Memeriksa alamatnya kembali dan menatap rumah di depannya. Sudah cocok, berarti ini adalah rumah sepupunya yang telah lama menghilang, Herlena.
"Benfa?"
Perempuan yang masih memakai jas dokter itu melambaikan tangannya disertai senyum ramahnya, berjalan santai mendekati Arfan yang berdiri di ambang pintu.
Setelah meninggalkan rumah Ameera, Benfa langsung menuju kemari bermodalkan alamat yang Ayahnya berikan padanya. Katanya, biar Benfa yang berusaha mendekati Herlena, membantunya.
"Ada apa kemari? Kamu diminta Ameera kemari?"
Benfa tertegun, ternyata Ameera benar-benar sudah dibenci oleh Arfan, sedalam ini.
"Aku sudah berhenti menjadi dokter pribadi keluargamu karena ayahku memintaku, dia kecewa dengan mereka karana menyembunyikan fakta kalau ternyata Herlena masih ada disuatu tempat."
Ia membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan sepupunya masuk kedalam.
"Aku belum terlalu percaya, kamu sudah terlalu lama dekat dengan mereka bisa saja ini siasatmu untuk menjatuhkan adikku atas perintah Suami Ameera, aku sangat yakin Detan sedang merasa harga dirinya dijatuhkan di keramaian."
Bukannya menanggapi, Benfa malah memperhatikan rumah milik Herlena.
"Adikku tidak suka dipanggil dengan nama yang keluarga itu berikan, namanya adalah Qeila Purnamasari, sikapnya kadang menjengkelkan jadi aku harap kamu memaklumi. Ingatannya menghilang, jadi perkenalkan dirimu sebagimana semestinya."
"Sebagaimana semestinya itu seperti apa?"
"Katakan saja kamu adalah sepupunya, Qei juga sudah bertemu dengan Om Bian. Kuharap kamu tidak membuat keadaannya semakin buruk. Sejak pulang dari pertemuan tadi, Qei hanya melamun tadi, aku hanya mengompres bekas tamparan si Detan itu."
"Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa mereka berdua sampai hilang kendali? Setahuku selama ini Om Detan selalu berusaha menjaga image-nya didepan semua orang."
"Aku tidak tau, untungnya aku masih disana jadi bisa membawa adikku pergi secepat mungkin."
"Tante Ameera terluka."
Arfan tidak bergeming, "aku buatkan minuman."
Benfa menatap kepergiannya dengan pandangan sendu, memilih masuk kedalam mencari kamar sepupunya yang katanya melamun sejak berjam-jam lalu.
Hanya beberapa langkah dari ruang tamu, setelah bertahun-tahun tidak bertemu akhirnya Benfa bisa melihatnya kembali. Perempuan yang begitu Mamanya sayangi setelah Benfa tentunya, mamanya selalu mengatakan 'jaga adik Lena ya, dia sendirian'
Dia sudah dewasa, bukan lagi anak-anak yang terus merengek padanya meminta dibelikan banyak mainan atau dipetikkan bunga di halaman belakang. Jujur, Benfa merindukan sikap masa lalu Herlena yang selalu ia panggil dengan sebutan Lena.
Terkahir bertemu masih sangat kecil sekali, matanya memang buta tapi harapannya tidak pernah redup sama sekali.
"Ada apa?"
Benfa tersentak, ternyata Dia menyadari keberadaannya.
"Selamat bertemu kembali sepupu."
Diranjangnya, Qeila menatap Benfa bingung.
"Aku anaknya Ayah Bian, kamu sudah bertemu dengannya bukan?"
Qeila hanya membulatkan bulatnya 'O' kemudian menatap kosong dinding kamarnya.
"Dulu, kamu selalu mengatakan padaku seperti ini. Aku sangat penasaran bagaimana bentuknya dinding, soalnya kalau dipegang keras sekali. Lihat sekarang, kamu bisa melihatnya bukan?"
Sambil berbicara Benfa mencoba mendekati Qeila.
"Aku ingin sendiri jadi silahkan keluar,"
Sebuah pengusiran telak, membuatnya mau tak mau harus memutar badannya dan keluar kamar. Baiklah, ia akan kembali bertemu dengan sepupunya itu lain kali lagian masih banyak waktu yang tersisa.
"Dia mengusirku." Arfan tertawa pelan menganggapinya.
"Dia benar-benar menjengkelkan, padahal saat masih kecil dia sangat dekat denganku hampir setiap hari bersamaku."
"Dalam kurung waktu sejam saja, itu sudah bisa mengubah banyak hal. Apalagi manusia?"
"Padahal aku kemari ingin berbincang panjang lebar dengannya, membahas sesuatu yang dulunya begitu antusias ia ceritakan."
Arfan bungkam, tidak tau akan menanggapi seperti apa.
"Yaudah, aku mau nginap disini."
"Pulang, Fa."
"Engga, aku mau bermalam disini."
"Keras kepala."
"I'm."
Didalam kamar, Qeila mendengar semuanya. Hanya saja ia tidak ingin peduli, pikirannya terus berkelana kearah perkataan Detan berjam-jam lalu.
"Sikapmu ini adalah turunan dari ibu tidak bergunamu itu. Kalian berdua sama-sama barang gagal untukku, untungnya Herlina tidak mengikuti jejak mamanya."
Qeila tersenyum, memangnya ada ya orang mengatai istrinya sampai ke titik terendah seperti tadi?
"Cih! Jadi arsitek terkenal. Kalau bawaanya pernah buta maka kamu akan buta selamanya. Apa gunanya melihat kalau sudah dicap cacat sejak lahir? Dan kamu juga sudah dibuang keluargamu, lihatlah! Betapa menyedihkannya perempuan ini. Hahahah."
Ia tersenyum lagi, dunia apa yang sebenarnya sedang ia tempati sekarang. Takdir berbentuk apa yang sedang tersuguhkan hingga menghadirkan orang segila itu?
"Dan anda pikir saya merasa beruntung karena anda sebagai ayah saya? Tentu saja tidak. Saya akan menyesali seumur hidup saya karena memiliki ayah paling hina seperti anda. Sempurna? Yang cacat sejak dulu itu bukan saya tapi anda, mata anda buta sejak dulu."
Sebuah balasan kata yang akhirnya membuat Detan murka, Qeila harusnya tetap tenang tapi nyatanya akhir-akhir ini ia mulai terusik. Kenangan-kenangan masa lalu malah menjadi bunga tidurnya sepanjang waktu, memaksa memori itu terbuka kembali.
Pembahasan yang awalnya tentang pengembangan restoran malah menjurus ke hal lain, sekertarisnya yaitu Azura sudah beberapa kali mencoba tetap menenangkan suasana tetapi malah ikut dibentak.
Orang sperti apa sebenarnya Detan itu? Kenapa pandangannya tentang dunia begitu sempit?
Untungnya Arfan membawanya kemari, jadinya Ia tidak perlu menghadapi banyaknya pertanyaan yang Kena lontarkan. Qeila mengusap pipinya, ternyata begini rasanya ditampar ayah kita sendiri.
Sakitnya tidak terasa sama sekali, tapi ini akan membekas selamanya.
"Kudengar banyak anak-anak yang dipukul, apa sakit?"
"Mungkin, tapi kulihat mereka hanya terdiam tidak lagi menangis seperti biasanya. Kamu masak apa? Yakin rasanya pas gitu?"
Pejaman matanya terbuka cepat, Qeila benci ingatannya. Padahal Tuhan sudah membantunya melupakan semuanya, menghapus segala ingatan mengerikan itu tapi ternyata Qeila salah, Tuhan hanya membanrunya sementara agar ia mampu menyesuaikan diri.
Selebihnya, semuanya akan kembali seperti semula. Ingatan-ingatan mengerikan itu akan kembali dengan sendirinya.
"Oh kurasa memang turunan, papanya sebelumnya meninggal karena penyakit itu terus anaknya sekarang dalam masa kritis. Bukan aku yang urus sih, cuman semalam dokter yang sedang jaga memintaku memeriksanya, takut salah tebak katanya."
"Ya harus tegas, masa iya takut salah."
"Lah, dokternya kan masa coas jadinya masih ada ragu-ragunya, Ar. Kita aja kadang harus butuh dokter spesialis lainnya untuk mencocokkan diagnosa."
Percakapan-percakapan itu terus berlanjut seolah menjadi pengiring musik untuk Qeila, padahal tadinya ia sudah mengusir perempuan yang katanya sepupunya itu tapi tenyata dia memilih tinggal?
"Qei suka makan apa? Aku mau keluar beli bahan makanan soalnya kulkasnya kosong."
"Makan segalanya dia, tidak pemilih. Akhir-akhir ini Qei memang sibuk diluar, sehabis bermalam di hotel lanjut kerumah hari ini baru balik kesini. Kamu belinya yang sehat-sehat aja, dia butuh penyegar."
"Hmm oke, aku keluar dulu."
Pintu depan terdengar tertutup pertanda perempuan itu benar-benar keluar membeli bahan makanan, Qeila kembali menatap dinding.
"Ibumu, kamu pikir saya tidak tau kalau selama ini dia diam-diam terus mengawasimu, menjagamu dari jauh, dan mengirim Arfan dan Benfa untuk membantumu kembali melihat dengan alat seadanya. Barang tidak berguna itu spertinya harus saya perlihatkan kembali dimana posisinya."
Tangan Qeila gemetar tanpa sadar, apa benar Ameera melakukan itu semua?
"Kalian berdua itu menjijikan, untung saja barangku itu masih bisa dimanfaatkan dengan baik tidak sepertimu yang harus dibuang selamanya."
Ingin menangisi tapi Qeila lupa bagaimana caranya menangis, ia merasa kasihan tetapi benci diwaktu yang bersamaan. Perlahan, ia merasa dilema diposisi ini.
Benfa?
Apa perempuan itu benar-benar tau sesuatu karena ia cukup dengan keluarga Jespara apalagi Ameera? Siapa tau dengan dekat dengannya maka Qei akan menemukan jawaban-jawaban yang saat ini bersarang dikepalanya.
Tapi selama Qei di klinik itu, tidak ada Benfa disana. Hanya Arfan dan Kena yang selalu tertangkap dimatanya.
"Didalam kamarku, ada sebuah foto yang bisa membuatmu sadar mengapa kamu memang pantas dikatakan Barang cacat dan gagal. Penampilannya benar-benar mirip denganmu, kunikahi dia dengan penampilan menyedihkan, bukankah kalian sama-sama menyedihkan? Hahahha."
Percakapan ini terus saja terjadi saat Azura pamit ke toilet, Detan benar-benar tidak begitu menghargai istrinya yang katanya banyak disanjung banyak orang.
"Dan anda pikir saya sangat peduli dengan apa yang anda katakan? Selama saya masih mempunyai hak saya sendiri maka tidak ada masalah. Memangnya kenapa kalau istri anda menyedihkan, anda tidak malu membuka jati diri istri anda sendiri?"
"Saya hanya mengingatkanmu."
"Mengingatkan tentang apa? Saya hanyalah orang asing. Bisa saja saya muncul di media dan membeberkan semua apa yang anda katakan beberapa menit yang lalu. Seorang Detan menikah dengan seorang perempuan yang katanya sangatlah menyedihkan dan dimata Detan, perempuan itu hanyalah Barang tidak berguna, begitu?"
"Kamu!!!!"
"Dan haruskah saya mengatakan kepada media jika beberapa tahun lalu, Nyonya Jespara membuang anaknya karena anaknya buta. Begitu?"
"KAMU PIKIR KAMU SEMPURNA HAH?"
"Lalu?"
"KARENA KAMU SUDAH SEBESAR INI JADINYA KAMU LUPA DIRI?"
"Perempuan gila sepertimu harusnya tidak banyak disanjung banyak orang. Kamu pikir dengan menjadi arsitek terkenal itu akan menutupi kecacatanmu? Kamu itu cacat, tidak pantas untuk sempurna."
"Maupun anda mengatai saya gagal seribu kali, cacat berjuta-juta kali. Bagi semua orang saya paling utama untuk mereka, saya menjadi buruan mereka untuk diajak bekerjasama."
"Mereka selalu memuji saya sempurna, begitu cantik tanpa kekurangan sama sekali. Apa peduli saya ketika anda mengatakan saya kegagalan? Saya tidak pernah meminta anda berpendapat, saya hidup dengan cara saya sendiri."
"KAMU!!"
PLAK!
"DETAAN!"
Qeila kembali menatap tangannya yang masih gemetar, hidup yang begitu menyedihkan.
Ternyata menjadi orang punya segalanya itu tidak menyenangkan sama sekali, keluarganya bukan segalanya tapi tidak ada kebahagiaan sama sekali. Hanya perlakuan yang saling menjatuhkan satu sama lain.
***
Lexi menatap rekaman yang ada didepannya dengan emosi yang begitu besar, walaupun rasa bencinya pada perempuan itu masih sangat besar tetapi ia tidak menerima melihatnya ditampar oleh ayah kandungnya sendiri.
Ayah macam apa dia? Dimana-mana semua ayah akan menjaga putrinya dengan baik menjadikan mereka Ratu dalam istana megah yang ia bangun sejak dulu, tapi ini?
"Project terbaru kita dengan perusahaan Jespara apa?" tanyanya dengan emosi tertahan.
"Pembangunan vila di daerah Bogor, itu baru saja disetujui kemarin, Tuan."
"Tarik kembali dan bayar dendanya." ujarnya final, meninggalkan sekertarisnya sendirian di dalam ruangan itu dan Lexi berjalan keluar menuju mobilnya.
"Say-"
"Tidak perlu, saya ingin menyetir sendiri."
Dengan amarah yang begitu besar, ia mengendarai mobilnya dengan cepat.
Kalau saja Lexi bisa mengulang waktu, maka ia lebih menyukai Herlena yang dulu tidak terlibat banyak hal didunia luar sayangnya semuanya sudah berbeda. Dunia mengubah Herlena menjadi perempuan yang berbeda, sangat berbanding terbalik dengan sikapnya yang dulu.