"Dia ingin menandingiku?" ujarnya dengan emosi tertahan, menatap tajam dua perempuan didepannya.
"Kalian bukannya bertahan disana malah memilih pergi, bukankah itu sama saja dengan kalian memberikan kesempatan padanya?" lanjutnya, membuat dua perempuan didepannya semakin menunduk.
"Sejak kapan perempuan keluarga kita menjauhi hal utama seperti semalam? Sebagian rekanku terus saja memuji betapa serasinya mereka berdua, dan betapa pintarnya perempuan cacat itu dalam mengambil hati para nyonya sosialita."
"Aku sudah mengingatkan sebelum kita berangkat, jangan pernah menjauhi kerumunan apalagi kumpulan istri para pebisnis. Kalian memilih duduk dan mengamatinya saja?"
Detan duduk dengan sedikit emosinya membuat kursi berdecit, sejak kapan perempuan cacat itu ada disana?
Sejak TV menyala hingga sekarang, yang media bicarakan hanyalah tentang perempuan buta itu.
Begitu cantik dan anggun hingga dialah menjadi Ratu tiada duanya.
Begitu serasinya dengan penerus utama Andatio, hingga mereka dikatakan akan menikah dalam waktu dekat.
"Aku sangat penasaran, bagaimana respon media jika mereka tau jika perempuan yang mereka puji sejak berjam-jam lalu adalah perempuan buta?"
Suaranya terus saja menggema di ruang tengah mengisi kekosongan, Ameera dan Herlina yang berada didepannya hanya bisa mendengar tanpa membantah sama sekali, karena mereka berdua tau jika mereka memang salah.
"Ameera, istriku yang Malang."
Ameera berusaha sekuat mungkin untuk tidak gemetar walaupun itu hanya beberapa persen saja, ia tidak masalah suaminya ingin mengatainya apa, hanya saja haruskah Herlina mendengar semuanya? Mendengar ibunya dihina oleh ayahnya sendiri?
"Dulu, setelah dokter mengatakan tidak ada jalan lain selain donor mata. Aku mengatakan untuk membunuhnya saja dan membuat drama jikalau dia tidak bertahan. Tapi kamu memohon padaku, akan mengurus semuanya. Ini yang kamu katakan akan mengurusnya hmm?"
Perempuan 3 anak itu memejamkan matanya erat, ya itu adalah kesalahannya. Andaikan ia membiarkan suaminya membunuhnya saat itu juga maka mungkin semuanya akan berjalan baik-baik saja.
Arfan akan masih tinggal disini, menikah dengan anak sahabatnya.
Herlina tidak akan berkorban banyak, hidup dengan pujian tanpa harus menerima bentakan setiap ingin ke suatu pesta.
Sayangnya saat itu, ia tidak rela.
Saat itu nalurinya sebagai seorang ibu masih besar. Ibu mana yang rela membiarkan anaknya dibunuh padahal ia baru saja susah payah melahirkannya? Pemikirannya masih sempit kala itu.
"Putriku yang cantik, kamu tau kenapa kamu harus menikah dengan Keylan? Itu karena kakakmu yang bodoh itu lebih memilih si buta daripada menyelematkanmu dari posisi ini."
Herlina mengepalkan tangannya erat, tentu ia ingat. Semua karena kakaknya yang lebih memilih pergi dari rumah, melamar kerja di sebuah klinik kecil demi mengawasi si buta itu.
"Jika saja Arfan ingin menerima anak sahabat mama kamu, jika saja Arfan setuju dengan segala pernikahan itu. Kamu mungkin masih bebas kemanapun kamu mau, kamu tidak harus dituntut banyak hal demi membanggakan keluarga kita."
"Mas, jangan menambah ke-"
"Diam! Aku tidak memintamu untuk membuka suara."
Ia terdiam kembali, ia hanya tidak ingin rasa kebencian dalam diri putrinya semakin besar padahal jalan ceritanya tidaklah seperti itu. Seberapa menyesal pun Ameera, ia tetap tidak ingin anaknya saling benci.
Detan berdiri dari duduknya menatap dua perempuan didepannya dengan pandangan merendahkan.
"Aku ingin di pesta selanjutnya, kalian tidak menghindar seperti semalam."
"Baik Pa."
"Baik Mas."
Dengan angkuh, Detan berjalan meninggalkan ruang tengah. Hari ini akan bertemu dengan pemilik pesta semalam yaitu Lexion Andatio, ingin menjelaskan dan menyelamatkan resputasi lakilaki Malang itu.
***
Sudah semenit berlalu tetapi Kena masih menatapku dengan pandangan menyelidik.
"Kenapa?" kataku setelah jengah melihat sikapnya.
"Kamu benar-benar mempunyai hubungan dengannya? Bukankah selama ini hanya aku dan Arfan yang dekat denganmu, jadi selama ini kamu diam-diam mempunyai hubungan dengan Andatio itu?"
"Pertama, dia datang dan tiba-tiba saja menyiapkan semua perlengkapanku menuju pesta. Kedua, yang semalam bersamaku adalah Lexion Andatio bukan Andatio. Mereka adalah dua orang yang berbeda."
Istri dari kakakku itu mengibaskan tangannya, tak ingin tau.
"Jadi kamu mempunyai hubungan dengan nya? Sesuai dengan yang media katakan?"
"Tentu tidak, aku mana mungkin ingin memulai hubungan dengan orang asing. Semalam aku hanya tidak tau ternyata akan berakhir seperti itu, jika nantinya bertemu dengannya akan aku tanyakan sedetailnya."
Matanya masih mendelik menatapku, aku merasa disini dia adalah mamanya sedang aku adalah anaknya, dan aku sedang kepergok pacaran tanpa sepengetahuannya, hmm tidak. Aku tidak setuju dengan pemikiran semacam itu.
"Sudahlah, kenapa aku harus menjelaskan secara detail padamu? Akan lebih baik bagiku kembali masuk ke kamar dan mengerjakan kerjaanku daripada mendengar omelanmu yang sangat tidak bermanfaat untukku." wajahnya merenggut tidak suka mendengar perkataanku, spertinya.
"Akan lebih baik bagimu ke dapur lalu menyiapkan makanan untuk suamimu tercinta. Bukankah tadi dia berpesan untuk dibawakan makanan?"
"Oh iya, lupa."
Aku bernapas lega setelah kepergiannya.
Dengan malas, ku tatap kembali berita yang ada di TV.
"Tanpa kita duga, pewaris utama Andatio sudah memiliki gandengan malahan dikabarkan akan segera naik ke pelaminan. Dan ini semakin dibuktikan dengan adanya postingan i********: Deina, sepupu Lexion yang terlihat sedang berpose bersama pacar Lexion dengan caption, selamat."
"Dan ju-"
Kumatikan TV dengan cepat, berita palsu.
Pagi tadi, dengan jam masih menunjukkan pukul 5. Kena sudah menelponku berulang kali dan memintaku datang kemari, karena sudah beberapa hari tak bertemu dengannya maka kuputuskan kemari tetapi ternyata malahan berakhir seperti orang disidang, layaknya anak kecil.
Sebagian orang selalu saja haus akan berita kehidupan orang lain, padahal mereka bisa saja fokus pada dirinya sendiri. Begitu penasaran bagaimana kesehariannya, bukankah lebih baik kita memperhatikan diri sendiri?
Ponselku sengaja kumatikan saat perjalanan kemari dan belum ku aktifkan hungga sekarang. Aku tidak suka diganggu, dan beberapa media malahan sedang mengusik kehidupan pribadiku.
Kuambil tab yang memang kubawa dari apartemen, memeriksa kembali sketsa yang telah kuselesaikan sejak kemarin. Besok, aku akan ke Jakarta bertemu dengan klien untuk membahas tentang project yang telah ku tanda tangani sejak sebulan lalu.
Terbilang lama memang, tapi untungnya mereka mengatakan tidak perlu terburu-buru.
"Kak aku takut."
"Kenapa takut? Kamu akan dibawa ke tempat yang lebih baru, disana pasti nyaman sekali dan mereka menyayangimu."
"Bagaimana jika mereka membawaku ke tempat gelap?"
"Memangnya kenapa? Kegelapan tidak selalu identik dengan kata mengerikan, malahan terkadang dengan adanya gelap kita bisa menemukan bagaimana indahnya kehidupan."
"Seperti kak Herlena?"
"Ya sepertiku. Kamu lihat aku? Sepanjang hidupku, aku tidak pernah melihat bagaimana dunia. Bagaimana wajahmu, bagaimana bentuk sekitar atau bahkan bagaimana siang dan malam. Tapi apa kamu pernah mendengarku mengeluh? Tidak sama sekali. Aku malahan bersyukur."
"Kenapa kak Herlena bersyukur? Bukankah mengerikan jika buta?"
"Hahahha aku senang. Aku tidak perlu serakah,"
"Heee perempuan buta. Gue minta lo untuk siapin dia bukan kasi wejangan."
"Iya kak iya, ini aku lagi siapin. Ayo pake bajunya, kamu harus bisa. Semangat?"
"Semangat kak Herlena."
"Hahaha, anak baik."
Kupegang kedua sisi kepalaku, sayangnya yang ada hanyalah suara-suara mereka. Padahal aku sangat ingin melihat wajahnya, tapi bukankah dulunya aku buta?
"Pakai tingkat ini untuk kamu gunakan saat berjalan."
"Tongkat? Kakiku masih berfungsi dengan baik, kenapa aku harus memakai tongkat? Kak Langit ada-ada saja."
"Ini bisa kamu gunakan untuk menghapal jalanan."
"Kak Langit yang bawelnya bisa mengalahkan ibu-ibu. Yang tidak berfungsi itu mataku sedang yang lainnya masih berfungsi dengan baik, jangan memandangku lemah karena aku adalah perempuan paling kuat disini."
"Hahaha, lucunya adikku satu ini."
Siapa Langit ini? Dimana sekarang dia berada? Kenapa setiap waktu terus saja datang tanpa diminta?
Kepalaku serasa sudah dipukul saat ini, pandanganku tidak jelas sama sekali.
"Qei! Bantuin aku ambil tupperware." teriakan Kena didalam sana tidak terdengar dengan jelas.
"Too... Long, dimana semua orang?"
Suara lirih itu memenuhi pikiranku, ada apa? Apa yang terjadi denganku di masa lalu?
"Berhenti... Aku tidak melakukan sesuatu."
Dan tiba-tiba saja semuanya gelap.
***
"Tadi pas aku tinggal dia engga papa sayang, tapi pas aku cek kembali malah pingsan."
"Apa dia mengatakan sesuatu sebelumnya? Siapa tau ada yang memancing ingatannya?"
Sayup-sayup suara Kena dan Arfan terdengar, kubuka pejaman mataku yang langsung dihadiahi wajah khawatir kakakku.
"Apa terjadi sesuatu? Apa ingatanmu semakin tidak terkendali? Kita kerumah sakit saja untuk pemeriksaan lebih lanjut."
"Sayang, dia baik-baik saja."
Tidak ada yang kukatakan, hanya menatapnya dengan wajah bimbang. Ingatan macam itu? Kenapa aku harus meminta tolong dengan suara begitu lirih?
"Qei? Baik?"
"Kenapa aku harus meminta tolong?" tanyaku layaknya bisikan,
Arfan terlihat membulatkan matanya, menarik istrinya keluar kamar dan meninggalkanku sendirian di dalam kamar.
Ku tatap langit-langit kamar dengan wajah linglung, kenapa rasanya begitu menyakitkan mendengar suaraku seperti tadi? Kenapa hatiku terasa sakit mengingat kembali suara itu? Apakah aku memang pernah dilukai?
"Keadaanmu engga papa?" mataku kembali menatap Arfan yang baru saja masuk, tanpa Kena disampingnya.
"Apa dulunya aku pernah disiksa?" terlihat Arfan mematung.
"Apa dulunya mereka melakukan hal mengerikan padaku? Kenapa di ingatanku, suaraku begitu menyedihkan terdengar? Kenapa hatiku sakit?"
Arfan mendekat mengenggam tanganku erat, tidak kunjung mengatakan apapun. Tidak mengelak tidak membenarkan juga, masa lalu apa yang Arfan tidak ingin aku ingat?
"Keinginanku untuk bertemu Langit semakin besar. Aku ingin tau apa yang terjadi denganku kenapa bisa ditemukan di dekat dermaga? Kenapa aku bisa lupa ingatan sedangkan yang terjadi hanyalah penangkapan secara besar-besaran? Bagaimana caranya aku bisa koma? Bagaimana mungkin polisi menyakitiku sedangkan aku hanya korban bukan?"
Genggaman tangan Arfan semakin terasa erat. Tanpa sadar air mataku semakin turun tanpa kuizinkan sama sekali.
"Tolong, apa ada orang disana?" ulangku dengan suara serak.
"Qeila, berhenti memaksa dirimu untuk kembali kesana. Berhenti menggali ingatan yang nantinya malah membuatmu lupa dengan dirimu yang sekarang. Bukankah yang terpenting adalah kamu disini, bersamaku?"
"Berhenti, aku tidak melakukan apapun." ujarku pelan, air mataku semakin datang.
Apa yang terjadi?
Kenapa aku menangisinya?
Arfan melepaskan genggaman tanganku dan keluar lagi dari kemari, meninggalkanku sendirian lagi.
Dengan mata kubiarkan terpejam, aku bangun dan berjalan mengelilingi ranjangku sendiri, memperagakan seolah aku sedang buta.
"Apakah rumah pohonnya Indah?"
"Indah sekali kak Herlena, kakak kapan membuatnya? Sayangnya kami tidak bisa tinggal bersama kak Herlena disana karena kami malam ini harus pergi. Kak Herlena jaga diri ya, anggap saja kami selalu ada didekat kakak."
Ku gelengkan kepalaku beberapa kali, kubuka pejaman mataku dan menatap sekitar, itu hanya beberapa detik karena setelahnya aku kembali memejamkan mataku mencoba mengingat sesuatu.
"Sebenarnya pekerjaan kak Langit apa? Kenapa selalu keluar setiap hari minggu dan selalu kembali membawakan banyak makanan untukku. Apakah pencuri? Atau uang yang kakak pake untuk membelikanku makanan adalah hasil penjualan anak-anak?"
"Bukan dong, ini uang hasil jerih payahku. Kenapa tiba-tiba bertanya."
"Kamu mulai penasaran denganku?"
"Hmm tidak, tapi kata anak-anak kakak itu tinggi, ganteng dan suka pake gelang di kaki."
Kubuka pejaman mataku cepat, gelang kaki? Dengan mata mengabur aku sudah menemukan satu poin untuk mencari keberadaan Langit. Dia suka memakai gelang kaki, aku tau tidak mudah tetapi setidaknya itu lebih dari cukup.
Dengan senyum mengembang, aku berjalan ke ranjang.
"KAMU TAU APA KESALAHANMU? KAMU TAU! KAMU ITU BABU! BABU!"
Ku hentikan langkahku dan kepalaku terasa sakit sekali, karena merasa ranjang masih jauh kujatuhkan badanku di lantai, duduk di lantai dengan kedua tangan memegang sisi kepalaku, serta mataku kupejamkan.
"Maafkan aku, maafkan aku. Aku babu, ya aku babu kalian. Tolong maafkan aku."
"TIDAK! MAAF TIDAK AKAN MENGEMBALIKAN SEMUANYA. LO HARUS MERASAKAN AKIBATNYA."
"Tidak! Kumohon maafkan aku, kumohon maafkan aku."
PRAANGG.
"ARFAN!"
Mataku terbuka dengan cepat dan jantungku berpacu dengan napasku. Suara gelas pecah, teriakan Kena.
"LO HARUSNYA SADAR DIRI, ANDAIKAN BUKAN LANGIT, LO UDAH JADI b***k DI NEGERA ASING."
"Tidak... Tidak,"
Aku kembali menangis kali ini kubiarkan tangisanku menggema di dalam kamar, tidak memperdulikan Kena bediri diambang pintu dengan wajah ketakutan.
"JANGAN SOK LUGU LO CEWE BUTA, LO PIKIR LO ITU CANTIK HAH! CIUUH!"
Tangisanku semakin keras saat ingatan-ingatan itu malah memenuhi pikiranku, bukan lagi kenangan-kenangan manis bersama Langit. Bentakan-bentakan itu membuat badanku gemetar.
"Kamu balik ke kamar, nanti biar aku yang beresin. Qeila biar aku yang urus juga,"
"Tapi dia akan baik-baik aja kan?"
"Pasti. Pasti."
Suara meraka terasa seperti bisikan untukku, yang ada di otakku hanyalah suara tangisan anak kecil, suara minta tolong mereka dan panggilan mereka padaku.
Kenapa dadaku terasa sakit sekali?
"Hei, aku disini. Semuanya akan baik-baik saja, tenang Qeila, tenang." kurasakan sepasang tangan memelukku erat, ya dia pasti kakakku.
"Itu hanya masa lalu, sekarang kamu aman. Ada aku disini, aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu." suara Arfan kini terdengar jelas, teriakan-teriakan itu menghilang tanpa jejak sama sekali.
Kudongakkan kepalaku menatapnya, dia melepaskan pelukannya dan menghapus airmataku.
"Kakak kamu ini akan menjagamu dengan baik, ada Kena yang akan berdiri disamping mu apa pun yang terjadi. Ada calon keponakanmu yang menunggu kita. Semuanya akan baik-baik saja, okey?"
Entah sadar atau tidak, atau aku yang terhipnotis. Ku anggukan kepalaku hingga membuatnya tersenyum. Membantuku berdiri dan berbaring di ranjang.
"Ada aku dan Kena yang selalu berdiri disampingmu. Kamu akan ke Jakarta besok bukan? Aku akan meminta Benfa untuk ikut denganmu. Jadi tidak perlu takut kalau misalkan ingatan mengerikan itu datang lagi, paham?"
Kuanggukkan kepalaku lagi.
"Tidurlah." bisiknya tanpa memudarkan senyumnya sama sekali, senyum yang membuatku tenang dan merasa damai.
Kupejaman mataku dan lama-kelamaan alam mimpi berhasil ku temui.