15 - Pesta

2074 Words
"Kita sudah sampai, Tuan Muda." Mendengar pemberitahuan itu membuatku sedikit gugup, menatap keluar. Ada banyak media disana dan beberapa kamera mengarah kepada kami, tidak sabar menunggu kami keluar. Tarik napas. Buang. Tarik napas, buang. Begitu terus menerus hingga kegugupan itu sedikit berkurang. Badanku tersentak saat secara tiba-tiba Lexi menggenggam tanganku erat. "Rileks." ujarnya dengan mata memandang keluar juga. Pintu terbuka dan flash kamera semakin sering mengarah pada kami. Jantungku berdetak sangat cepat, tanganku mendingin tetapi bisikan dari Lexi secara terus menerus membuatku sedikit tenang. Kami saling berdampingan dan jalan masuk kedalam diiringi beberapa pertanyaan dari wartawan yang datang. "Selamat malam Pak Lexion, apakah perempuan ini adalah pacar anda?" "Coba jelaskan sedikit pada kami, diakah tunangan anda?" "Pak Lexi, apakah kalian akan naik ke jenjang pernikahan?" Dan masih banyak pertanyaan yang diabaikan oleh pria di sampingku, dia hanya membisik memintaku untuk tersenyum dan berjalan anggun disampingnya, ternyata menjadi pusat perhatian itu tidak enak sama sekali, malah risih. Ada seseorang yang menunggu kami, membimbing kami menuju ke suatu tempat seolah memang ditempatkan untuk sekedar tanya jawab. "Ambil pose sebaik mungkin, kita akan di potret." bisiknya pelan padaku, ku ikuti inginnya dan beberapa jepretan langsung terdengar. Butuh beberapa menit hingga jepretan itu terhenti, keadaan menjadi hening membuatku bertanya-tanya. "Selamat malam semuanya, saya dengan hati bisa hadir dalam pesta ini. Semoga kalian menyenangkan dan untuk perempuan yang berada disamping saya, yang sangat cantik ini. Silahkan bersuara," Perkataannya yang terakhir ia katakan dengan suara pelan,semua mata kini memandang kepadaku. Baiklah, ini saatnya aku menyapa dunia. "Selamat malam semuanya, saya Qeila Purnamasari dan salam kenal." kututup perkataanku dengan senyuman paling ramah, dan kami meninggalkan tempat itu berjalan masuk meninggalkan pesta. Beberapa pertanyaan masih mengarah pada kami untungnya ada sekumpulan penjaga yang siap menjadi pagar pembatas untuk kumpulan wartawan yang begitu haus berita itu. "Apa begitu menegangkan?" ku delikkan mataku padanya, saat ini jarak ke pintu utama itu cukup jauh juga. Sebuah penyendiran yang Bagus. "Kenapa aku merasa Langit selalu disekitarku ya?" gumamku dengan sangat pelan. "Bilang apa?" tanyanya, mungkin sedikit mendengar apa yang aku katakan tadi. "Aku merasa, ada Langit disekitarku." ulangku dengan suara lebih jelas. Tidak ada jawaban tanggapan darinya hanya suara sepatuku yang menggema. "Biasanya, laki-laki akan memuji perempuan cantik sebelum memasuki pesta, apakah saya tidak begitu cantik sampai pujian tidak tertuju padaku?" langkah kami terhenti, dia baru saja ingin berbicara tetapi ada langkah kaki dari belakang pertanda bukan hanya kami di lorong ini sekarang. Tidak ada perbincangan lagi diantara kami, fokus berjalan. "Seanggun mungkin, pintu akan terbuka." bisiknya entah kesekian kalinya. Pintu terbuka dan suara alunan piano langsung terdengar merdu, beberapa pasang mata langsung mengarah pada kami. Lexi membimbingku kearah kanan dan menyapa beberapa rekan bisnisnya. Haruskah aku terus berada disampingnya sepanjang pesta ini? "Bawa gandengan, Pak?" "Haha, biar engga kesepian." Andaikan ini bukan dipesta pastinya aku sudah melepaskan genggaman tangannya, kupilih berbaur dengan kaum perempuan sosialita demi menandingi Ameera. Menyapa orang satu persatu membuatku lelah juga, sejak tadi aku menyadari banyak perempuan yang tatapannya terus mengarah pada kami. Dan aku semakin menampilkan senyum anggunku, sandiwara ini masih sangat panjang. "Mau istirahat? Kita bisa ke meja yang telah disediakan." "Kenapa bukan sejak tadi anda menawarkan itu?" kesalku padanya, ia tertawa pelan. Berjalan lebih dulu dan aku menyusul dibelakangnya. Lexi memundurkan kursi untukku dan aku dengan senyuman sandiwaraku segera duduk disana, meminum minuman yang telah tersedia disana. Menikmatinya ditemani dengan alunan piano yang sangat indah. "Apa dia benar?" "Apa yang benar?" "Anak yang membawakan kangkung padaku tadi, katanya piano itu alunannya sangat Indah membuat jiwa kita begitu tenang. Aku jadi penasaran bagaimana alunan piano," "Kamu ingin mendengarnya?" "Entah, aku tidak ingin mempunyai banyak mimpi takutnya malah menyakitiku suatu hari nanti. Bisa mengenali ini kangkung saja aku sudah sangat bersyukur." Kepalaku pening, ingatanku perlahan datang kembali. "Bagaimana jika aku bisa mewujudkan nya suatu hari nanti?" "Apa kak Langit serius?" "Kenapa tidak?" Aku menggeleng beberapa kali dan penglihatanku kembali dengan jelas. Ku edarkan pandanganku, seolah sedang mencari seseorang. "Mencari siapa?" aku kembali menatap kedepan, ternyata Lexi masih disini. "Aku merasa ini semua Langit yang mewujudkannya, sayangnya aku tidak mengenal wajahnya sama sekali, hanya suaranya saja." "Lalu? Kamu menemukannya?" "Suaramu hampir mirip dengannya, tapi dokter Arfan mengatakan jangan asal menyimpulkan karena bisa saja hanya sekedar ingatan salah." jujurku, "sudahlah, jangan dibahas." lanjutku kembali. Menikmati hidangan yang diberikan. Dia tidak bersuara lagi dan kami sama-sama terdiam. "Bukankah kamu ingin bertemu Ameera?" aku mengikuti arah pandang Lexi, Ameera disana bersama teman-temannya serta anaknya disampingnya, Herlina. Tanpa mengatakan apapun, ku langkah kan kakiku kesana dan ada beberapa istri dari rekan kerja Lexi disana, jadinya ada diantara meraka yang mengenalku, menyambutku dengan senyuman terbuka. "Duh calonnya Pak Lexi, apa kabar?" sambutnya. "Hai, salam kenal dan kita bertemu kembali Nyonya Jespara dan Nona Muda Jespara." sapaku pada mereka berdua, keduanya membalasnya dengan senyuman saja. "Cantik banget, pantas dengan Pak Lexi yang tampan." aku suka suasana ini. "Awalnya tidak tau siapa. Tapi tadi suami saya menjelaskan, kalau anda itu Arsitek ternama. Sempurna banget," Aku tertawa pelan, seanggun mungkin. Dari ujung mataku kulihat wajah marah Ameera tapi hanya sepersekian detik saja. Mereka mulai bercerita dan aku yang ditatap terus menerus dan aku berhasil,membuat sekelompok orang ini kini mengarah padaku malahan menginginkan sepertiku. Kata siapa aku tidak sempurna? Aku sempurna dengan pesonaku sendiri. Walaupun masa laluku masih semu dan sangat tidak jelas tetapi setidaknya bisa membalas keluargaku sendiri. Membuat mereka mangaku kalah. "Lain kali, kalau aku pengen buka butik atau bahas soal tata letak aku bakal langsung hubungin Qeila, bisa kan ya?" "Bisa. Bakal ku sambut dengan baik, nanti bisa hubungi lewat Pak Lexi aja soalnya saya tidak membawa kartu nama, kirain disini hanya untuk senang-senang saja, seperti pesta pada umumnya." "Memang untuk senang-senang kok, pembahasan kalian minggu lalu yang bareng suami saya. Hasilnya Bagus banget, awalnya saya sedikit cemburu karena suami terus bahas kamu, ehh ternyata sudah punya pacar toh, Lexion lagi." Kami semua tertawa lagi, duduk melingkar dalam satu meja membahas banyak hal. Sayangnya tidak ada lagi Ameera lagi disini, Herlina pun begitu. Entah pergi kemana. Beberapa menit kemudian, Aku pamit kembali ke meja Lexi berada. "Apakah kamu bahagia?" tanyanya setelah aku duduk ditempat semula. "Kurasa, sayangnya aku masih penasaran mengapa Pesta ini selalu saja berkaitan dengan ingatanku. Apakah benar ada Langit disini?" "Kurasa kamu begitu mencintai Langit." Aku terdiam selama beberapa detik dan bersuara. "Mungkin aku mencintainya." ujarku setelahnya, menyuapkan sesendok kue ditanganku. Merasa tidak ada jawaban, aku mendongak menatap Lexi dengan pandangan ingin tau. Ada dengannya? Kenapa menatapku terus menerus? "Kurasa Pak Lexi benar-benar mencintai anda, Nyonya." suara yang datang tiba-tiba membuatku tersentak, mendongak menatap orang yang baru saja datang ke meja kami. Duduk dikursi kosong dan menatap kami secara bergantian. "Maksud anda?" tanyaku heran, darimana dia menyimpulkan jika Lexi benar-benar mencintaiku? "Andatio, salam kenal." Ku arahkan pandanganku kearah Lexi menunggu jawaban. "Dia papaku, bukankah namaku adalah Lexion Andatio?" Oh begitu ya? Aku baru tau kalau dia masih mempunyai seorang ayah. "Adikku dan keponakanku melayanimu dengan baik bukan? Menerima kedatanganmu?" Keningku semakin berkerut bingung. "Aku ingin calon menantuku tampil dipesta ini dengan baik, banjir pujian dan dijadikan panutan. Bukankah kamu juga menginginkan hal seperti itu?" Fakta macam apa ini? "Kalian masih kurang komunikasi ya? Baiklah. Tau kantor Andatio kan? Kalau butuh sesuatu ataupun dukungan maka temui aku disana. Sebagai calon mertuamu aku akan mendukung apapun untuk kebahagiaanmu." Laki-laki paruh baya bernama Andatio itu mengelus sayang rambutku dan berlalu, mataku terus menatapnya hingga ia menghilang berbaur dengan yang lainnya. "Itu papaku, dia mengira kita pacaran. Karena sejak pagi tadi aku meminta tante dan sepupuku untuk membantumu bersiap. Tempat tadi akan menerimamu dengan baik, sesekali datanglah kesana." Kupijat pelipisku pelan. "Ada apa? Kepalamu sakit lagi?" Hanya kubalas dengan gelengan, kemudian kutatap Lexi dengan tajam. "Segera klarifikasi hubungan kita didepan media." bukannya mengiyakan apa yang kukatakan dia malah tertawa pelan, tidak ada niat membalas ucapanku sama sekali. Laki-laki gila dan menyebalkan. *** Ku hempaskan badanku di sandaran mobil, tidak peduli Lexi menatapku atau tidak. Lelah bersandiwara selama berjam-jam di pesta itu. Saat ini kami sedang dalam perjalanan pulang, bukannya menaiki mobilnya Lexi malah ikut bersamaku ke mobil yang katanya sudah menjadi milikku sejak kemarin. "Kak Herlena, bagaimana kalau nantinya dimasa depan, aku berhasil dan dimana aku harus bertemu dengan kakak?" Suara tawa anak kecil terdengar jelas, tetapi yang ada dalam ingatanku hanyalah kegelapan. "Mungkin kita bisa bertemu di rumah pohon yang telah kak Langit buatkan untukku. Disana lengkap, dan nanti aku akan mengajak kalian semua kesana." "Yeyyy, kak Herlena terbaik." "Hahahah." Ku gelengkan kepalaku beberapa kali, apa saja yang terjadi dimasa lalu? Bagaimana keseharianku sebagai perempuan buta? "Andatio. Tempat yang kamu pergi tadi adalah Andatio. Semacam kompleks tetapi didalamnya berisi bisnis-bisnis yang dijalankan kelaurga Andatio. Nama papaku dipilih karena dia adalah anak Pertama." Entah apa tujuannya Lexi mengatakan itu padaku. "Jika membutuhkan pakaian, sepatu, perhiasan ataupun perlengkapan lainnya maka datanglah kesana. Tante dan para sepupuku akan senang hati menyambutmu." Ku tegakkan badanku dan menatapnya tajam. "Berhenti bersikap baik padaku, kita hanyalah orang asing yang kebetulan bertemu disuatu tempat. Jangan bersikap seolah-olah kamu adalah laki-laki yang begitu mencintaiku,camkan itu." "Setelah ini, saya tidak tau apa yang akan Detan lakukan padaku karena merendahkan anak dan istrinya di pesta tadi. Tapi saya mohon, berhenti mainkan sandiwara gila ini dan katakan apa tujuanmu dibalik semua ini." "Berhenti." supir menghentikan mobil seusai perintah Lexi. "Aku akan turun disini dan pindah ke mobil yang satunya. Bawa dia dengan baik atau nyawamu akan terancam." lanjutnya lagi. "Baik Tuan Muda." Dia berlalu tanpa membalas perkataanku sama sekali, aku menoleh kebelakang terlihat dia melangkah dan masuk kedalam mobil yang mengikuti kami sejak tadi. Katakan aku tidak tau diri, tapi semuanya terasa aneh. Kami tidak mempunyai hubungan apa pun tetapi perlakuannya padaku menunjukkan kalau kami pernah snagat dekat. "Apa sebelumnya kami pernah bertemu?" tanyaku pada supir. "Itu bukan hak saya untuk menjawab nyonya." Sialan. Lexi kurang kerjaan. Pesta tadi benar-benar sesuai dengan ingatanku, apa benar Langit ada disana? *** Lexi PoV. "Langit." jantungku berdetak cepat saat mengingat kembali situasi tadi. Kenapa? "Aku sangat ingin bertemu dengannya, apakah kamu bisa membantuku?" Perkataannya kembali tergiang dalam kepalaku, bagaimana bisa aku membantunya bertemu Langit sedang aku sendiri adalah orang dicarinya? "Kenapa kamu ingin bertemu dengannya, apakah dia kekasihmu?" "Dalam samar-samar ingatanku, namanya selalu datang. Dalam ingatanku, aku memintanya menjadikanku Ratu dalam sebuah pesta. Saya tidak tau ini kebetulan atau tidak. Banyak hal yang ingin kutanyakan padanya, sangat banyak." Kumainkan peranku sebaik mungkin, aku tidak tau jika ternyata diam-diam Herlena terus mencari keberadaanku. "Dokter Arfan memintaku untuk tidak menggali masa laluku karena itu hanya akan membuatku hancur. Ingatanku pulih maka nyawaku sebagai taruhannya. Tapi aku hanya ingin bertemu Langit, laki-laki yang kurasa sangat dekat denganku." "Dokter Arfan, dia selalu merasa frustrasi setiap aku menanyakan Langit padanya. Aku hanya ingin tau satu hal." Yang kulakukan hanyalah berusaha bersikap tidak tertarik sama sekali, agar Herlena tidak curiga sama sekali. "Apa yang ingin kamu tau?" "Aku ingin tau apa yang telah ku khianati olehnya, mengapa aku melakukannya dan mengapa aku bisa berakhir mengerikan didekat dermaga?" ucapku dengan suara pelan. "Aku ingin tau sebesar apa pengkhianatan itu, apa alasanku melakukannya dan apa sebenarnya yang hadir diantara kami. Dalam ingatanku, kami begitu dekat." "Kenapa kamu malah ingin menanyakan apa alasanmu mengkhianatinya? Padahal seharusnya kamulah yang menjelaskan apa alasan pengkhianatan itu ada." "Walaupun ingatanku menghilang, feelingku mengatakan aku tidak pernah mengkhianati siapapun." "Itu urusanmu bukan urusanku." Bagaimana mungkin dia ingin menanyakan hal itu padanya? Sampai kapanpun rasa benciku padanya masih akan terus ada. Meskipun aku tidak bisa menampik perasaanku sendiri, tapi pengkhianatan yang Dia lakukan membuatku kehilangan banyak teman, membuatku mau tak mau harus kembali ke ibu kota untuk mengurus perusahaan. Lambat laun ingatannya akan segera kembali karena aku terus melakukan hal yang berhubungan dengan masa lalu. Pesta yang dipenuhi orang terpandang, memakaikannya pakaian berwarna silver serta pesta yang diiringi alunan Piano. Semua itu adalah impiannya yang ia beritahukan padaku. Papa. Dia tau jika berkat Herlenalah aku kembali dan kurasa papa juga sudah tau identitas aslinya. Malahan mungkin, papa tau banyak tentang kejadian 2 tahun lalu daripada aku. Papa selalu berusaha dekat dengannya, membuatnya terkenal dengan mempromosikan bakatnya kesana kemari, dan itu sudah papa lakukan jauh sebelum aku bertemu dengan Herlena. Malahan papa sudah mencap, hanya Herlena yang akan menjadi istriku nanti, itu katanya. Dan siapa pun yang berani menyakiti calon menantu keluarga Andatio maka dia siap menjadi musuh papaku, meski itu Detan sekalipun. Dan kurasa, papa sudah sebanyak itu menyayanginya. Aku masih berusaha mencari informasi apa saja yang telah papa lakukan sejauh ini tetapi sayangnya asistennya yang merangkap menjadi supir Herlena tidak ingin membuka suara sama sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD