"Apa selalu semengerikan itu? Aku tidak menyangka Qei akan merespon ingatannya dengan cara berlebihan. Dia sperti orang depresi, sayang. Apa perlu aku mengantarnya ke psikolog?" suara Kena langsung menggema setelah selangkah kaki Arfan masuk kamar.
"Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu dengannya, selama dua tahun ini saya selalu bersamanya. Sesak rasanya melihatnya seperti tadi."
Arfan duduk disamping istrinya, memandang Kena yang kini memasang wajah khawatir.
"Qei hanya membutuhkan dukungan kita, membutuhkan kita selalu disampingnya setiap kali ingatan itu datang. Kita tidak bisa menghindari ingatannya, Sayang. Andaikan aku bisa menemukan obat mencegah ingatannya kembali maka aku akan memberinya, berapapun harganya."
Kena diam, ia tau seberapa besar usaha suaminya untuk menyembuhkan adiknya itu. Dua tahun lalu, ketika menjadi perawat ia bisa menyaksikan sendiri betapa frustasinya Arfan dalam mengurus segala hal menyangkut kesembuhan, Qei.
Kejadian tadi adalah yang pertama kalinya Kena melihat Qei serapuh itu. Karena yang ia tau, Qei kuat malahan jarang sekali terlihat sakit atau melemah. Dengan perasaan sedikit tenang, Kena membarimhkan badannya. Punggungnya terasa lelah sekali.
"Jangan terlalu lelah, alasanku memintanya kemari agar dia bisa menjagamu dengan baik. Aku akan membahas hal ini dengan Benfa, karena besok mereka berdua akan ke Jakarta menemui salah satu klien Qei."
"Aku sudah menganggapnya sebagai adikku juga, Ar."
"Aku tau, mana mungkin aku meragukan hal itu." ujarnya pelan, mengusap lembut kening istrinya.
"Apa sebaiknya kita pindah tempat saja, Ar? Agar ingatan Qei tidak terlalu menyakitinya. Jika terus menerus berada disini, pastinya banyak dorongan untuknya terus mengingat hal itu."
Arfan merenung, tidak. Kalau membawa Qei Pergi maka status adiknya semakin dilupakan.
"Kemarin Mama meminta ini juga, tidak sayang. Kita akan terus menerus menatap disini sampai Qei diterima dan diakui oleh keluargaku. Membawanya pergi sama saja dengan membenarkan semua hinaan yang Ayah berikan."
Itu benar, suaminya benar.
"Aku berencana membuat Qei bertunangan dengan Lexion, laki-laki yang kemarin bersamanya di pesta."
"Yang katanya calonnya itu?"
"Ya, dengan mereka bertunangan pasti akan membuat ayah semakin tidak terkendali. Kamu Istirahat, aku akan mengecek keadaan Qei kembali."
"Iya sayang."
Kena menatap punggung suaminya yang menjauh, untungnya rasa sayang Arfan besar padanya. Kena tidak iri karena suaminya begitu fokus pada adiknya, Kena malah kasihan. Mungkin jika Kena yang menjadi Qei maka Kena lebih memilih mati daripada diperlakukan serendah itu oleh orangtua.
Diambang pintu kamar adiknya, Arfan menatap Qei yang tidur begitu lelap. Ketakutannya, inilah yang paling ia takutkan.
Ingatan itu perlahan kembali, Arfan hanya bisa berdo'a semoga Adiknya bisa melaluinya tanpa adanya gangguan mental berkepanjangan.
Menemukan adiknya dengan keadaan mengerikan, bekas luka yang begitu banyak bahkan peluang hidup hanya beberapa persen saja. Arfan tidak menduga pada akhirnya bisa menyelamatkan adiknya setelah menggila berjam-jam.
"Maafkan aku."
Dengan cepat Arfan mendekat, menggenggam tangan adiknya.
"Maafkan aku."
Arfan mengusap airmata adiknya, bahkan dalam tidurpun ingatan itu masih menghantuinya.
"Apa salahku, tolong. Kenapa tidak ada yang menolongku sama sekali."
Badan adiknya gemetar membuat Arfan semakin mengeratkan genggaman tangannya, sayangnya Arfan tau. Ini belum seberapa, hal sekarang ini belum seberapa sama sekali. Ini barulah awal.
"Hei.. Engga papa. Aku disini, kami disini." bisiknya pelan, dan itu berhasil membuat badan Qei kembali tenang.
"Engga papa, aku sama yang lainnya ada disampingmu. Okey? Kamu kuat Qei, itu hanya ingatan tidak berguna, Sekarang kamu aman bareng aku dan Kena."
Airmata adiknya terhenti, tidurnya kembali tenang.
"Engga papa, Qei. Engga papa. Kamu aman sama aku, ada aku yang selalu sama kamu, menemani apapun yang terjadi. Engga papa, kamu kuat."
Qeila kembali terlelap dengan tidurnya, membuat Arfan bernapas lega. Berniat melepaskan genggaman tangannya tetapi Qei seolah tak ingin melepasnya sama sekali.
"Kamu kuat, Qei. Kamu kuat. Engga papa, kamu kuat." bisiknya lagi, menemani adiknya dalam diam.
***
"Tadi kambuh?" bisiknya pelan takutnya perempuan yang tertidur di ranjang terbangun.
"Bisa gitulah, kamu kenapa datang terlambat?"
"Pasien numpuk,"
"Emangnya kertas pake kata numpuk segala."
"Hahaha, kakak iparku mana? Adem tiap liat dia, cantiknya kebangetan."
Kena masuk kamar dengan senyum cantiknya, menatap dua sepupu yang terlihat sedang beradu argumen.
"Kakak ipar makin cantik aja, kenapa mau sama Arfan? Mana mukanya lempeng banget."
Arfan mendelik kesal sedang istrinya hanya tertawa pelan, senang rasanya bisa diterima dengan baik oleh keluarga suaminya, apalagi sepupu suaminya ini.
"Kak ipar pake bedak apaan? Jadi pengen ikut pake juga."
Dan mengalirlah cerita keduanya membuat Arfan menguap beberapa kali, memang ya ketika dua perempuan saling bertemu maka pembahasannya tidak akan jauh dari yang namanya bedak, sepatu, dan skincare.
"Maafkan aku." pembahasan Kena terhenti, ia menoleh menatap adik iparnya.
"Maaf, maaf. Kumohon hentikan."
Ketiganya saling melempar pandangan kemudian mendekat ke arah Qei, padahal baru beberapa menit lalu Qeila stabil tetapi kembali mengigau dan meminta maaf terus menerus.
Tadi, setelah Qei tenang. Benfa datang membawa banyak makanan. Baru beberapa menit saling bersama di kamar Qei.
"Aku bangunin aja ya,"
Tanpa menunggu persetujuan Arfan, Benfa berdiri menepuk-nepuk bahu Qeila, membuat perempuan itu membuka pejaman matanya.
"Hai, bertemu kembali." seakan tidak terjadi apapun, Qei memasang wajah ketus dan membuang wajahnya. Seolah tidak pernah mengigau meminta maaf sama sekali.
"Jadikan ke Jakarta besok?"
Arfan membawa istrinya keluar kamar, memintanya untuk makan buah-buahan saja.
"Kenapa tidak membahas tentang mimpinya? Bagaimana kalau dia butuh kalimat penenang?"
"Benfa itu pintar, dia juga seorang dokter. Dia bisa menanganinya, kamu mending makan buah-buahan untuk babynya, jangan lupa minum vitamin yang aku berikan. Aku cek Qei dulu ya? Kamu jangan masuk, nanti malah banyak pikiran."
Tanpa membantah sama sekali, Kena menurut.
"Bisa kan ya kita tinggal di rumah ku aja, aku kebetulan punya rumah di Jakarta sebagai kado pas ultah kemarin. Papa Bian yang beliin,"
"Engga, saya mau tinggal di hotel."
Berbanding terbalik dengan berjam-jam lalu bukan?
"Papa Bian engga disana kok. Disana palingan ada pembantu aja, dari pada buang-buang uang begitu banyak."
"Kan yang dipake uang saya bukan uang kamu."
Ditempatnya, Arfan meringis pelan. Ia benar-benar berhasil membuat sikap adiknya berbanding terbalik dengan dulu.
"Mulutmu lemes banget, Qei."
Arfan berjalan Mendekat, perkataan Benfa tidak direspon lagi oleh adiknya.
"Udah baikan?"
"Hmm."
"Yaudah, kamu ke apartemen aja buat packing. Bukannya pertemuannya besok pagi? Bagusan berangkat malam kan?"
"Yaudah, kalian berdua keluar. Saya mau ganti baju dulu lepas itu pulang packing."
Benfa tertawa mendengar betapa ketuanya sepupunya ini, berjalan keluar bersamaan dengan Arfan. Setelahnya Qeila berganti pakaian, seolah tidak terjadi apapun sebelumnya.
Setelahnya, ia pergi meninggalkan rumah Arfan diantar ke apartemen oleh Benfa. Berpisah dan berjanji akan bertemu kembali dua jam kedepan.
***
Jika jalan lancar maka perjalanan ini hanya akan memakan waktu sekitar dua jam setengah, mudah-mudahan tidak ada macet seperti biasa. Sepanjang aku bangun dari koma, ini pertama kalinya aku menginjak Jakarta. Itupun kaena suasana yang begitu ganting.
Pikiranku masih berada dirumah Arfan sekarang padahal mobil sudah melaju sejak 20 menit yang lalu. Bermodalkan google maps, kami memberanikan ke Jakarta hanya berdua, katanya Benfa sebelumnya selalu ditemani ayahnya atau supir yang mengantar.
Tatapan Kena sebelum aku pamit sore tadi cukup menyita pikiranku, ada apa dengannya? Mengapa terlihat sangat khawatir? Bukankah aku baik-baik saja?
"Mau beli semacam cemilan buat perjalanan engga? Aku soalnya pengen mampir beli kopi botolan gitu." mobil menepi didepan minimarket yang terbilang masih ramai, jam saja masih pukul 9 malam. Jadinya jika lancar kami akan sampai pukul 11 nanti.
"Aku pesen beberapa minuman aja, sebagaimana kamu mau ambil rasa apa."
"Hmm. Oke."
Pintu tertutup pertanda sepupu cantikku itu telah keluar. Ku tatap jalanan ramai, Bandung memang terkenal dengan kenyamanannya.
Badanku tersentak kaget karena pintu baru saja diketuk, ternyata Benfa yang kembali datang. Kuturunkan kaca mobil dan senyumnya langsung terlihat.
"Mending kamu turun aja dulu, di seberang ada warung kecil. Kita makan malemnya disana aja, kayaknya enak." kualihkan pandanganku kearah seberang, walaupun terhalang beberapa mobil yang lewat aku bisa melihat menu yang terpasang besar di poster.
'Seafood home'
Nama yang cukup unik untuk sebuah warung, ku anggukan kepalaku dan kuraih dompet kecil ditas. Ponsel sengaja kutinggalan didalam sana, palingan kami hanya 30menitan itupun kalau makannya banyak.
"Yuk." ajaknya setelah aku keluar mobil. Setelah merasa aman, kami berdua menyeberang bersamaan berjalan sedikit cepat takutnya tiba-tiba ada kendaraan yang melaju, apalagi inikan jalan poros utama.
"Pesan apa, Qei?" tanyanya setelah kami berdua berdiri didepan grobak penjual.
Kutatap jejeran menu yang terpasang di poster besar, kalau dari gambarnya semuanya menggiurkan untuk dimakan.
"Nasi goreng biasa aja ditambah udang tepung terus tumis cumi seporsi, untuk minunmya air putih aja tapi yang dingin. Nasi gorengnya yang pedes ya,"
Benfa terlihat mengerjapkan matanya beberpa kali kemudian menyebutkan pesananku, aku berjalan lebih dulu duduk dikursi kayu yang di bagian paling dalam. Bagusan makan dipojok, jadinya tidak mendengar gosip ibu-ibu.
"Padahal bagusan duduk didepan, bisa kena angin sepoi-sepoi juga."
"Engga, lagian kan ada kipas angin didekat kita." ujarku dengan memandang Kipas angin yang tak jauh dari tempatku duduk, palingan beberapa langkah.
Benfa sepertinya tidak punya niat membalas ucapanku, kuperhatikan sekitar ternyata hanya aku dan Benfa yang berpakaian cukup mencolok, lainnya hanya memakai kaos biasa, piyama tidur malahan masih ada yang memakai kerudung shalat.
Beberapa menit kemudian makanan kami datang, dan sepertinya aku harus meralat waktu perjalanan kami. Kurasa kami akan sampai Jakarta jam 12 lewat, perjalanan yang santai, belum masuk. Macetnya, Belum lagi akan berhenti sesekali.
Tapi Bagus juga, bisa melihat keindahan malam yang membuatku terpukau, kami makan dalam diam. Gambar itu seusai perkiraanku, rasanya enak dan gurih. Manisnya pas, pedasnya pas, dan membuatku ingin menambah lagi.
Setelah semua makanan habis, kami melanjutkan perjalanan cukup panjang ini. Sesekali, aku yang akan menggantikan Benfa mengemudi.
***
"Huaaaa! Akhirnya kerumah ini lagi."
Kuputar mataku malas melihat sikap kekanak-kanakkan Benfa, padahal umurnya sedikit jauh diatasku tapi sikapnya?
"Selamat datang, Nyonya."
"Selamat malam, Bi. Maaf ya, datangnya kemaleman banget, bibi lanjut tidur aja kami sehabis ini mau tidur aja."
"Baik Nyonya.
Interaksi keduanya kuamati dalam diam, harusnya disini ada supirku yang ikut tapi aku memilih memintanya datang besok saja. Awalnya dia menolak, tapi setelah berdebat panjang aku tentunya menang.
Lexion itu, padahal hubungan kami hanyalah sekedar rekan kerja tapi kenapa harus memberikan sebegitu mewahnya?
"Qei, kamu lihat pintu coklat yang ada dibawah tangga engga?"
Kuikuti arahannya, dan aku melihatnya. Tidak terlalu dibawah tangga, hanya saja lebih baik dikatakan seperti itu jadinya lebih mudah ditemukan.
"Itu kamarmu, dan pintu yang sebelahnya lagi kamarku. Lantai dua jarang kupake."
Kuraih tasku dan koper kecilku, masuk kedalam kamar tanpa mengatakan apapun pada Benfa, lagian sudah larut malam waktunya untuk tidur.
Mataku menatap kamar yang bernuansa putih, warna pasaran sekali. Ku rebahkan badanku di ranjang, memejamkan mata menikmati nyamannya AC yang datang. Mengingat aku belum cuci muka dan skincaren, ku dudukkan badanku kembali.
Membuka koper kecil, mengeluarkan facial foam, odol, dan sikat gigi. Berjalan ke kamar mandi untuk sikat gigi dan cuci muka, 5 menit setelahnya aku telah duduk didepan meja rias yang juga berwarna putih.
Oh iya, skincare ku masih ada didalam tas.
Dengan kaki malas, ku langkahkan kakiku ke ranjang kembali. Membongkar tas berukuran sedang, mengambil kebutuhan skincare dan kembali duduk didepan meja rias. Melakukan rutinitas sebelum tidur, sebenarnya malas sekali tapi demi mempercantik diri tidak papa lah. Demi kebahagiaan diri sendiri.
Setelah memakai semuanya, ku singkirkan semua barangku dimeja dan mematikan lampu kamar. Selamat datang dunia mimpiku, dan mari memulai hari besok dengan pikiran jernih dan bisa bekerja dengan baik.