Apa Artiku Bagimu?

2301 Words
Fasha itu bukan tipe yang curigaan sebetulnya. Apalagi Ayahnya juga memberi lampu hijau untuk hubungannya dengan Pandu. Jadi, ia percaya kalau Ayahnya pasti sudah menyelidiki lelaki ini. Ia tahu bagaimana selektif Ayahnya dalam mencari pasangan untuk anaknya. Lihat saja adiknya. Aaaah entah masih pacaran atau tidak, Fasha tak tahu lah. Tapi yang jelas, Rain tidak mudah menembus restu Ayahnya. Pasangan itu memang harus selektif. Wajar kalau seorang ayah begitu. Kalau ibunya memang tak pernah mempermasalahkan siapapun yang suka dengan mereka atau sebaliknya, yang penting orang itu baik. Itu pun telah cukup untuk ibunya. Wajar kan kalau Fadli memang terlihat agak pilih-pilih? Karena nanti, laki-laki itu akan menjaga anak perempuannya. Selama ini, ia yang menjaga Fasha. Ia menyayangi Fasha dengan sepenuh hati. Ia tak pernah melukai hati anaknya. Jadi ia hanya ingin memastikan kalau anaknya akan bahagia bersama dengan orang itu. Kalau soal Pandu, Fadli itu menyukai sisi dewasa Pandu dan pembawaannya yang tenang. Menurutnya, anaknya akan lebih tenang bersama dengan tipe lelaki yang bisa membawa diri. Apalagi Fasha adalah tipe gadis yang tidak terlalu terbuka jadi perlu dipasangkan dengan lelaki yang bisa menerimanya apa adanya dan tak pernah berprasangka apapun. Karena terkadang, di dalam diamnya Fasha, gadis itu ternyata sungguh gelisah hanya karena memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi akibat terlalu berprasangka negatif. Meski perasaan semacam itu telah lama hilang semenjak ia menjalaninya dengan Pandu yang bisa dipercaya. Ia menggenggam kepercayaan itu. Namun hati perempuan mana yang tak sakit melihat lelaki yang disayanginya malah merangkul perempuan lain? Di depan matanya. Ia tidak salah lihat kan? Tidak. Ia yakin. Matanya belum minus. Sekalipun ia berhadapan dengan laptop selama berjam-jam. Matanya masih sehat karena ia rajin juga memeriksakannya. Ah entah apa hubungannya tapi itu memang cukup membantu. Fasha menelungkupkan mukanya ke setiran mobil. Ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha tenang. Sekali lagi, ia menarik nafas dalam-dalam. Kalau dipikir-pikir, sejak dulu, ia bahkan tak pernah berpikir sedikit pun kalau akan ada waktu semacam ini di mana ia melihat Pandu tampak mesra dengan perempuan lain. Oke, selama ini memang banyak yang mendekati Pandu. Mau dari kalangan manapun pasti tertarik dengan Pandu yang memang terlihat dewasa bahkan dikira duda. Yeah benar kata Dina kalau Pandu memang sudah tua seperti Bang Izzan. Ssstt jangan bilang-bilang Kak Aya ya? Hihihi. Tapi ia sedang tidak bisa bercanda sekarang. Fokusnya tetap saja teralihkan pada kejadian tadi. Hanya itu yang muncul di dalam kepalanya saat ini. Mungkin kalau perempuan lain pasti sudah mengamuk sedari tadi ketika melihat kekasihnya berjalan dengan mesra bersama perempuan lain. Namun jangan salah, Fasha bukan perempuan seperti itu. Ia wanita elegan. Maka ia mengeluarkan ponselnya dan berupaya menghubungi Pandu sekali lagi. Tapi tetap tak diangkat. Lalu ia mencoba menghubungi sekretaris lelaki itu. Namun perempuan itu juga tak tahu Pandu di mana karena tak ada jadwal pekerjaan di luar DPR untuk hari ini. Oke, ia menggetuk-getuk jarinya. Masih mencari ide untuk mencari tahu Pandu pergi dengan siapa dan kenapa tak memberitahunya? Aaah bodoh. Kalau selingkuh sih tak akan memberitahukan ya? Haaah. Tidak-tidak. Ia menggelengkan kepala dengan kuat. Pandu tidak selingkuh. Kalau berani, ia sendiri yang akan menghajarnya dan tak perlu mengajak pada sepupunya. Memang urusan semacam ini akan begitu seru kalau mengajak mereka. Tapi ini adalah urusan pribadinya apapun bentuknya. Akhirnya, ia mengemudikan mobilnya dan mengendarainya keluar dari gedung DPR. Percuma kalau tetap berdiam di sana. Ia tak akan menemukan jawabannya bukan? Di sepanjang perjalanan, pikirannya berkecamuk. Ingin menahan diri namun entah kenapa, ia begitu penasaran. Lalu melirik jam tangannya yang menunjukan pukul tiga sore. Jemarinya mengetuk-etuk setir mobil. Ia sedang menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan. "s**l," makinya. Bukan karena akan menabrak sesuatu atau semacamnya. Ia sedang kehilangan pikiran saja karena terus teringat kejadian di dekat lobi tadi. Astagaa. Harusnya ia kembali ke kantor tapi ia sudah kehilangan fokusnya. Bahkan sekarang pun tak tentu arah. Ia hanya melirik kaca spion berulang kali. Hatinya masih galau. Ada rasa gengsi sebetulnya. Tapi rasa penasaran begitu menekannya. Ditambah lagi, ia juga agak-agak sakit hati eeh patah hati deh. Gak perlu mengatakan 'agak-agak' karena ini sudah sangat jelas. Setelah mengendarai mobil dengan tak jelas tujuannya, ia memutar balik dan memutuskan untuk ke rumah Pandu. Meski hampir tak pernah ke sana lagi karena Pandu hanya tinggal sendiri di sana. Yaaa beberapa minggu lalu mungkin ia ke sana. Tapi kejadian itu sepertinya bulan laku. Tidak dalam waktu yang dekat. Karena ia juga sibuk. Pandu juga sama. Ah ya, Pandu memang tinggal sendirian. Selama ini ada alasan kenapa Fasha tak pernah bertanya keluarga Pandu. Ayahnya pun tak tahu karena Pandu sangat memendam hal itu. Fadli tak mau mengorek sesuatu yang tidak ingin orang itu ungkapkan. Karena itu adalah haknya. Jadi Fasha pun benar-benar buta. Fasha tak pernah bertanya bukan karena tak perduli. Tapi tampaknya Pandu tak terlalu ingin membahasnya. Entah apa yang disembunyikan lelaki itu, Fasha pun tak tahu. Jadi Fasha hanya mencoba mengerti. Ia tak mau mereka bertengkar hanya untuk hal-hal yang sebetulnya hanya perlu dijelaskan. Namun mengenal Pandu selama hampir dua tahun ini, Fasha semakin paham sifat Pandu. Dan lagi-lagi, Fasha mencoba mengerti. Ini bukan sebuah kebodohan melainkan keputusan. Fasha sudah dewasa dan ia tahu apa yang terbaik untuknya. Baginya, ia bisa menerima segala sikap Pandu. Fasha membelokan mobilnya menuju jalan yang sangat familiar. Berhubung belum jam.pulang kantor, ia hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke sini setelah berputar-putar di jalan raya tanpa tujuan tadi karena saking gelisahnya. Dari pada penasaran dan tidak tenang, lebih baik ia datangi saja. Mencoba bertanya secara baik-baik bukan tipenya Fasha. Ia memiliki sifat yang agak gengsi seperti ibunya. Jadi jangan berharap kalau ia akan bertanya segamblang itu. Berpura-pura mampir adalah cara yang lebih baik? Eeeh tapi ia malah mengambil keputusan lain ketika hampir tiba. Alih-alih memarkirkan mobilnya di dekat halaman rumah lelaki itu, Fasha memarkirkannya di depan Alfamart. Kemudian berjalan sedikit dan berbelok ke kiri. Sudah terlihat jelas rumah Pandu yang sebetulnya tidak luas. Sama seperti rumahnya. Hanya saja, berlantai tiga. Kalau rumahnya kan hanya dua lantai dengan halaman yang kecil dan garasi mobil yang bisa memuat empat mobil. Kalau garasi rumah Pandu hanya bisa memuat dua mobil. Tapi untuk rumah seperti ini di Jakarta bisa miliaran harganya. Fasha jarang ke rumah lelaki ini berhubung hubungan mereka hanya pacaran. Bukan suami-istri. Fasha tahu batas-batasnya dan Pandu yang dewasa itu juga bukan lelaki berpikiran kotor. Fasha hanya pernah datang sesekali untuk mengantar makanan buatan Ibunya. Kalau ia sih benar-benar tak bisa masak. Terakhir ia hanya pernah memasak mie saat kuliah. Semenjak bekerja, ia tak pernah lagi menyentuh dapur kecuali disuruh Ibunya untuk mengelap meja makan atau sesekali mengiris bawang, cabai dan sayur. Sisanya Ibunya yang meracik. Ia memang paling payah untuk urusan dapur. Tapi bukan hanya ia saja, Rain juga sama. Tidak ada yang mewarisi keahlian memasak ibunya yang serba bisa. Ia berjalan pelan agar heels-nya tidak terlalu berisik ketika menekan jalan raya. Kepalanya terus teralihkan ke arah rumah berwarna putih dan hitam sebagai aksennya. Memang tampak cool seperti pemiliknya. Tapi Pandu jauh lebih ramah dibandingkan dengannya. Ia berhenti tepat di depan rumah itu. Matanya menyipit, berupaya melihat ke dalamnya namun karena sangat tertutup, ia tak tahu apakah mobil Pandu ada di dalam garasi atau tidak. Ia hanya bisa melihat ke arah lantai dua dan lantai tiga rumah itu. Itu juga hanya balkon dan bagian depan saja. Memang rumahnya tampak sepi. Lelaki itu belum pulang. Hohoho. Lantas untuk apa ia ke sini? Mendadak merasa bodoh sendiri. Namun ia tak kehabisan akal. Masih ada cara lain untuk mengecek pasangan yang kita curigai melakukan perselingkuhan. Apakah itu? Tentu saja meneleponnya tepat di depan rumahnya. Ia hanya perlu mengeluarkan ponsel lalu ia menghubungi Pandu. Kali ini diangkat. Tanpa sadar, ia menghembuskan nafas. Rssnaya agak aneh. Tidak sebahagia biasanya. "Ada apa? Kamu tampaknya sangat membutuhkanku?" Itu sapaan manis. Biasanya Fasha akan tertawa namun kali ini ia begitu serius. Ia berdeham. Tak bisa meladeni candaannya. Pandu memang begitu. Meski terlihat dewasa, kadang ia memperlihatkan sisi kanak-kanaknya di harapan Fasha. "Kamu di mana?" Kening Pandu mengernyit. Ia bisa membaca makna dari anda suara yang tak seperti biasanya itu. Ada kegelisahan yang tersimpan. Ia tahu itu. Namun tak tahu apa masalahnya. Terjadi sesuatu kah? Ia bertanya-tanya tanpa tahu kalau ia mungkin menjadi penyebabnya. "Kenapa hei?" Fasha menghela nafas. "Jawab aja." Ia sedang tak bisa berbasa-basi sekarang. Kekesalan hati yang terpendam diiringi oleh rasa cemburu yang juga berkecamuk dan bayang-bayang kejadian tadi yang terus terulang. Ini terus mengusiknya. Entah sampai kapan. Ia juga tak tahu. "Ak--" belum sempat ia menjawab, matanya sudah berhenti pada sosok Fasha yang berdiri di depan rumahnya sambil meneleponnya. Gadis itu srdnag menatap rumahnya. Sedangkan ia baru saja menginjak rem. Agak kaget dengan kehadiran Fasha di depan sana. Apalagi kini wanita itu sudah menoleh ke arahnya. Ah bukan ke arahnya melainkan perempuan yang duduk di sampingnya. Fasha menyadari kedatangan sebuah mobil. Namun ia juga kaget kalau ternyata Pandu tak sendiri. Masih bersama perempuan yang sama, yang sempat ia lihat tadi. Fasha tenang sementara Pandu membuka jendela dan berkata, "tunggu bentar, aku parkir mobil dulu!" Perempuan di sebelahnya mengernyit heran. Saat ia menoleh ke depan dan mendapati Fasha yang menatapnya dengan kosong, baru lah ia paham. "Jadi itu?" tuturnya lantas terkekeh. Ia geleng-geleng kepala. Kaget juga dengan selera Pandu yang menurutnya tipe perempuan ini jauh berbeda dengan tipe perempuan yang disukai Pandu. Maksudnya, gadis itu tampak modis dan cantik sekali. Yaaa kalau dilihat penampilan rapinya, ia nenebak-nebak mungkin perempuan yang berkarir di kantor? Namun dilihat sepintas dari ponselnya dan juga gaya pakaiannya, ia bisa menilai kalau Fasha bukan perempuan sembarangan. Benar kah? Hohoho. Ini hanya tebakannya. "Gue pikir lo masih suka sa--" "Bawa anak lo masuk," tutur Pandu lantas segera keluar menghampiri Fasha yang melipat kedua lengannya di depan d**a. Namun Fasha tak menatapnya sama sekali. Ia malah melihat perempuan yang menggendong anak perempuan yang tertidur pulas. Usianya sekitar tiga tahun. "Dia sepupu aku," tutur Pandu. Ia tahu kalau Fasha agak curiga. Apalagi Fasha tak lepas memandang perempuan itu. Selama ini, Fasha tak pernah melihat perempuan itu. Lalu tiba-tiba ada kata sepupu yang keluar dari mulut Pandu? Jelas ia bingung lah. Karena Pandu tak pernah bercerita apapun persoalan keluarganya. "Kita bicara di tempat lain. Di mana mobilmu?" Lelaki itu langsung mengajaknya pergi. Fasha tak bergerak. Gadis itu masih menatap perempuan yang baru saja masuk ke dalam rumah. Perempuan yang bahkan tak dibiarkan Pandu untuk menyapanya lebih dulu kalau memang benar sepupu. Harus kah ia percaya atau tidak? @@@ Fasha agak sedikit membanting pintu mobilnya sendiri ketika masuk ke dalamnya. Ia lupa kalau yang ia naiki adalah mobilnya sendiri. Hahaha. Ia memakai sabuk pengaman dengan agak sembrono lalu menyandarkan punggungnya dengan tenang. Pandu menghela nafas panjang. Ia tahu kalau seharusnya ia mengatakan ini sejak awal. Namun ia bahkan tak berpikir apapun untuk ini. Kenapa? Entah lah. Ia merasa kalau ini bukan sesuatu yang penting untuk Fasha tahu apalagi perlu untuk dibahas. Topik keluarga adalah topik yang paling sensitif untuknya. Ia paling tak bisa jika harus mengungkit hal ini. "Dia sepupuku. Selama ini tinggal di Singapura bersama suaminya tapi kini sudah bercerai." Pandu menghela nafas. Ia jujur ketika mengatakan ini. Meski sebetulnya, dipaksa keadaan sehingga harus mengatakan ini. "Orangtuanya sudah lama meninggal. Dia hanya punya aku sebagai keluarga." "Lalu?" Nada suara itu terdengar dingin. Pandu tahu kalau Fasha marah. Apalagi kini Fasha menoleh ke arahnya. Fasha tak akan mengalihkan tatapannya ketika marah. Pandu hapal itu. Pandu menghela nafas lalu memberhentikan mobil di pinggir jalan. Kalau ia meneruskan perjalanan ini, ia takut malah terjadi sesuatu dengan mereka berdua. Ini adalah jalan raya. Fasha akan menjadi tanggung jawabnya namun ketika gadis itu terluka, yang ia hadapi bukan hanya ayah Fasha tapi keluarga besarnya juga. Ia tak mau mengambil resiko itu. Sekarang beban hidupnya saja sudah terasa berat. "Apalagi yang gak aku tahu tentang kamu?" Ia agak kaget saat mendengar kata-kata itu dari Fasha. Ia akui kalau selama ini, ia tak pernah terbuka. Ia punya alasan tersendiri. Ia juga tak tahu akan sampai kapan menyimpannya. Ketika pikiran untuk menikahi Fasha sempat terlintas, ia tahu kalau ia harus mengatakan semuanya. Namun terlalu banyak pertimbangan sehingga satu keputusan pun belum diambil. Ditambah lagi dengan apa yang ia hadapi sekarang juga tak mudah. Semua ini terasa sangat berat. "Sha, aku bukannya gak mau cerita. Tapi ini urusan keluargaku." Fasha tertawa. Dengan tatapan sinis, ia kembali menatap Pandu. Apa tadi katanya? Urusan keluarga? Oke, Fasha memang masih belum menjadi keluarganya. Tapi mendengar kata-kata itu, tetap saja membuat Fasha sakit hati bukan? Tidak ada kah pilihan kata lain yang lebih bagus untuk sedikit menghormati hatinya sebagai pasangannya? "Lalu aku apa bagimu?" @@@ Pandu pamit pulang sementara Fasha masuk ke kamar dengan muka kusut. Fadli yang baru keluar dari kamar mengirimkan tatapan bertanya pada Caca tapi istrinya itu hanya mengendikan bahu. Ia tak tahu apa-apa. Yang jelas, Fasha tiba di rumah dengan mobilnya tapi ternyata ada Pandu juga lalu lelaki itu pamit pulang. Sementara Rain baru masuk ke rumah. Ia agak terheran-heran melihat Pandu yang naik ojek online dari depan rumahnya tadi. Baru mau teriak memanggil, eeeh Pandu sudah keburu pergi. "Tadi Rain liat Bang Pandu deh, Buk!" tuturnya begitu masuk ke rumah. Rain menatap Ibunya, Ibunya menatap Ayahnya. Ayahnya hanya menghela nafas. "Berantem kali," tuturnya. Pasalnya, Fasha langsung masuk kamar. Biasanya akan menyalami kalau pulang dari kantor. Lah tadi? Noleh pun enggak. Sementara Rain geleng-geleng kepala sok prihatin. Aaah mending juga ia ke kamar. Lalu mandi dan segera mencuci mobil barunya yang baru dibelikan Fasha dua minggu lalu. Uhuy! "Kamu kekasihku!" "Kekasih? Yakin? Itu yang kamu anggap? Tapi apa yang aku tahu tentang kamu? Aku bahkan gak tahu apa-apa tentang keluargamu!" Fasha menghela nafas. Ia membalikkan tubuhnya sehingga berbaring dan menatap langit-langit kamar. Kalau perempuan lain mungkin sudah meledak atau bahkan meminta putus. Tapi ia tidak. Hohoho. Ini bukan soal kebodohan tapi keputusan. Paham? Ia akan perjuangkan hubungan ini. Lalu? Ia memejamkan matanya sesaat. Teringat wajah Pandu yang terdiam usai kata-kata terakhirnya. "Kalau kamu menganggapku seharusnya kamu gak ngomong kayak tadi!" @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD