12 - Kembali Pulih

2049 Words
Mobil berlalu lalang didepanku dengan cepat, bukannya beranjak berdiri aku malah memilih duduk disini. Menatap setiap aktivitas semua orang pada pagi hari, terasa menyenangkan dalam sekali pandang. Beberapa anak sekolah terlihat bergerombolan, mereka berlomba-lomba saling bercerita satu sama lain sembari berjalan menuju sekolah masing-masing. Wajah mereka terlihat lepas, tanpa beban. Begitulah masa kecil, yang sangat dirindukan semua orang-orang dewasa. Yang ada pikiran mereka palingan belajar apa hari ini, ketika jam istirahat tiba maka mereka akan jajan apa, selepas pulang sekolah mereka akan main apa, atau saat malam hari. Kartun apa yang akan mereka nonton? Sedang orang dewasa? Aku tersenyum melihat mereka tertawa bersamaan, seolah tertular. Seminggu berlalu, hari-hari menyedihkan yang sangat aku benci. Untuk antisipasi, Arfan memintaku untuk menjauh darinya lebih dulu, ya dia! Keluarga Jespara demi kesehatanku katanya. Dokter itu, yang katanya dia adalah sepupuku. Akhir-akhir ini setiap jam 5 lewat dia akan datang kerumah membawa aneka macam makanan dan memintaku makan bersamanya, dia seolah ingin mendekat tetapi sayangnya aku tetap menciptakan dinding diantara kami. Aku memang menerimanya, mendengar segala ceritanya setiap sore. Akan tetapi, aku menolak setiap dia perlahan membahas masa lalu, membahas mamanya, membahas kenangan kami. Untuk apa membahas sesuatu yang sudah padam? Tidak ada gunanya sama sekali. "Tidak mau jalan, Mba?" aku mendongak, aku hapal dan ingat suasana ini. Terasa kembali ke suasana beberapa minggu lalu. "Silahkan duluan." orang yang menanyaiku tadi berlalu. Aku pagi ini meliburkan diri padahal aslinya banyak tumpukan kerjaan yang menungguku. "Hai." Ku dongakkan kepalaku kembali, ah dia adalah Lexi. Laki-laki yang kutemui beberapa hari lalu yang baru saja menawarkan satu project untukku. "Acara apa pagi ini?" Tidak ku gubris, apa urusannya denganmu? "Pertanyaanku tidak dijawab?" Ku tatap wajahnya dengan perasaan tidak suka dan Lexi balas dengan kekehan. "Apa anda tidak punya pekerjaan sama sekali? Seingatku anda adalah CEO perusahaan. Walaupun seorang pemimpin, tapi jangan asal abai dengan pekerjaan dong." Tawanya semakin menjadi-jadi membuatku mendengus kesal, apa urusannya sebenarnya? "Mau makan sesuatu?" Aku berdiri dengan cepat, menatapnya dengan pandangan tidak suka. Tanpa mengatakan apapun ku tinggalkan dia sendirian disana, tepat dibawah pohon yang tak jauh dari sekolah dasar. Pagi ini aku memutuskan untuk berlari pagi, katanya baik untuk kesehatan. Sembari berjalan kembali kerumah ku tatap jam di pergelangan tanganku, ternyata sudah setengah 8. Padahal keluar rumah tadi pukul 6 lewat, lama juga. "Pagi Qei, engga kerja?" kuhentikan langkahku, dia adalah tetanggaku. "Pagi juga, Bu. Lagi meliburkan diri." jawabku sesopan mungkin dan melanjutkan perjalanan, ternyata kalau pagi ini ibu-ibu akan berkumpul di ujung kompleks dan saling berbagi cerita, aku baru tau. Merasa gerah, ku percepat jalanku agar bisa segera mandi. Hari ini aku akan menghabiskan waktu sendiri, tanpa diganggu siapapun. *** Dengan wajah tertekuk, ku tatap sebal orang yang ada didepanku. Sejak tadi menampilkan senyuman manis padahal itu sangat memuakkan untukku. "Ada apa? Kenapa tidak makan?" Pertanyaan konyol. "Kita tidak sengaja bertemu di warung ini, lalu kenapa wajahmu sangat tidak enak di pandang?" Bodoamat. "Kudengar, kamu sudah menandatangi kontrak kita." "Ini bukan jam kerja." kesalku. Tawanya terdengar lagi, orang kurang kerjaan memang. "Aku ingin memperlihatkan taman bunga padamu." "Saya sudah beberapa kali menatap taman bunga di beberapa tempat, terimakasih." "Hmm, bagaimana dengan rumah pohon?" Aku mematung, mataku menatap nanar sendok yang ada ditanganku. "Kamu ingin sesuatu?" "Tidak tau," "Bagaimana dengan rumah pohon?" Kulepaskan sendok yang ada di tanganku, memijat pelipisku yang terasa sedikit sakit . Ingatan macam apa itu? Kenapa pertanyaannya mirip dengan seseorang yang ada ingatanku itu? Merasa rasa sakit kepala ini tidak mereda sama sekali, aku berdiri dengan cepat merogoh beberapa lembar uang lima ribuan dan membayar makananku. Menghiraukan panggilan Lexi, dengan tangan memegang kepalaku, aku berjalan memasuki kawasan kompleks. Badanku terbalik dengan cepat, wajah Lexi tidak terlihat dengan jelas. "Herlena, rumah pohon atau taman bunga?" "Bagaimana dengan taman bunga,mungkin akan terasa menyenangkan." "Kenapa taman bunga?" "Karena anak-anak terus mengatakan padaku, terutama anak perempuan. Katanya ada banyak warna, sayangnya aku tidak dapat melihatnya." Kepalaku semakin terasa sakit, kali ini kedua tanganku terulur keatas, memegang kedua sisi kepalaku dengan erat. "Qeila... Qeila! Hei!" Setelah beberapa menit, penglihatanku kembali jelas. "Langit." gumamku dengan suara sangat pelan. Dan mataku mendongak menatap Lexi yang juga menatapku dengan mata membulat. "Maaf, tadi saya salah sebut." ralatku cepat, menatap kedepan. Untungnya gerombolan ibu-ibu sudah pergi dari sana. Selepas mandi tadi, aku berniat memasak sayangnya dirumah hanya tersedia 3 butir telur. Karena malas melihat bahan makanan, aku memutuskan untuk makan warung depan kompleks. Tapi malah bertemu dengan si Lexi ini. "Saya pamit pulang, terimakasih sudah menemaniku." setelah mengatakan itu, badanku berbalik berjalan kerumahku kembali meninggalkan Lexi sendirian disana. Aku membenci ketika ingatan-ingatan itu terus berdatangan, apa tujuannya kembali padahal Langit saja aku tidak tau dia berada dimana. Bukannya langsung masuk kedalam rumah, aku malah memilih tinggal diteras menikmati semilir angin karena musim hujan masih terasa. Kenapa susah sekali menjalani keseharian, padahal aku tidak pernah menuntut banyak hal pada takdir. "Mau kubantu?" "Tidak perlu, mataku memang tidak pernah melihat bagaimana dunia dan sekitarku. Akan tetapi tanganku masih berfungsi, telingaku juga, dan yang lainnya. Kehilangan segalanya tidak membuatku ingin mengakhiri hidup." Sebenarnya, aku sangat ingin tau bagaimana duniaku. Sayangnya, bukankah dulunya aku buta? Lalu bagaimana caraku mengetahui semuanya? *** Wajah kesakitannya. Panggilannya. Kenapa terus terbayang-bayang dalam pikiran Lexi? Harusnya Lexi berusaha menjatuhkannya karena telah merendahkan kepercayaannya. Bukannya melajukan mobilnya pergi, Lexi malah terdiam dikursi kemudi. Menatap kedepan kompleks, seolah menunggu Qeila kembali keluar dari lorong. "Ada apa?" tanyanya malas, padahal tadi pagi sekali ia sudah memberitahu sekretarisnya untuk tidak mengganggunya sehari penuh. "Tidak, saya tidak mengiyakan adanya pertemuan apapun hari ini." mematikan sambungan telepon sepihak, dan menatap kembali jejeran rumah didepan sana. Ia tidak akan meninggalkan tempat ini, sehari penuh ia akan mengawasi kegiatan Qeila atau lebih biasa ia panggil dengan Herlena. Rasa bencinya memang besar, akan tetapi rasa ingin melindunginya lebih besar. "Setelah membebaskanmu selama ini, papan ingin kamu kembali dan mengambil alih perusahaan. Mengenai identitasmu dikalangan remaja itu biar papa yang mengurusnya." "Aku masih ingin bebas, Pa." "Tidak, jika kamu keluar selangkah saja dari rumah ini maka kamu siap bergabung dengan teman-temanmu dipenjara yang sudah siap melaksanakan hukumannya. Papa tidak pernah main-main Lexi, umur papa tidak memungkinkan lagi mengurusnya." "Pa... Papa punya banyak orang kepercayaan yang bisa mengurus perusahaan. Aku ingin bebas, bebas dengan duniaku sendiri." "Bebas katamu? Bebas? Bebas memperjual belikan anak-anak, merenggut masa kanak-kanak mereka, menculik banyak perempuan dan anak-anak. Itu yang kamu maksud dengan kebebasan?" "Pa! Papa pastinya pernah muda." "Hahaha, papa memang pernah muda. Tapi masa muda papa tidak sia-sia sepertimu. Diumurmu dulu, papa sibuk sekolah dan membanggakan keluarga." Lexi menurunkan sandaran kursi mobilnya, tidak mengapa ia disini sampai sore. Setidaknya ia merasa lega bisa mengawasi Qeila hingga sore. Tetapi baru saja matanya ingin terpejam kembali menegakkan duduknya, ada beberapa orang yang datang dengan pakaian hitam dan Lexi tau status mereka hanya dengan penampilannya saja. "Halo, kirim beberapa penjaga ke tempatku sekarang, secepatnya." Mematikan sambungan telepon, Lexi kembali mengutak atik teleponnya mencari nama Herlena disana. Untungnya kemarin, saat kerjasama itu berhasil didapatkannya ia segera menyimpan nomor pribadi Herlena. "Jangan keluar dari rumahmu dan tinggal didalam kamar." tanpa mendengar jawaban perempuan itu, Lexi memutuskan sambungan telepon. Matanya terus menatap kumpulan orang itu, Lexi menatap sekitar. Tak jauh dari warung makan tadi terdapat pangkalan ojek dan di sana juga ramai. Jika Lexi bisa memberitahu mereka pastinya kumpulan orang itu akan pergi dan tidak jadi menjalankan perintah. Lexi tau itu adalah kumpulan orang yang ingin menyakiti Qeila, dunia seperti ini sudah sangat ia hapal karena sudah sangat terbiasa. *** "Saya ingin anda berhenti menganggu kehidupan saya dan juga adik saya. Lagian kami berdua tidak pernah membawa nama Jespara, kami menjalani keseharian ini dengan cara kami sendiri." Ameera dengan tatapan angkuhnya tersenyum tipis, menatap rendah kearah dua orang didepannya. "Kamu sekarang ada di pihaknya?" tanyanya mengejek, pertanyaan itu ia tujukan pada perempuan yang ada didekat Arfan, Benfa. "Adik saya selama ini tidak pernah menganggu ke seharian anda. Kebetulan-kebetulan yang terjadi itu kehendak takdir bukan keinginannya sama sekali." Arfan jengah, ia ingin adiknya bebas bukan didesak dan diawasi terus menerus. "Kalau begitu pindahlah ke kota lain, putuskan segala kontrak yang ada di kota ini. Menghilanglah selamanya dan jangan membiarkan nama kalian terekspos media agar kami sekeluarga benar-benar menganggap kalau kalian berdua sudah lama mati atau malahan tidak ada di dunia ini." Dibawah meja, tangan Benfa mengepal erat. Ibu macam apa sebenarnya Ameera ini? Ditempat lain, ada beribu-ribu pasangan yang berjuang untuk memiliki keturunan sedang perempuan ini malah ingin membuang anaknya yang yang orang anggap cerdas? "Hahaha, siapa anda? Dengan sopan saya datang kemari merendahkan harga diri saya demi ketenangan adik saya. Kota ini bukan milik anda, media bukan milik anda dan dunia kami berdua bukan milik anda lalu siapa anda yang ingin mengatur kemana kami akan pergi dan akan kami lakukan?" Ameera masih memperlihatkan wajah angkuhnya, tanpa menurunkan egonya sama sekali. "Dengan perginya kalian, itu sama saja kalian terbebas dengan keluarga Jespara. Ada banyak kota yang bisa kalian singgahi, lalu kenapa harus Bandung dijadikan tempat menetap? Bukankah itu terlalu jelas kalau kalian ingin menunjukkan pada semuanya kalau kalian bisa mengalahkan keluarga Jespara?" Arfan tertawa mengejek. "Hanya orang yang mempunyai pandangan sempit jika mengatakan hal seperti yang anda katakan tadi. Apa yang salah dengan pekerjaan adik saya? Apa yang salah dengan pekerjaan saya? Kami sama-sama terkenal tanpa adanya nama Jespara. Tidak semuanya harus disangkut pautkan dengan keluarga sok sempurna itu." Ego Ameera terasa diusik, wajahnya mulai menampilan emosi secara perlahan. "Adik saya, ia menjadi arsitek terkenal tanpa adanya dukungan Jespara sama sekali. Sampai detik inipun, semua orang taunya Jespara hanya memiliki dua pewaris atau bisa dikatakan kalian hanya memilki dua anak. Lalu apa salah Qeila? Ia sukses dengan caranya bukan marga yang begitu kalian banggakan." Ekspresi Ameera berubah total, make-up yang begitu cantik dan natural itu tidak bisa menutupi betapa besarnya amarahnya sekarang. Akan tetapi itu hanya sepersekian detik saja, setelahnya kembali normal seperti biasanya. Mengendalikan emosi sudah ia pelajari, bisa saja ada media disini atau bisa juga ada teman kolega suaminya, atau teman sesama ibu sosialita jadinya Ameera harus tenang. Ia terkenal dengan pembawaannya yang sangat tenang, murah senyum, anggun dan ramah. Akan menjadi berita yang sangat heboh jika sampai ada yang melihatnya. "Sayangnya kalian tidak bisa menampik jika semua kepintaran itu kalian dapatkan dari kami, bukankah itu tetap berhubungan dengan Jespara?" Arfan tersenyum miring, "jadi... Anda mengakui kepintaran kami?" Ameera kalah, tetapi ia tidak menyerah secepat itu. "Pindah dan menjauhlah dari jangkuan kami." ulangnya kembali. "Tidak akan, Bandung bukan milik anda. Bandung selalu terbuka untuk siapapun yang ingin tinggal disini. Jangan terlalu serekah, dunia bukan milik kalian." Perempuan bergaun selutut itu mengibaskan rambutnya sekali, emosinya kembali naik. Benfa berdehem pelan, kali ini ia ingin bersuara. "Pertama, di dunia ada berjuta-juta orang yang berusaha semaksimal mungkin agar memiliki keturunan, tidak peduli bagaimana nantinya saat anak itu lahir. Sedangkan Tante? Bukannya bersyukur mempunyai 3 anak yang cukup membanggakan malah merendahkan mereka semua." Bukannya tersinggung, Ameera malah melebarkan senyumnya. Bangga. "Kedua, bukankah Arfan dan Qeila sudah menjauh malahan tidak mengusik Tante sama sekali lalu apalagi? Yang menganggu disini adalah Tante bukan Arfan ataukah Qeila." Senyum lebar Ameera menghilang, apa ini? Ia merasa diterbangkan kemudian dihempaskan begitu kuat. Ia meraih tas mahalnya, hentakan sepatunya perlahan menjauh. Daripada emosi melihat kedua orang itu, akan lebih baik baginya pergi. Selepas kepergian Ameera, Benfa dan Arfan saling melemparkan senyum dan tertawa terbahak-bahak setelahnya tidak memperdulikan beberapa tatapan mengarah pada mereka berdua. Tujuannya adalah membuat Ketenangan Ameera terus terganggu, membuat Detan makin berang atas kesuksesan yang Qeila dapatkan. Benfa sudah berjanji pada ayahnya untuk membahagiakan sepupunya, ia tidak merasa iri sama sekali. Lagian selama ini ia sudah mendapatkan kasih sayang yang cukup banyak. Setelah ini, ada beberapa list yang akan mereka lakukan dan itu harus tercapai sesegera mungkin. Karena Detan harus membayar kebebasan Qeila yang bertahun-tahun menghilang. Arfan, ia akan mengembalikan segala kebahagiaan adiknya yang terenggut selama ini. Kegelapan yang begitu panjang akan ia kembalikan dengan tawa lepas tanpa bayang-bayang trauma. Selaku seorang dokter dan mengingat kembali bagaimana kondisi adiknya setelah ditemukan. Lamban laun, trauma adiknya akan kembali menggema. Nantinya akan ada titik terendah dalam hidupnya jika semua ingatakan mengerikan itu kembali. Sekarang, hanya ingatan Indah yang terus berdatangan bukan mengerikan yang Arfan maksud. Arfan hanya berharap, saat titik rendah itu datang. Trauma adiknya akan diobati dengan cepat, kelemahannya tidak begitu mendominasi. Sayangnya, Arfan hanya bisa berharap sedang takdir yang menentukannya. Keduanya berdiri meninggalkan restoran, ada hal lain yang harus mereka berdua kerjakan segera mungkin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD