Keputusan Akhir

2306 Words
Pandu memijit keningnya. Oke, ia mengakui kalau ia salah bicara. Hanya saja, ia agak malu jika Fasha harus tahu tentang keluarganya. Mungkin, dalam hal ini, ia egois kah? Ia tak bermaksud menyembunyikannya. Hanya saja, ia ingin menghapusnya. Keluarganya hanya menjadi kenangan buruk baginya. Dan memberitahu Fasha tentang hal itu hanya akan menambah bebannya. Beban malu yang sulit disampaikan. Bukan kah ini aib dan boleh ia sembunyikan? Tapi perkara apapun sepertinya tetap ini adalah bagian dari kesalahannya. Bagaimana mungkin ia terus menyembunyikannya? Toh lambat laun, Fasha juga akan tahu entah darinya atau mungkin orang lain? Ia juga bingung dengan keputusan apa yang harus diambil. Kalau dipikir-pikir, tidak kah merasa ganjil dengan sosok Pandu yang tampak sempurna? Ia memiliki segala hal yang perempuan inginkan untuk dijadikan pasangan. Namun untuk menikah sama sekali belum pernah ia bicarakan. Meski sebetulnya ada keinginan itu terbersit. Apalagi ia juga nyaman dengan karakter Fasha yang bisa mengimbanginya. Perempuan itu tak pernah menuntut apapun. Perempuan itu juga tak pernah bawel. Perempuan itu juga tak pernah bertanya ini-itu yang bisa mengusik hatinya. Tapi ia merasa belum siap untuk membagi segala hal. Karena ia sadar betul akan imej-nya yang tampak sempurna dimata perempuan. Ia takut karena ekspektasi mereka lantas membuat mereka kecewa. Begitu pula dengan Fasha. Kadang ia merasa ingin mengakhiri hubungan ini hanya karena pemikiran-pemikiran yang sudah takut lebih dulu. Padahal belum tentu hal itu akan benar-benar terjadi. Setelah dijalani, justru yang terjadi malah sebaliknya. Orang bisa menerimanya seiring waktu tapi Pandu yang menjalani hidupnya sendiri masih belum bisa menerima itu. Jadi bagaimana mungkin ia bisa membuat orang lain untuk menerima kehidupannya? "Cewek lo itu kayaknya gak asing deh," tutur perempuan itu ketika ia baru saja membuka pintu rumah. Pandu menghela nafas. Ya siapa yang tak mengenal Fasha? Sejak pertama kali melihat, ia yakin kalau banyak laki-laki yang sudah tertarik hati padanya. Tapi Fasha itu tak mudah didekati. Ia ingat betul pertemuan awal mereka. Fasha sama sekali tak pernah melihatnya. Bahkan mungkin tak ingin? Meski sekarang sudah jauh berubah. Ternyata benar, mungkin membuka hati itu ada prosesnya. Kalau dijalani malah akhirnya nyaman dan terbiasa. Aaah entah lah. Tapi setahunya, dua tahun lalu ketika kembali dipertemukan dengan Fasha di sebuah acara, gadis itu jauh berbeda dengan yang terakhir ia kenal. "Pan!" "Urus aja hidup lo!" tuturnya. Ia sedang malas berdebat dan jangan mendorong emosinya karena ia bisa saja meledak. Ada banyak pikiran yang berkecamuk di dalam kepalanya tentang banyak hal yang telah terjadi. Adakah yang bisa membantunya? Ia rasanya hanya diri sendiri saja saat ini. Perempuan itu terkekeh kecil. "Jadi lo lebih milih dia dibanding gue? Gue bahkan selalu ada dalam setiap fase hidup lo, Pan. Dari dulu, siapa yang bantu lo hingga di posisi ini?" ungkitnya. Ia hanya setengah bercanda. Meski muncul juga keirian. Yaaa sedih saja kalau harus kehilangan Pandu. Meski ia juga malah meninggalkan Pandu sendirian di sini. Ikut suami ke Singapura tapi ternyata kehidupan rumah tangga tak seindah bayangannya. Hanya kosong belaka yang ia dapat. Menyakitkan? Kurang lebihnya memang begitu. Ia akhirnya malah kembali ke sini dan menyusahkan Pandu yang juga sedang tidak baik-baik saja. Hidup kadang sebercanda itu. Entah kenapa pula mereka akhirnya kembali bersama disaat sedang di bawah saat ini. Ia sih selaku berdoa untuk Pandu agar Pandu bisa bahagia karena Pandu memang berhak bahagia. Pandu hanya membalasnya dengan bantingan pintu. Memang benar. Dan karena hutang budi itu lah yang membuatnya terpaksa menampung perempuan ini di rumahnya. Walau ia juga ikhlas sebetulnya. Maksudnya, itu tak bisa diganti dengan apapun. Jasanya terlalu banyak untuknya. Ia juga tak ingin berpisah karena perempuan itu adalah satu-satunya keluarga yang masih berada di dekatnya. Lantas Fasha? Ia tak ingin perempuan itu tahu karena Fasha bukan tipe perempuan yang akan mudah percaya begitu saja. Fasha akan mencari tahu sampai ke akar-akarnya. Gadis itu selalu melakukan penelitian serius untuk sebuah penyelesaian masalah. Dan dalam hal ini? Haaah. Pandu menyandarkan punggungnya. Ia masih berpikir. Apa benar harus jujur atau tidak? Atau kah ia harus mengambil keputusan lain? Ia memang tak bisa terus seperti ini. Lambat laun, Fasha akan tahu kehidupannya. Segalanya. Ya kan? @@@ Fasha mendongak ketika mendapati seseorang menerobos masuk ke ruangannya padahal ia sudah menolak bertemu. Agni yang baru muncul agak was-was karena mood Fasha benar-benar buruk hari ini. Ia tak mau disemprot seperti pagi tadi. Oke, Fasha bukan tipe perempuan yang akan mengomel sebetulnya. Tapi begitu marah, perempuan itu akan sangat mengerikan dan itu cukup membuat Agni sangat-sangat takut bahkan hanya sekedar menyebut namanya. Namun sepenangkap Agni selama bekerja dengan Fasha, yang mempengaruhi mood Fasha itu hanya dua hal. Pertama, urusan pekerjaan. Kedua? Pandu. Agni yakin jika bos cantiknya itu sedang punya masalah dengan pacar gantengnya itu. Apalagi tadi Pandu juga menghubunginya demi menanyakan keberadaan Fasha. Padahal Agni bisa melihat ponsel Fasha ada begitu dekat dengan perempuan itu. Kenapa sampai meneleponnya hanya untuk menanyakan Fasha yang kemudian dijawab dengan.... "Bilang aja kalau masih sibuk." Dan jawaban itu jelas-jelas didengar Pandu. Pandu? Antara gemas dan menahan senyum mendengar jawaban seperti itu. Dua tahun terakhir ini mereka terus bersama. Rasanya Fasha tak pernah sampai ngambek seperti ini. Kalau bertengkar yaaa palingan hanya karena Pandu sering membatalkan janji. Itu pun terjadi jika menurut Fasha sudah sangat keterlaluan. Tapi rasa-rasanya mungkin hanya terjadi satu atau dua kali selama hubungan mereka terjalin. Sisanya? Ya adem ayem. Selalu mesra. Ke mana-mana sering berdua. Ponsel bosnya memang ada di atas meja. Agni juga menerka-nerka. Apakah memang Fasha terlalu fokus dalam mengerjakan pekerjaannya? Tapi tidak juga. Setelah ia pikir-pikir, sesibuk apapun pekerjaan dan jadwalnya, Pandu tetap menjadi prioritas dalam hidup perempuan itu. Jadi tak mungkin segala panggilan dan pesan Pandu akan diabaikan kecuali keduanya sedang bertengkar. Iya kan? Padahal ini adalah kasus yang jarang terjadi. Maksudnya, Pandu sampai menghubunginya, mungkin adalah kasus pertama. Biasanya lelaki itu menghubunginya kalau Fasha tak mengangkat teleponnya karena kesibukan bukan karena pertengkaran. Kalau hal itu sudah biasa. Karena ya kan Fasha sering hilir-mudik untuk melihat beberapa proyek yang sedang berjalan. Bersama sang manajer lapangan pasti jalan-jalan ke proyek yang masih dalam tahap bangunan itu. Jadi wajar kalau tak bisa mengangkat telepon. Kalau meeting juga. Tapi jarang. Sepertinya Pandu juga tahu kalau Fasha harus meeting kan? Kini? Agni cuma bisa berdoa di dalam hati semoga ia tidak disemprot lagi. Apalagi ia baru saja gagal menahan seorang perempuan masuk ke ruangannya. "Haduuh! Mampus gue!" Ia hanya bisa mengeluh seperti itu. Matanya menatap cemas ke arah pintu ruangan Fasha yang sudah terbuka. "Bisa bicara sebentar?" tawar perempuan itu. Perempuan yang sama saat Fasha melihatnya di gedung DPR lalu perempuan yang sama di rumah Pandu dan tinggal bersama lelaki itu. Mengingat itu membuat Fasha agak sakit. Apalagi semalam, Pandu sama sekali tak menghubunginya. Ah ia lupa. Ia yang mematikan ponselnya semalam. Hihihi. Kadang perempuan itu aneh ya? Ia ingin dihubungi tapi ponselnya saja mati. Fasha berdeham. Ia terpaksa memberi kode pada Agni agar keluar dari ruangannya. Agni berangsur mundur. Sementara perempuan di depannya ini masih berdiri lalu berjalan masuk dengan perlahan. Agni bersegera menutup pintunya. Ia sejujurnya takut terjadi keributan. Lantas perempuan itu siapakah? Bosnya tampak tak suka dengan perempuan itu kalau dilihat dari tatapannya tadi. Ia ingin sekali mengintip tapi ruangan tertutup tirai tarik yang tertutup. Jadi ia benar-benar tak bisa melihatnya. Ditambah lagi ruangan Fasha memang kedap suara. Jadi ia tak tahu apa yang terjadi di dalam. "Siapa tuh? Siapa?" Beberapa rekan kerjanya sudah berdiri di dekat mejanya. Semua orang penasaran karena sejak pagi, mood Fasha benar-benar buruk. Pagi-pagi tadi bahkan sudah ada yang dimarahi. Ini jelas kejadian langka karena mereka tak merasa membuat masalah atau kesalahan. Agni mengendikan bahu. Ia juga tak tahu apa-apa. Dan kini kenapa ramai sekali mejanya? "Gue Zevanya, sepupu Pandu. Ibunya adalah satu-satunya saudara bokap gue." Fasha menghela nafas. Ia menutup semua program desainnya lantas menatap perempuan ini. Ia sama sekali tak bertanya apapun tapi perempuan ini langsung memulai pembicaraan. Omong-omong kemarin ia bertengkar dengan Pandu karena tersinggung dengan kata-kata lelaki itu. Dan berakhir dengan keterdiaman hingga tiba di rumahnya. Hingga siang ini pun, ia masih enggan membalas pesan atau mengangkat telepon dari Pandu. Ia tidak akan memutuskan Pandu. Jangan harap itu terjadi karena kali ini, ia sudah terlanjur cinta pada lelaki itu. Kecuali jika lelaki itu yang ingin berpisah dengannya. Tapi ia akan kejar Pandu sampai liang lahat sekalipun untuk tahu alasan kenapa lelaki itu harus memutuskannya. Jika ada perempuan lain yang menurutnya mungkin lebih baik, ia akan biar kan Pandu. Jika tidak? Ohooo. Perjuangan cinta itu wajar kan? Mau perempuan yang melakukan ataupun laki-laki, Fasha merasa tidak akan ada perbedaan. "Jujur aja, Pandu gak pernah cerita apapun tentang cewek, pacar atau apalah itu namanya. Jadi, gue pun bertanya-tanya bagaimana akhirnya bisa pacaran sama lo." Fasha tersentil dengan kata-kata itu. Apa maksudnya? "Lantas apa mau lo?" Perempuan itu menarik nafas. Tampilannya modis. Gak kalah cantik dengan Fasha. Walau sebetulnya masih lebih tua dibanding Fasha. Ya dari wajah juga terlihat lebih tua. Dan dalam sekejab saja, Zevanya tahu kalau Fasha bukan orang yang suka berbasa-basi. Makanya ia berbicara langsung dan sesuai dengan tujuannya. "Gue hanya meluruskan kejadian kemarin. Ya, gue memang tinggal bareng Pandu sejak beberapa bulan ini karena cuma dia yang bisa nolong gue. Gue gak punya keluarga lain cuma Pandu dan ibunya, tentu saja." Sejujurnya bukan beberapa bulan. Ia bahkan baru datang ke Singapura selama beberapa hari kemarin. Sempat ikut Pandu ke kantor DPR karena sekalian keluar. Itu juga karena mereka hendak mengunjungi beberapa tempat untuk mencari sesuatu. Sebelah alis Fasha terangkat. Ibu? Ia tertarik dengan kata yang satu itu. Karena ia sendiri tak pernah mendengarnya dari Pandu. Pandu bahkan tak pernah membahasnya. Setahunya begitu. Ah entah lah. Seingatnya tak pernah meski merasa agak familiar. "Tapi sepertinya, lo juga gak penting-penting amat ya? Gue bahkan gak pernah dikenalkan Pandu ke elo?" ucapnya sakartis. Fasha hanya mengirim tatapan dingin. Sementara perempuan itu tersenyum tipis. Ia menang kali ini. "Jangan terlalu berharap sama Pandu. Dia gak pernah berpikir untuk serius sama satu perempuan pun di dalam hidupnya." Lalu ia pergi begitu saja tanpa perlu menunggu respon dari Fasha. Lantas untuk apa perempuan itu datang ke sini? Hanya untuk mengatakan itu? Fasha ingin sekali menyepaknya. Tapi sialnya, perempuan itu sudah pergi meninggalkan ruangannya yang seketika membuat para karyawannya bubar dari meja Agni. Mereka benar-benar penasaran. Ada apakah? @@@ Dan kata-kata itu berhasil membuat Fasha berang. Namun jangan harap Fasha akan bergerak. Sudah tahu kan kalau Fasha wanita elegan? Ia tak akan mau mengemis cinta pada seorang lelaki lagi. Apalagi jika lelaki itu memang ingin melepasnya. Tapi.....ia perlu alasan logis jika memang lelaki itu ingin melepasnya. Dan.....ia juga menyiapkan alasan logis untuk mempertahankannya. Bodoh? Ini bukan kebodohan melainkan keputusan. Perempuan harus bisa mengambil keputusan di dalam sebuah hubungan. Jangan hanya manut-manut saja oke? Fasha menghembus nafas lantas mendongak dan menatap dinding di depannya yang banyak ia tempeli pengingat pekerjaan beserta jadwalnya. Sejujurnya, seharian ini pun ia masih sulit bekerja. Pandu? Masih menghubunginya namun lelaki itu tak terlihat sama sekali karena sangat sibuk. Hal yang membuat Fasha semakin bertanya-tanya. Sebegitu tak pentingnya kah ia dalam hidup lelaki itu? Karena nyatanya, lelaki itu bahkan tak datang ke sini? Apa susahnya datang ke sini? Lalu mengajaknya makan siang seperti biasa dan mungkin bisa membicarakan masalah ini dengan lebih baik. Meski ia juga tak yakin. Benar-benar tak yakin. Lalu dalam sekejab ia teringat kata-kata perempuan tadi. Hahaha. Ia hanya bisa tertawa hampa. Kebimbangan dan keraguan itu muncul begitu saja. Padahal selama ini ia sangat yakin kalau lelaki itu juga memiliki rasa yang sama dengannya. Jika tidak, mana mungkin hubungan mereka akan selama ini? Dua tahun bukan waktu yang sebentar bagi Fasha. Lalu tatapan lelaki itu? Kasih sayang yang diberikan? Perhatian yang intens? Tatapan lelaki itu? Bukan halusinasi kan? Jelas nyata. Lalu kenapa sekarang seakan berubah menjadi abu-abu? "Menurut lo apa alasan seorang cowok enggan ngenalin ceweknya ke keluarganya?" Dina tampak berpikir. Ia baru saja pulang dari pemotretan dan tahu-tahu Fasha sudah berdiri di teras rumahnya. Fasha memang sudah menunggunya sejak lama. Saat Dina membalas oedan kakau akan segera pulang, Fasha sudah bersiap-siap untuk datang ke sini. Lalu ketika Dina mengajaknya masuk, sepupunya itu langsung menanyakan hal itu. Dina langsung paham ke mana arahnya berbicara. Terjadi sesuatu kah? Ia tidak akan bertanya hal itu. Ia hanya akan menjawabnya. Karena ia tahu tipikal Fasha yang tidak suka basa-basi. Kalau gadis itu bertanya ya langsung jawab saja. Mungkin akan berbeda dengan Rain. Kalau Rain? Ia jelas akan mengoloknya lebih dulu. "Lo lebih tahu dibanding gue, Sha," ucapnya. Ia enggan mengatakannya karena ia yakin Fasha juga tahu. Pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya. Dina enggan mengatakan jawabannya karena takut Fasha tersinggung. Tampaknya sepupunya yang satu ini sedang galau. "Gak ada kemajuan?" Fasha hanya menghela nafas dan itu cukup menjadi jawaban. "Sepertinya gue benar-benar gak dianggap apapun sama dia." Dina cuma menatapnya lantas mengambil air minum. Ia tak tahu harus berkomentar apa. Baginya, ini juga sulit. Sekarang ia jadi paham bagaimana rasanya jadi Eza dulu. Aaah, teringat lagi. Oke ia tak akan membahas itu. "Lo gak nanya gitu apa alasannya, dia sembunyiin semua tentang keluarganya dari elo?" Fasha tertawa hampa. Selama beberapa hari ini, mood-nya jelek sekali. Sekali senggol langsung bacot. Ia sama sekali tak sedih tapi malah emosi dan marah yang tak berkesudahan. Terakhir pembicaraannya dengan Pandu itu pun berhenti pada Pandu yang bilang kalau itu urusan keluarganya dan ia tak berhak ikut campur. Oke. Fasha rasa memang benar karena ia memang bukan bagian dari keluarga lelaki itu. Namun hal itu justru memunculkan pertanyaan baru bagi Fasha. Ya kan? Lantas setidak penting apa Fasha baginya? Haaah. Semakin dipikirkan nyatanya malah membuatnya semakin tersinggung. Tersakiti. Lantas apa yang harus ia lakukan? "Gue gak tahu sama sekali soal itu." "Gak lo cek ke Om Regan?" Fasha menggeleng. Walau bisa saja meminta Om-nya menyelidiki Pandu tapi ini urusan asmara. Urusan pribadi bukan urusan yang bisa mengancam perusahaan. Fasha lebih paham soal itu. Tak profesional sama sekali kalau melakukan itu. Fasha menghela nafas. "Sepertinya benar kalau gue memang harus mengambil keputusan." "Keputusan apa?" "Keputusan tentang akhir dari hubungan gue." @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD