Chapter 14

1275 Words
Ketika ufuk timur menyingsing. Agasta membangunkan Danica. Ia tak peduli dengan gerutuan si gadis, yang penting tujuan semalam yang sudah disampaikan, pagi ini terealisasi, yaitu pergi ke makan Manika, ibunda Danica. Gadis itu sempat menawar bahwa mereka bisa pergi sore hari. Tetapi Agasta menolak dengan alasan kasihan Mbok Min yang suda pergi pagi-pagi buta untuk membeli bunga. Karena tidak ingin terlihat menjadi si beku hati, Danica dengan sangat terpaksa beranjak dari kamarnya menuju kamar mandi untuk cuci muka. Sedangkan Agasta mengambil bunga dan jirigen yang sudah berisi air penuh, untuk diletakkan di motor Danica. Sebelum keluar rumah Danica kembali terpaku di depan kamar ayahnya yang terbuka lebar. Dari dalam kamar ayahnya, ada yang menarik tubuh Danica untuk mendekat. Gadis itu menurut. Langkahnya perlahan, mendekati kamar sang ayah. Sama seperti kemarin, tubuhnya berhenti di dekat pintu. Kegamanangan dari Danica, menahan gadis itu mendekat lebih jauh. Dari posisinya, ia bisa melihat ayahnya yang masih tertidur dengan selimut tebal. Selimut yang dulu dipakai ibunya. Danica keheranan. Selimut ibunya sudah keluar dari dalam lemari. Perlahan Danica lebih mendekatkan diri ke kamar tidur dan berhenti di ambang pintu. Danica sangat ingat jika ayahnya itu sampai kemarin malam, masih menggunakan selimut yang dibawa dari Surabaya. Berbahan bulu yang tebal, berwarna cokelat gelap. Tapi, kini sudah berganti dengan selimut tebal yang sudah kuno, berwarna merah menyala, dengan hiasan bunga yang sangat lebar di bagian tengahnya. Itu adalah selimut yang disimpan ibunya dengan sangat rapi. Itu adalah selimut yang dimiliki ibunya setelah menikah dengan ayahnya. Ibunya tak ingin mengenakannya, karena akan mengingatkannya dengan sang suami, ayah Danica. Seseorang mengeluarkannya tanpa izin. Danica bergegas ke belakang mencari Mbok Min. "Mbok...." Mbok Min yang sedang mengupas kulit jagung di atas bangku panjang yang terbuat dari bambu, berhenti dengan aktifitas dan menatap Danica yang kemudian duduk di depan Mbok Min. "Kenapa selimut Mama keluar? Mbok Min tau?" "Taunya dari Mas Agas." "Hah? Maksudnya?" "Tadi saya kan mau ke pasar, trus saya liat Mas Agas sudah di pelataran sembari otak-atik motornya Bapak dulu, trus...." "Hah? Motor Papa? Diapain ama dia?" tanya Danica terkejut. Ayahnya memiliki motor mahal di jamannya. Motor kesayangan yang dibeli, setelah diterima menjadi nahkoda kapal. Motor yang dibeli dari gaji pertama. Tidak meminta orang tuanya sepeserpun. Karenanya motor Kawasaki Binter Merzy menjadi satu-satunya motor dari empat motor Rahadyan, yang tidak dijual ibunya, saat ibunya ingin menghapus kenangan sang ayah. "Motor Bapak cuma dibawa keluar garasi, trus dilihat-lihat, trus dilap pakai kain basah. Tadi kainnya minta sama saya." "Ngapain, sih, urusi motor orang. Gak ada kerjaan, apa?" sungut Danica. Ia tak suka barang-barang di rumah ini di otak-atik oleh orang yang asing baginya. Terutama adalah oleh Agasta. "Ora po-po, to, Nduk. Ben resik," ujar Mbok Min dengan senyum lembutnya. "Yo, opo-opo, to, Mbok. Kalau rusak bagaimana?" "Ah, ndak mungkin rusak." "Kok, Mbok yakin?" "Karna Mas Agas kan dokter." "Lah, hubungannya apa?" "Kalau orang sakit aja bisa disembuhin, apalagi motor lama yang gak keurus. Pasti bisa greng lagi," kekeh Mbok Min geli sendiri dan itu menular ke Danica yang rasa gelinya lebih karena melihat keriangan di wajah Mbok Min saat tertawa kecil. "Pokoknya saya gak suka ada orang asing otak-atik apa pun di rumah ini," pungkas Danica. "Siapa yang orang asing? Saya?" Danica dan Mbok Min bersamaan melihat ke arah pintu samping. Agasta muncul dan berdiri santai menatap dua wanita beda usia dan beda derajat yang sedang menatapnya juga. Danica dan Agasta saling pandang dan saling menelusuri dengan masing-masing tatapan yang berbeda makna. Danica kesal pada diri sendiri yang tanpa sadar memilih pakaian yang senada dengan Agasta. Atasan kaos putih dan bwahan celana panjang hitam. Bedanya, Agasta menggunakan celana olahraga, sedangnkan Danica menggunakan celana berbahan jeans. Sedangkan Agasta, menatap Danica dengan senyum simpul karena pakaian mereka sama. Senyum Agasta dan gerakan mata Agasta, semakin menaikkan tingkat kesal Danica. Ia berdiri dengan menyentakkan kaki. "Apa liat-liat?" tanya Danica sengit. "Karena punya mata, ya saya melihat," jawab santai Agasta. "Saya gak suka dilihat-lihat sama kamu." "Trus kamu maunya saya tutup mata kalau liat kamu? Nabrak ke mana-mana dong saya." "Bodoh." "Hush! Cah Ayu...." Mbok Min tak bisa menyembunyikan ekspresi gelinya karena melihat Danica yang seperti anak SD. Tetapi ia tak lupa mengingatkan momongannya itu. "Ndak boleh omong begitu." Danica tidak tersinggung. Sepanjang hidupnya, selain sang ibu, Mbok Min sudah menjadi bagian dalam perjalanan hidupnya. Wanita berumur itu bahkan sudah terasa sebagai neneknya. Ini karena Danica tak merasakan memiliki nenek atau pun kakek. Orang tua dari ibunya sudah tiada sejak ibunya kecil dan orang tua ayahnya, juga tiada sebelum kelahiran Danica. "Ayo, berangkat sekarang," ajak Agasta. "Mbok, titip Bapak, ya." Mbok Min mengangguk dan Agasta berbalik kembali keluar. Sedangkan Danica merengut. Ia tak langsung menyusul Agasta, melainkan akan masuk lagi ke dalam rumah. "Lho, Mbak...?" "Sebentar," jawab singkat Danica. Tak lama Danica keluar, mendekati Mbok Min yang sudah selesai dengan kulit jagungnya. "Mbok. Pagarnya saya gembok dari luar. Kalau ada bunyi kletengan, ndak usah diintip atau apa. Biarkan aja. Mbok juga gak usah nyapu-nyapu ke depan kalau saya belum datang." "Memangnya kenapa?" "Yang datang itu, pasti tujuannya mau liat Papa. Saya gak mau Papa diliat-liat pas saya gak ada." "Kalau ngebel bagaimana? Nanti malah ribut belnya, Bapak bangun." "Tenang. Batereinya sudah saya lepasin." "Tapi, siapa yang mau datang pagi-pagi, Mbak?" "Ya, gak tau. Pak RT, mungkin. Tetangga, mungkin. Atau malah Bude Yuni sama Pakde Surya. Mereka pasti pakai alasan menjenguk, tapi gak ingat waktu." Mbok Min mengangguk-angguk, memahami maksud Danica. Danica mengulang lagi pesannya, barulah ia menyusul Agasta keluar. Danica mengernyit, karena Agasta menunggunya di luar pagar dengan menggunakan motor milik Danica. Motor yang dipakai saat sekolah. Ditinggalkan karena Danica kemudian menggunakan mobil. Motor itu dipakai hanya jika Danica pulang. Bensin motornya juga selalu ditinggalkan dalam keadaan terisi penuh. Tapi bukan motornya bisa menyala dan kemudian dipakai Agasta yang membuat gadis itu mengernyit, melainkan pilihan motornya. Setelah menggembok pagar, Danica tidak langsung duduk di boncengan. "Kata si Mbok, kamu tadi mengeluarkan motor Papa." "Iya." "Kenpa jadi pakai motor saya?" "Karena motor Bapak kan gak ada bensinnya. Ditambah, olinya juga gak baik. Kalau motormu ini, saya cek, bensinnya aja full. Jadi ya pakai motor ini aja. Nih, bawa." Agasta menyorongkan kresek hitam yang berisi bungkusan bunga untuk ke makam. Danica menerima dengan kasar dan duduk di bocengan. "Kenapa pagarnya digembok? Apa di sini gak aman?" "Sangat aman. Cuma biar gak ada tamu aja. Ayo, jalanlah." Agasta mengangguk-angguk dan mulai melajukan motornya perlahan. Beberapa orang yang mengenal Danica, menyapa dengan ramah, tetapi tatapan mereka terarah pada Agasta dengan tanda tanya besar. Beberapa di antaranya kemudian bergosip di dekat tukang sayuran. "Lah, anaknya Manika kan jare bakalanne Pras, toh ya? Kok, karo lanang kae?" tanya wanita berdaster biru dan bertubuh tambun. "Iyo. Perasaan yo gak ada berita putus," ucap ibu lainnya yang mengenakan daster juga dengan motif berbeda. "Kemarin siang, aku liat mereka ke rumah Pak RT. Bertiga," sahut wanita yang bertubuh kurus dengan wajah sok yakinnya. "Lah, sing genah, mosok jak telu ke Pak Rt?" "Emang iya, kok." "Ono opo?" "Rung takok." Wanita kurus yang merasa sudah memberikan informasi bermanfaat, hanya mendapat ledekan dari ibu-ibu lainnya yang mendapatkan informasi tidak lengkap. "Nah itu Bu Rt. Ayo, takon Bu Rt wae," ujar wanita gembul berdaster biru. Dan saat Bu RT yang postur tubuhnya tidak beda jauh dari ibu-ibu lainnya, langsung disambut meriah dengan pertanyaan-pertanyaan seputar Agasta, Prasaja, dan Danica. *** Catatab kecil: -         Lah, anaknya Manika kan jare bakalanne Pras, toh ya? Kok, karo lanang kae? = Lah, anaknya Manika kan katanya tunangannya Pras, kan, ya? Kok, sama pria lain? -         Lah, sing genah, mosok jak telu ke Pak Rt? = Lah, yang bener, masak bertiga ke Pak RT? -         Rung takok (takon) = Belum tanya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD