Mama masih hidup, apa Mama akan sama seperti Mbok Min, ya? Apa Mama akan langsung mengusir Papa setelah melihat kondisi Papa yang seperti itu?"
Mbok Min tersenyum mahfum. Di masa lalu, saat Danica sekolah dan di rumah hanya dirinya dan majikan perempuannya, Manika, sering kali ada pembicaraan ini dan itu. Baik yang biasa-biasa saja, atau gosip yang terdengar seputar tetangga, atau tentang apa yang sedang dirasakan, dan masih banyak lagi. Terutama, tentang andai-andai yang terkait dengan kemunculan Rahadyan.
"Almarhumah Ibu, sudah memaafkan Bapak."
Danica menoleh, menatap tak percaya. "Iya, gitu? Sejak kapan?"
Mbok Min tersenyum dan mengangguk mantap sembari mengambil air untuk disiramkan ke dalam dandang berisi beras agar beras cepat melembut dan menjadi nasi.
"Sejak lama. Sejak bahkan sebelum Ibu sakit. Sejak pertama kalinya Mbak Nica tanya kenapa Bapak belum pulang. Sejak Mbak Nica ulang tahun ke lima."
"Selama itu...." Danica tak percaya jika ibunya sudah memaafkan ayahnya sejak waktu yang lama. "Tapi..., kenapa Mama tidak menghubungi Papa?"
"Kata Ibu, yang bersalahlah yang harusnya datang. Bukan kita yang mencari yang salah."
***