Di ambang pintu gebyok, pembatas antara ruang depan dan ruang tengah, berdiri dengan gagah Danica. Rambutnya yang panjang sebahu, terlihat kusut masai, berserabutan seperti tersengat listrik ribuan voltage. Sebagian rambutnya jingkrak dengan cara yang aneh. Wajah Danica sembab dibarengi kedua mata yang masih berair dan memerah.
Jelas sekali jika gadis itu masih mengantuk dan dia sangat marah. Mata merahnya membulat lebar bagaikan seorang raksasa wanita yang bersiap menerkam anak-anak manusia yang ribut sendiri. Mengganggu ketenangannya yang sudah berulang kali diusik. Terutama sejak kedatangan Agasta dan ayahnya.
Bergantian Danica mengarahkan tatapannya dari Prasaja ke Agasta. Mengirimkan murka melalui binar matanya yang benderang dipaksakan. Kepalanya belum bisa mencerna kenapa kedua pria itu berulah hingga mengganggu tidurnya. Gadis itu bahkan belum atau tidak menganggap adanya Prasaja dan Agasta secara bersamaan adalah bencana.
"Nica ...." Prasaja yang sudah berdiri tegap, bergegas menghampiri Danica. Tangannya terulur hendak membelai kepala gadis itu sekaligus merapikan rambut Danica yang berantakan. Tetapi dengan besengut, gadis itu memiringkan kepalanya, menghindari niat Prasaja.
"Kamu tadi tidur, Sayang?"
Ekspresi Danica bukannya senang, malah terlihat jijik dengan sapaan Sayang yang terlontar dari bibir Prasaja. Sebenarnya, sudah berulang kali Danica menyampaikan protesnya pada Prasaja untuk tidak memanggilnya Sayang. Tetapi, Prasaja hanya menuruti kemauan Danica untuk beberapa hari saja, kemudian Prasaja akan berulah dengan memanggilnya Sayang lagi. Prasaja bahkan makin menjadi memanggil Sayang jika di depan beberapa orang dan di depan keluarganya.
Penuntutan status yang dipaksakan.
Prasaja sendiri mengabaikan sikap Danica yang tidak suka. Ia mengabaikan janjinya untuk tak memanggil Sayang jika di depan orang-orang. Ia pun mengabaikan ekspresi wajah jijik Danica. Ia justru melangkah mendekati Danica dengan sangat santai.
"Dia siapa, Sayang? Kenapa ada di rumah ini?" tanya Prasaja yang berdiri di sebelah Danica dan menatap musuhnya dengan senyum puas.
"Opo, sih, sayang-sayangan?" sungut Danica. Danica yang risih, mengibaskan tangannya, mengusir Prasaja agar tak terlalu dekat dengannya. "Ribut apa sih, kalian ini?"
Prasaja menahan geramnya karena Danica tidak memberikan tanggapan positif atas sapaan romantisnya. Apalagi penolakan itu di ucapkan depan pria yang sudah ia tetapkan menjadi musuh.
"Dia memulai keributan ini. Saya sendiri bukanlah perusuh. Tidak mungkin saya merusuh di rumah orang yang saya sukai." Prasaja menjawab lebih dulu sebelum musuhnya itu menjelaskan dari versi dia.
"Gak akan ada keributan kalau kamu tau bagaimana sebaiknya orang bertamu." Agasta menjawab sangat santai, memastikan bahwa posisinya tidak salah.
"Saya kan sudah katakan kalau saya adalah tamu keluarga."
"Biar pun tamu keluarga, tetap saja kamu tamu. Gak usah pakai ngancam-ngancam segala."
"Ngancam?" Danica mendelik ke arah Prasaja. "Kamu melakukan pengancaman di rumah saya ini? Ngancam apa kamu?"
Prasaja benar-benar hampir tidak tahan diri dengan cara dan sikap Danica sejak mula. Sepertinya ia sednag mengalami kesialannya. Sejak datang sudah berurusan dengan pria tinggi yang sok menjadi penjaga rumah. Sekarang berurusan dengan Danica yang bertanya seolah-olah dirinya tidak ada apa-apanya.
"Dia melarang saya masuk."
Cara bicara Prasaja semakin membuat Agasta ingin tertawa lebar. Tawa yang mengejek kelemahan seorang pria yang merengek di hadapan seorang gadis yang baru bangun tidur. Tapi, Agasta bisa menyembunyikan tawanya.
"Halah, kalau gak boleh, ya tinggak duduk aja, toh. Gak usah bikin ribut. Gak usah pakai ngancam segala. Memangnya kamu ngancam apa?"
"Laporin saya ke warga biar saya di arak," sahut cepat Agasta, sebelum Prasaja berkelit.
"Apa?" Lagi dan lagi Danica mendelik pada Agasta. "Berani-beraninya sih laporin tamu saya ke warga untuk diarak. Itu sama aja kamu nuduh saya dan dia melakukan hal buruk. Kamu mau ngatain saya gak bener?"
Prasaja melirik pada musuhnya yang menyembunyikan seyum puasnya. Prasaja benar-benar dipojokkan dan posisinya tidak aman. Danica sudah menilainya buruk. Kesempatan bertahun-tahun untuk menguasai Danica, terasa semakin jauh dan sulit. Ridatmbah dengan adanya pria tinggi menjulang itu.
"Saya gak berpikir begitu. Saya gak berpikir sejauh itu untuk kamu, Nica. Saya hanya mengancam dia yang sudah melarang saya masuk, bukan berarti saya berpikir aneh-aneh terhadapmu. Maafkan saya," ucap Prasaja agar Danica tenang.
Permintaan maaf yang disampaikan setengah hati, bahkan sebenarnya terasa sebagai ucapan tanpa makna yang sebenarnya. Hanya sebuah kata-kata saja.
Danica hanya menghela napas. Meski pun kesal, karena sudah ada permintaan maaf, maka Danica memutuskan tak memperpanjang. Kepala Danica secepat kilat menoleh pada Agasta yang cengengesan.
"Ngapain kamu cengangas-cengenges? Bukannya bikin tenang malah bikin ribut."
Agasta yang kebagian bentakan dari Danica, langsung merapatkan bibirnya. Ia memilih tak adu mulut dengan Danica yang menyeramkan. Seram yang cantik.
"Ada apa siang-siang datang?" Danica bertanya dengan tak memedulikan keadaan dirinya. Ia melangkah santai ke ruang tamu, menggaruk-garuk kepala, menguap, dan bersin.
Agasta melipat bibirnya ke dalam, mencegah tawanya keluar. Saat Danica akan duduk di salah satu kursi yang menghadap ke pintu, Agasta buru-buru menariknya bak seorang gentlemen.
"Silahkan," ucap Agasta mempersilakan dengan manis.
Danica tak menanggapi dan langsung duduk. Benar-benar gaya Danica bak seorang ratu yang sedang dilayani.
Prasaja yang kemudian mengikuti jejak Danica, menatap sewot Agasta. Karena Agasta duduk di kursi satunya yang berdekatan dengan Danica, mau tidak mau Prasaja terpaksa duduk di kursi lain yang berhadapan dengan Danica. Makin dongkollah perasan Prasaja. Posisinya kini justru terlihat sebagai tamu asing, ketimbang posisi duduk Agasta.
"Dia siapa, Sayang? Kenapa kamu bawa dia menginap di rumah ini?" tanya Prasaja langsung.
"Gak usah pakai Sayang-sayanganlah. Biasa aja." Danica semakin kesal dengan kenekatan Prasaja yang mengulang-ulang kesalahan. Untung dirinya sabar hingga tak perlu membentaknya.
Prasaja menelan air liurnya. Kembali ia dipermalukan.
"Ya, terus dia siapa?" tanya Prasaja dengan suara tinggi. Ia benar-benar kesal. Selain Danica yang baginya sudah tak menghargai kedatangannya, ia juga sudah diserang pria asing berbadan raksasa.
"Emangnya kalian gak kenalan? Apa harus ribut dulu baru kenalan?"
"Dia yang gak sopan."
Danica melirik ke arah Agasta yang hanya mengedikkan bahu sekilas. "Dia tamu saya."
"Kenapa kamu menerimanya di rumah? Kan banyak penginapan," protes Prasaja.
"Ya, biarin ajalah. Kamar ada kosong, ini."
"Ini namanya gak sopan. Gimana kalau kamu digeruduk warga karena memasukkan cowok."
"Tapi, enggak 'kan? Udhalah gak usah diperpanjang. Dia tamu saya. Ini nanti juga saya ke Pak RT buat laporan." Danica berdiri, bersiap untuk masuk ke ruang tengah.
"Saya temani."
"Ya, terserah." Danica menjawab malas. Lalu menoleh ke Agasta. "Kamu siap-siap. Jangan lupa bawa surat."
"Surat? Surat apa?" tanya Agasta bingung.
"Terserah surat apa. Surat kematianmu kalau ada." Setelahnya Danica ngeloyor santai masuk ke dalam rumah.
Sempatnya ia mendengar Prasaja tertawa kecil, menertawakan Agasta yang dijatuh telak oleh Danica.
***