Tentang Rumah Tangga

2315 Words
"Lo yakin kalo Bang Pandu gak serius sama lo?" Dina bertanya. Ia hanya bertanya, tak bermaksud membuat Fasha jadi ragu sendiri. Kalau dilihat-lihat, Pandu tak mungkin tak serius. Dina tahu itu. Maksudnya, untuk seukuran lelaki seperti Pandu. Meski masih bertanya-tanya juga. Kenapa sudah berusia 34 tahun dan masih betah dengan hubungan seperti ini? Maksudnya, tak ada kelanjutan. Ia melihat kalau Fasha tampaknya sudah siap. Fasha juga tak yakin. Ada sedikit keraguan. Karena ia juga penasaran sesungguhnya tentang kenapa Pandu tak pernah membicarakan hal seserius itu. Fasha memang tak menuntut. Hanya saja kini ia baru menyadarinya. Sepertinya kelanjutan hubungan untuk memasuki tahapan yang lebih serius itu sangat penting. Meski awalnya, ia juga tak begitu perduli dengan hal semacam itu. Karena merasa nyaman. Namun ternyata kini seakan tak cukup ya? Apalagi dengan kehadiran perempuan yang begitu menganggunya. Ia ingin mencari tahu namun di sisi lain, ia juga takut kalau Pandu akan menilainya seperti perempuan yang terlalu ikut campur dalam urusannya. Fasha sadar kalau hubungan mereka hanya sebatas pacaran dan tidak lebih dari itu. Kalau ia adalah tunangannya mungkin yaa akan berbeda cerita. Ini sepertinya statusnya belum kuat untuk ikut campur lebih dalam. Fasha menghela nafas. Dina justru tersenyum kecil. Perempuan itu menyiapkan cemilan untuk obrolan sore yang tak disangka ini. "Adit kapan pulang?" Kalau Adit akan pulang dalam waktu dekat, itu artinya ia tak bisa terlalu lama di sini. Bagaimanapun Dina sudah memiliki status yang berbeda dengannya. "Paling malem. Dia masih di Bogor. Ada proyek yang harus ditinjau." "Bareng Ardan?" "Iye, bini kedua." Fasha terbahak. Bisa-bisanya ia tertawa setelah tegang seharian ini. Tapi lucu juga. Memang sudah menjadi hal umum kalau Ardan adalah bini kedua Adit. Gara-gara kedua orang itu terlalu sering bersama. Dina sih tak masalah. Hahaha. Lalu suasana rumah hening lagi. Walau hanya beberapa detik. Karena Dina menuangkan lemon ke dalam gelas. Keharumannya sudah tercium. Itu adalah lemon asli yang diperas sendiri oleh Dina kemudian dicampurkan dengan apel dan sedikit madu. Usai meminumnya pasti akan merasa segar. "Masih gelisah soal Bang Pandu?" Jelas lah. Fasha tak bisa menyangkal itu. Ada banyak hal yang berkecamuk di dalam kepalanya. Bahkan ia hanya bisa memikirkan lelaki itu untuk saat ini. "Lebih baik dipikirin matang-matang sih, Sha. Dibicarakan juga dengan baik. Karena kan kits gak pernah tahu apa alasan seseorang melakukan sesuatu. Kalaupun bicara, belum tentu sesuai dengan hati dan kondisi yang dirasakan." Fasha menghela nafas. Ia tahu. Persoalannya mungkin memang tampak sederhana. Tapi Fasha sedih sekaligus marah karena Pandu seolah menganggapnya seperti orang lain. Lantas apa arti dua tahun pacaran? "Tapi dia orang baik kan, Din?" Dina terkekeh. "Kalo gak baik, gue pasti udah bikang sejak awal kah, Sha." Fasha tersenyum kecil. Ia tahu sih. Para sepupunya tak akan pernah menjerumuskannya. Mereka kadang memang blak-blakan tapi itu juga untuk kebaikan. Walau cara penyampaiannya mungkin tak bisa diterima di awal namun yang namanya sesuatu itu kan selalu didatangi hikmah yang belakangan. "Mirip sama punya Ibuk." Dina terkekeh. Itu komentar Fasha usai mencicipi sari lemon dan apel. "Ya kan emang resep nyokap lo." Aaaah. Fasha mengangguk-angguk. Merasa bodoh sendiri. Lalu ia melihat Dina yang langsung mulai memasak untuk makan malam. Ia bertanya-tanya, kapan sepupunya yang liar ini bisa berubah seanggun ini? Hahaha. Dulu sama parahnya dengannya ketika mereka masih sama-sama sendiri. Tapi ia akui kalau Dina memang berubah banyak sejak dua tahun berakhir. "Ibu rumah tangga itu harus bisa masak ya?" Dina tertawa mendengar pertanyaan itu. "Gak harus lah. Jadi ibu rumah tangga juga gak harus bisa beres-beres rumah. Ya kalo ada pembantunya silahkan. Itu kan pilihan masing-masing." "Lo?" "Kenapa gue?" "Pendapat lo tentang ibu rumah tangga." Dina tersenyum kecil. "Kalo urusan rumah tangga itu adalah urusan bersama, Sha. Gue juga gak masak tiap hari kok. Kadang Adit juga bikin makanan meski gak sesering gue. Kita gantian lah. Kalo gue sempet ya gue masak. Kalo dia sempet ya dia masak meski hanya sesederhana itu masakannya. Terus urusan beres-beres juga begitu. Dikerjain bareng. Tapi kan ada bibi yang suka datang pagi-pagi. Abis beresin pulang deh. Karena Adit emang gak terlalu suka kalau ada orang lain ikut tinggal di rumah. Sekalipun pembantu." Fasha mengangguk-angguk. Ia juga tahu bagaimana tipikal Adit. "Dia gak maksa, apakah gue harus bisa ini-itu. Cuma selama gue bisa lakuin ya gue lakuin lah. Yang gak bisa, gue gak mau maksain. Adit juga gitu." Fasha mengangguk-angguk. Ia masih belum ada bayangan rumah tangga seperti apa yang ingin ia bangun dan apakah harus bersama Pandu? Pikiran itu terlintas begitu saja. "Nikah itu gak perlu terburu-buru, Sha," ucapnya. Ini adalah ucapan turun temurun sebetulnya. Mamanya juga sering mengatakan hal ini sebelum ia menikah. Kak Aya lebih sering lagi mengatakan hal ini. Kak Ayah menikah diusia 29 tahun. Hampir 30 tahun lah. Lebih punya pengalaman asmara yang banyak eeeh gak deng. Hahaha. Mantannya Kak Aya hanya satu kan ya? Tapi perjalanan cintanya jauh lebih pahit menurut Dina. Namun hebatnya bisa dilewati dengan begitu tegar. Ia salut kalau mengingat hal pahit itu. Ia bahkan menjadi salah satu saksinya bukan? "Jodoh kan Allah yang atur. Semuanya sudah pasti diwaktu yang tepat." Fasha tersenyum kecil. Ia bahkan belum terpikir untuk sampai ke sana. Ya kalau suatu saat Pandu mengajaknya menikah, tentu ia akan sangat senang. Kapanpun ia siap. Sekalipun itu terjadi esok hari. Selama dengan Pandu. Kalau tidak dengan Pandu? Barangkali Allah punya lelaki lain yang lebih baik. "Haaaah," ia menghela nafasnya. "Kalo dipikir-pikir, jodoh itu emang misteri ya?" Dina terkekeh. Tentu saja. Dari sekian banyak drama hidupnya dengan Fasha dan Adit ternyata inilah yang disebut dengan hikmah. Lihat hubungannya dengan Fasha sekarang. Keren kan? Selain itu, Fasha menjadi jauh lebih terbuka. Memang benar kalau masalah hidup itu dapat mendewasakan diri. "Masing-masing manusia punya cerita." Fasha mengangguk-angguk. Benar sekali. "Lo sendiri gimana?" "Apanya yang gimana?" "Serius sama Bang Pandu?" Fasha terhenyak sesaat. Lalu dengan perlahan, ia tersenyum tipis. Ya kalau serius itu sudah pasti. Ia memang tak main-main dengan suatu hubungan. Namun serius bukan berarti harus terburu-buru. Meski dua tahun juga bukan waktu yang sebentar. Fasha hanya ingin sama-sama nyaman dengan Pandu. Makanya, meski ia juga penasaran kenapa Pandu belum kunjung melamarnya, di sisi lain, ia memang tak mau memaksakan Pandu untuk mengambil keputusan akhir dari hubungan ini. @@@ Rambut hitamnya tergerai lurus. Kali ini dicat agak sedikit kecoklatan, mengikuti tren artis Korea. Biar pun gak pernah menonton drama Korea tapi Fasha gak pernah ketinggalan tren warna rambut. Walau hanya sebatas warna coklat. Kalau warna lain, Ayahnya akan mengomel tentu saja. Aaah beberapa bulan lalu ia pernah mencoba dengan warna ungu. Tentu saja tidak seluruh rambut yang dicat berwarna ungu. Hanya beberapa bagian dan ia benar-benar tampak cocok. Namun ayahnya tak berhenti mengomel karena hal itu. Hahaha. Kali ini, model rambutnya memanjang hingga pinggang, sedikit bergelombang untuk membuat wajahnya terlihat lebih terisi, dan tanpa poni tentu saja. Wajah Fasha itu tirus panjang persis seperti artis perempuan Korea Selatan yang paling cantik saat ini. Ia juga berhidung mancung walau wajah Fasha itu sangat lah Padang. Kalau diperingkatkan, ia adalah perempuan kedua tercantik di antara cucu-cucu Opa Adhi. Pertama? Farras dan Anne. Dua perempuan itu harus berada di peringkat yang sama saking cantiknya. Farras dengan wajah melayunya yang kadang sering dikira orang Arab. Ia berwajah seperti Bunda. Memang lebih dominan Bundanya. Tentu berbeda dengan Farrel dan Ferril yang meski mirip Bunda tapi dominan Papa mereka. Kalau Anne? Sudah jelas bulenya namun ada juga sedikit melayunya. Wajah yang sedikit bule lain adalah Tiara. Tapi Tiara itu berwajah bule Indonesia. Seperti almarhum ibu kandungnya yang memang kental Indonesia namun fitur wajahnya seperti orang Amerika. Fasha adalah pewaris sempurna wajah ibunya. Ia benar-benar tampak mirip dengan ibunya dulu waktu seumuran dengannya. Yang membedakan adalah Caca tak pernah berpenampilan seperti Fasha yang tak berhenti mengikuti tren. Anaknya terlalu gaul. Meski sepadan dengan cantiknya. Kalau Rain? Wajahnya pewaris Fadli tulen. Gadis itu dulu kerap dibandingkan dengan kakaknya sejak duku karena Fasha terlalu berbeda dengannya. Terlalu cantik. Ia sempat jengkel karena itu. Tapi seiring usia, ia sudah tak peduli. Terlahir sebagai anak kedua yang berbeda menurutnya adalah bagian dari takdir. Pagi ini, Fasha tidak mengenakan rok. Ia sudah hampir tak pernah mengenakan rok pendek lagi selama setahun terakhir ini. Gegara? Pandu. Cowok itu pernah mengomelinya karena urusan rok pendek. Walau Fasha berdalih itu kan hanya rok. Tapi Pandu tetap bersikeras melarang. Selain Pandu, ia juga diomeli Ayahnya. Yeah, kalau dulu Ayahnya kurang terang-terangan mengomeli, kalau sekarang? Jangan ditanya. Jadi gantinya, ia mengenakan celana bahan yang panjang dengan blouse sebahu yang kemudian ditutupi blezer. Tata suka memanggilnya ratu K-Pop karena penampilan Fasha lebih sering terlihat bagai girl group yang akan tampil showcase bukan tampilan kantor saking cantik dan kecenya. Pagi ini, ia tak menggerai rambut panjangnya. Ia malah mengikatnya lalu mengambil tas kecilnya dan bersegera keluar dari kamar. Dan rambut itu terayun-ayun ketika Fasha menuruni tangga. Setidaknya, penampilan ini jauh lebih baik dibandingkan beberapa hari belakangan. Penampilan Fasha yang kembali segar itu tentu tak luput dari mata Fadli yang diam-diam melirik. Ibunya juga sama. Tapi keduanya kompak diam. Tak bertanya ataupun berkomentar meski tahu kalau mungkin terjadi sesuatu. Ye lah. Fadli juga mendengar gosip kantor tentang anaknya. "Buuuk! Asha berangkaaat! Nanti sarapan di kantor aja!" teriaknya sambil berlari menuruni tangga hingga ke garasi rumah. Caca geleng-geleng kepala. Tata juga geleng-geleng di pintu kamar ibunya. Gadis kecil itu baru selesai mandi, belum memakai baju dan hanya mengenakan handuk. "Cantik banget kakak Tata itu, Buuk," komennya yang membuat Caca terkekeh. Ye lah, mirip emaknya. Kalau Tata kan campuran Fadli dan Caca. Walau kelakuannya kadang lebih mirip Fadli. Kalau Rain kan persis Ayahnya. Jadi melihat Rain itu seperti melihat Airin. Kalau Aisha kan versi perempuannya Feri. "Pakek bajunya ituuu," omel Fadli. Lelaki itu muncul dari pintu belakang. Tata nyengir lantas bersegera masuk ke kamar ibunya untuk mengenakan baju. Bersiap-siap berangkat ke sekolah. "Buuuk! Buuuk!" panggil Rain. Gadis itu masih berpakaian olahraga usai pura-pura jogging di depan rumah duda sebelah rumah. Namun bukan hanya Caca yang menoleh tapi juga Fadli. "Tuaan Bang Pandu atau Mas Ilham sih?" tanyanya yang sesungguhnya tidak penting. Fadli geleng-geleng kepala sementara Caca malah terkekeh. Fadli merasa menyesal telah mendengar pertanyaan itu. Ia memilih masuk ke kamar dan mengurus Tata memakai baju. "Kenapa memangnya?" "Kalo Rain perhatiin, tuaan Bang Pandu ya, Buk?" tanyanya pelan. Takut terdengar kakaknya yang berada di kamar. Hahahaha! Ia gak tahu aja kalau kakaknya sudah berangkat barusan. Ia hanya ingin menanyakan sebuah fakta. Seingatnya, calon kakak iparnya itu memang jauh di atas usia kakaknya. Bahkan seingatnya, Pandu lebih tua dari Bang Izzan. Itu yang ia tahu. "Pandu kan udah 34 tahun, Rain. Si Ilham masih 30 kalo gak salah." Rain menjentikan jari. "Apa itu maksudnya?" tanya Fadli dengan tatapan menyelidik. Lelaki itu baru keluar lagi dari kamar untuk mencari sisir rambut yang kadang suka hilang di rumah ini. Rain malah nyengir. "Kan Mas Ilham biar pun udah duda, udah 30 tahun tapi kalo Rain lihat kayak masih seumuran Rain deh!" Caca terkekeh. Anaknya ini! Ada-ada aja. "Masih mudaan Ayah lah!" "Yeee Ayah sih udah tua! Ada lagunya malah, Yaaah! Tau gak, Yaah? Tua-tua keladi!" serunya lantas berlari sambil terbahak menuju kamarnya sebelum dijentik ayahnya pakek jari. Caca terkikik mendengar ucapan absurd anaknya yang satu itu. Ya ucapan yang selalu menghiburnya. Apalagi kalau urusan meledek ayahnya. Kalau anak yang lain tak akan berani meledek Fadli maka Rain justru kebalikannya. Hal yang selalu membuat riuh di rumah. "Anakmu itu, hoon!" keluhnya. Kalau debat sama Rain, ia gak akan pernah menang. Anaknya itu pandai sekali bersilat lidah. Yeah, sesuai turunan lah. Turunan Ayahnya. Sementara itu, Fasha baru tiba di kantor usai ngebut habis-habisan. Ia punya agenda meeting dadakan pagi ini. Ia berjalan cepat dari parkiran memasuki gedung. Suara heels-nya berdentum dengan rambut yang terayun ke kiri dan ke kanan. Hal yang membuat semua karyawan melihat ke arahnya. Selain karena parasnya yang cantik itu, ekspresi wajahnya yang hari ini terlihat agak sedikit ramah lah yang paling menyita perhatian. Pasalnya, semingguan kemarin wajah Fasha sangat dingin dan menyeramkan. Banyak karyawan yang langsung ketakutan ketika tak sengaja bersitatap. Apalagi aura dinginnya bagai bisa membekukan orang-orang di sekitarnya. Kalau hari ini? Setidaknya, tidak sedingin Jumat kemarin. Dan mereka pun bisa menebak, sepertinya anak bosnya itu sudah dalam keadaan sedikit lebih baik. Apanya yang lebih baik? Hatinya. Ia baru membuka pintu dan Agni yang hendak berteriak pun langsung menutup mulutnya lagi. Tadinya ia mau bilang kalau ada Pandu di dalam tapi bosnya sudah keburu masuk. Lalu? Dua orang itu saling bertatapan. Pandu sudah menunggu kedatangannya sepagi ini. Usai memadatkan pekerjaannya seminggu kemarin, ia setidaknya punya sedikit waktu pagi ini untuk gadis ini sebelum kembali ke gedung DPR. Fasha? Hanya mengatupkan mulut. Wajahnya sangat-sangat kaget. Sadar betul kalau semingguan kemarin, ia memang membiarkan Pandu. Ah lebih tepatnya, mengabaikan lelaki itu dengan sengaja. Kenapa? Fasha ingin lihat, sepenting apa ia bagi lelaki ini. Lalu lihat pagi ini... "Sudah sarapan?" tanya lelaki itu yang sukses mematahkan keheningan. Matanya menatap lurus pada Fasha. Ungkapan rindu yang tak bisa diucap dengan kata namun mata pandai berbicara. Dan harusnya, Fasha bisa melihat itu. "Aku sibuk," tuturnya. Ia berpura-pura sibuk dengan menaruh tasnya di atas meja kemudian mengatur berkas-berkas dokumen. Apa yang dilakukannya sesungguhnya sia-sia. Mata yang mencoba untuk bersembunyi itu juga tak bisa. Pandu menghela nafas. Ia tahu kalau Fasha masih marah. Apalagi Fasha tak pernah mendiamkannya selama ini. Ia juga banyak berpikir selama beberapa hari ini. Berpikir tentang? Tentu saja soal kemarin dan hubungannya dengan gadis ini. "Nanti pulang jam berapa?" "Lembur." Pandu mengangguk-angguk. Oke, benar-benar marah, pikirnya. Tapi ia malah tersenyum tipis. Matanya melihat Fasha yang kini sudah menyalakan laptop dengan tampang serius. Akhirnya, lelaki itu memilih untuk mengambil duduk di depan Fasha. Baru mau berbicara, suara ketukan pintu menyadarkan keduanya. Pandu langsung bergerak menuju pintu. Kemudian mengambil sarapan pagi yang ia pesan saat akan ke sini. Sengaja. Karena ia tahu Fasha akan berdalih sibuk jadi ia merencanakan ini. Lantas Fasha? Entah harus senang atau kesal. Yang jelas, ada sedikit senyuman di wajahnya. Lelaki ini pandai membaca situasi ketika ia marah dan selalu punya cara untuk membuat tembok kemarahannya perlahan runtuh. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD