13 - Lanjut Atau Tidak

2153 Words
"Apakah anda yakin ingin membatalkan kontraknya? Dendanya sangat tidak sedikit." Azura benar, nominal yang terlulis disana sangatlah tidak main-main. Kalau benar aku membatalkan kontrak maka uang yang akan Arfan keluarkan separuh uangnya sendiri, apa kabar dengan Kena? Sedekat-dekatnya kami harusnya aku tau diri juga. "Saya mewakili pak Detan sungguh minta maaf atas perlakuannya kemarin, Bu. Tapi apakah tidak bisa dipisahkan antara urusan pribadi dan pekerjaan." "Memang sepatutnya begitu, tapi bos anda tidak demikian. Andaikan bukan menggunakan uangnya mungkin video dia menampar saya dimuka umum sudah ditonton banyak orang. Bukankah disini saya yang sangat dirugikan?" Jadi Azura itu serba salah, mau kesana salah dan mau kesini juga salah. Tapi aku mana mungkin berada di pihaknya, aku menginginkan ketenangan dua tahunku, sejak menjalin kerjasama dengan keluarga kita dengan tidak sengaja sudah merenggut keseharianku. "Disini tertera, anda harus menjelaskan apa alasan anda untuk memutuskan kontrak." "Bukankah sudah jelas karena saya merasa tidak nyaman? Keselamatan saya terancam? Yang kemarin hanyalah tamparan, bagaimana jika pertemuan selanjutnya dia malah menikam saya dengan benda disekitarnya?" kukatakan dengan tegas, mataku tidak gentar sama sekali. Cukup sudah, setelah Lexi memberitahuku tentang kumpulan orang-orang didepan kompleks, dan menjelaskan tujuan mereka maka aku ingin ini segera selesai. Aku memang berniat melawan Jespara tetapi tidak begini caranya, salah. Aku akan melawannya dengan caraku sendiri, setelah memutuskan kerjasama ini akan kubangun satu perusahaan yang akan menandinginya di dunia bisnis. "Meskipun ada rasa tak rela karena sketsa saya nantinya akan diakui oleh orang lain, tetapi jika orang lain berada di posisi saya pastinya mereka lebih keamanan dirinya sendiri." ku edarkan pandanganku, kali ini Azura meminta menemuiku tepat berminggu-minggu setelah kejadian itu, dan tanpa sepengetahuan Detan sama sekali, sekertaris royal. "Resto ini akan berhasil, saya yakin itu. Karena desain yang anda ajukan sangat unik dan memuat banyak kalangan. Akan sangat disayangkan ketika anda memilih lepas tangan, ketika Resto ini jadi maka nama anda akan menggema dan makin banyak di kenal banyak orang." Itu benar, ini akan menjadi restoran terbaru di Bandung yang memuat banyak kalangan, dan jika aku melanjutkan sampai pembukaan dan pemotongan pita nanti maka namaku dan jasaku akan banyak disukai orang. Tetapi tidak. Detan itu berbahaya, licik dan tidak pandang siapa yang sedang ia sakiti. Malahan keinginannya untuk menyingkirkanku pasti sangat besar sekali. "Tidak bisa, silahkan siapkan membatalan kontrak denganku dan hubungi saya jika semuanya sudah selesai. Saya seharusnya membawa ini ke jenjang hukum dan membuat saya tidak membayar denda sama sekali, sayangnya tidak. Harga diri seorang Detan akan ku rendahkan bahkan lebih rendah dari seorang pengimis." Terlihat Azura menggengam map dengan gemetar. "Perhatikan wajah saya dan dengarkan apa yang ingin saya katakan." Sekertaris penggila kesempurnaan itu menatapku dengan mata takut. "Nama asliku adalah Herlena Jepsara, telah dibuang oleh Nyonya Ameera Jespara 14 tahun lalu dipinggir jalan karena cacat atau buta. Bukannya mencarikanku donor mata, mereka memilih membuangku tanpa iba sama sekali." Mata Azura membulat. "12 tahun, saya hidup dalam keadaan antah berantah. Kembali kesini malah dihina habis-habisan oleh keluargaku sendiri. Saya mengatakan ini bukan meminta belas kasih, hanya saja saya ingin kamu melihat bagaimana besarnya keinginan saya untuk menghancur mereka semua." Ruangan, ya kami berada diruangan makanya aku leluasa bersuara. "Kembaranku yang Malang sekali, bukan?" Pintu ruangan terbuka tepat setelah aku menanyakannya, terlihat dia yang selama ini tidak pernah kusapa sama sekali, seseorang yang baru saja kutanyakan pada Azura. "Kamu? Kamu yang Azura temui diam-diam?" Aku tertawa kecil, berdiri tepat didepannya. Adikku yang Malang. "Kudengar, kamu hamil lagi? Apa madumu hamil lagi?" dia mundur beberapa langkah mendengar bisikanku. Aku tertawa lagi, kembali duduk dan menyilangkan kaki. Menatapnya dengan senyuman tidak memudar sama sekali, aku cukup penasaran siapa yang memberitahunya soal pertemuan kami. "Kamu mengkhianati Papaku?" tanyanya Pada Azura membuatku melepaskan tawaku. "Jika ingin saling menuduh, biarkan saya pergi terlebih dahulu." ku alihkan perhatian ku ke Azura, "segera urus membatalkan kontraknya dan pihakku akan mengurus dendanya. Terimakasih." meskipun aku kurang suka padanya, tetap aku berusaha menghargainya. Aku berdiri tepat didepan Herlina, "yang beruntung disini adalah aku, menjalani keseharian tanpa adanya tuntutan sempurna sama sekali, yang kuat." tanganku ingin menepuk pundaknya tetapi langsung ia tepis cepat. "Selamat berjuang untuk anak ketiga kalian. Aku menunggu kabar keponakanku segera," Kuberikan senyum termanisku, berniat memeluknya tetapi Herlina malah mundur beberapa langkah. "Kita harusnya Bekerjasama membuat kedua orangtua itu mengerti, seharusnya mereka percaya akan prestasi anaknya bukan malah menuntutnya berbagai macam. Kurasa, kamu yang terlalu depresi disini. Bukan begitu Azura?" Kutolehkan kepalaku kebelakang menatap Azura, ia gelagapan mungkin bingung ingin menjawab apa. "Bukankah melelahkan merawat 2 anak bahkan menuju 3 anak disertai dengan banyaknya tuntutan yang keluarga itu berikan padamu?" Kuperhatikan wajahnya, Mata itu sangat memancarkan kekosongan. "Tinggalkan kegelapan sebelum kegelapan benar-benar menelanmu." Setelah mengatakan itu, aku benar-benar pergi dari ruangan itu. Ya, aku merasakan badan Herlina mematung saat aku melewatinya. Mau seberusaha apapun kami menolak, kami tetap mempunyai ikatan yang begitu erat, kembar bukan sesuatu yang bisa elakkan. Bukannya mencari taksi, aku malah duduk di bawah pohon sedikit dekat dengan restoran mahal yang kutempati bertemu dengan Azura. Badanku menegak menatap Azura yang sedang dibentak oleh Herlina, apakah harga diri memang memang harus mati jika bekerja di Jespara? Membentaknya dimuka umum adalah sebuah kesalahan besar. Tidak, aku tidak akan datang kesana lalu menolong Azura. Untuk apa? Ku perhatikan jam, penjemputku akan segera tiba. Sejak kejadian adanya orang banyak didepan kompleks, Arfan memintaku pindah ke apartemen dan Lexi, entah ada apa dengannya malah memberiku satu supir yang siap mengantarku kapan saja dan dimanapun aku mau. Mobil yang kutunggu tiba, aku menoleh sekali lagi pada Azura. Mereka sudah tidak ada disana, mungkin setelah ini akan menjadi hari yang cukup panjang untuk Azura karena kedapatan menemuiku tanpa seizin atasannya sama sekali. "Silahkan masuk, Nyonya." Aku masuk kedalam mobil dan mobil meninggalkan tempatku tadi. Adikku, ya dia! Dia juga mengalami banyak hal. Aku malahan lebih bersyukur karena dibuang daripada ditampung tapi dianggap barang setiap harinya. Serasa bebas dan tidak ada hal yang harus ku kejar setiap harinya. "Anda akan menghadiri pesta malam ini, Nyonya." Aku mengerutkan keningku, "bukankah pestanya sudah dilaksanakan beberapa hari lalu?" "Ditunda nyonya, kudengar ada yang kurang. Kita membeli pakaian atau bagaimana?" Kuputar otakku cepat, malam ini akan ada pesta antar pebisnis yang dilaksanakan oleh satu pengusaha terkenal. Karena aku pernah bekerjasama dengannya maka dengan hormat, aku juga mendapatkan undangan berwarna silver bercorak gold itu. Malam ini pastinya banyak kalangan yang datang, dan aku sangat yakin mamaku dan adikku tercinta juga akan datang juga. Aku ingin menjadi pusat perhatian malam ini, apalagi ada beberapa pebisnis terkenal yang juga mengenalku beserta istrinya juga tentunya. Mengingat itu semua membuat ini semakin menarik. "Kamu ada saran mana butik atau salon terbaik?" "Ada Nyonya, mau kebawa kesana?" "Kita pulang ke apartemen dulu, aku ingin mengambil sesuatu. Hanya sebentar, setelahnya kita akan kesana." "Baik Nyonya." Aku tersenyum senang, ini terasa menghiburku sekali. Bandung memang menyenangkan, aku menyukainya dan selamanya akan menetap disini bersama orang masa depanku. *** Merasa barang gantiku sudah oke semua. Aku mengunci apartemen dan turun kebawah dan supir itu dengan segera membukakan pintu mobil untukku, ah aku merasa sudah kaya padahal ini bukan milikku sama sekali. Mobil melaju dengan sedang, akhir-akhir ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di mobil, ini terasa mobil kedua bagiku. Aku paling menyukai menatap kegiatan warga disini, mereka hidup dengan damai saling bekerjasama walaupun terkadang aku miris menatap anak-anak yang mencari nafkah dengan wajah dan tubuh tidak terurus sama sekali. "Silahkan tidur jika ingin Nyonya, perjalanan kita sekitar 40 menit." Bukannya tertidur, aku malah membuka buku sketsaku menatap sketsa yang akan kuperlihatkan pada Lexi nantinya. Ingin membangun kost-kostan katanya, padahal seharusnya agar lebih menguntungkan dia membangun hotel Bintang lima, restoran VVIP, dan hal mahal lainnya. Sudahlah, kenapa aku harus memikirkan orang menyebalkan sepertinya? Membuat kebebasanku makin berkurang sejak bersamanya. *** "Silahkan masuk, Nyonya. Saat anda naik ke apartement saya sudah mengatur janji dengan pemiliknya." "Terimakasih." "Sudah tugasku, Nyonya." Aku merasa tersanjung dan dihargai dengan perlakuannya padaku, baru kali ini aku merasakannya. Kudorong pintu butik membuat semua pandangan orang mengarah padaku, kuperlihatkan senyum tipisku dan berjalan ke arah pegawai yang berdiri di sudut ruangan. "Selamat datang, ada yang perlu saya bantu?" "Janji temu atas nama Qeila Purnamasari?" jawabku dengan suara tegas, menampilkan sikap kalangan atas. "Bu Qeila? Selamat datang. Maafkan saya karena tidak mengenali anda dan menyambut anda dengan baik." Aku memang ingin dihargai, tapi kurasa ini cukup berlebihan sekali. Memangnya aku siapa sampai-sampai harus disambut sedemikian megah? "Sekali lagi saya minta maaf, mari saya antar ke ruangan ibu Direktur." Kuikuti langkahku sambil berdecak kagum dalam hatiku, aku tidak tau jika supirku memiliki koneksi seluar biasa ini. Padahal setahuku dia hanya seorang supir, ternyata tidak, aku tidak boleh meremehkannya. "Silahkan masuk." "Terimakasih." Dia terpekik senang disampingku dan mengucap maaf setelahnya, berjalan meninggalkanku dengan wajah berseri-seri. Ada apa dengan anak itu? Aku memeriksa penampilanku sekali lagi, setelahnya mendorong pintu. Jejeran pakaian yang terpasang di patung cukup membuatku terpukau, untung saja aku bisa mengontrol mimik wajahku. "Ternyata ini perempuan yang bisa membuat Seorang Lexi kayak orang gila." Aku berhenti melangkah, menatapnya dengan pandangan bertanya. "Saya adiknya papanya Lexi, ayo kesini. Saya bakal liatin kamu baju yang paling cantik dan membuat kamu Ratu semalam." ia menarikku tepat didepan jejeran pakaian cantik itu. "Nah, mana pakaian yang pas untuk Ratu kita malam ini." "Badan kamu jangan tegang begini dong, padahal tadi Lexi mengatakan padaku kalau kamu itu galak, judes, mukanya kayak mau ngajak berantem." dia menutup perkataannya dengan tawa kecil, Otakku berusaha memproses apa yang dia katakan, jadi semua kehormatan yang kudapadkan karena laki-laki menyebalkan itu? "Keponakanku curhat padaku, katanya kamu mengkhianatinya dulu. Dia sangat ingin bertanya mengapa kamu mengkhianatnya tetapi tidak bisa, ingatanmu menghilang. Oh iya, ini rahasia kita berdua jangan sampai Lexi tau jika aku mengatakan ini padamu." Kata 'saya' yang awalnya dia pakai berubah menjadi 'aku. Mengkhianati? Ya, samar-samar ingatanku juga menjelaskan demikian. Kata-kata pengkhianatan terus berdatangan, tetapi bukan Lexi disana, yang ku khianti adalah Langit, bukan Lexi. "Bagaimana jika kamu menggunakan pakaian berwarna hitam? Kurasa kontraks dengan kulitmu yang putih." Dia terus bergumam sembari terus menarikku mendekati satu persatu pakaian yang terpasang di patung, katanya ingin mencocokkan dengan warna kulitku, memangnya ada kaitannya ya? "Pakenya silver aja, cocok dan cukup tertutup tapi elegan." Dia menarikku duduk di sofa dan dia sibuk mengeluarkan baju dari patungnya. Memasukkan pakaian itu kedalam paper bag dan menyerahkannya padaku. "Pas Nyari sepatu nanti, usahain warna senada dengan bajunya. Jangan yang terlalu tinggi heelsnya takutnya pas jalan sama Lexi nanti kamunya ketinggian. Tinggi kalian hampir sama soalnya," Sejak masuk hingga sekarang, aku belum membuka bicara sama sekali yang ada hanyalah dia yang katanya Tante Lexi itu yang terus menerus berbicara. Engga capek apa? "Nih, pokoknya malam ini kamu harus cantik. Masa iya pendamping seorang Lexi biasa aja? Tanpa make up sebenarnya udah oke, tapi kita harus membungkam mulut-mulut tukang nyinyir. Oke?" Kuterima paper bag yang dia sodorkan dan mencoba mengabaikan kata 'pendamping' yang ia sebutkan tadi. Laki-laki yang suka ngajak ribut itu hutang penjelasan denganku. "Yaudah, terimakasih Tante. Saya bayarnya didepan kan ya?" "Eh eh kok bayar? Engga dong. Itu spesial untuk kamu, Lexi juga bakal ngambek sama Saya kalau kamu beneran bayar gaun itu." Ohh gitu ya, ternyata dia bisa ngambek juga. Baru tau. "Hati-hati dijalan, engga bisa menemani kamu sampai luar soalnya masih ada kerjaan." "Engga papa Tante." Kami berpelukan singkat dan sesegera mungkin keluar dari ruangan mengerikan itu. Sesampainya di luar aku menatap pegawai yang membawaku ke dalam tadi, dia membalas senyumku dan memeluk orang didekatnya yang kuanggap pegawai juga. Dia terlihat sangat senang. Tapi aku tidak peduli, sperti biasanya. "Sudah selesai, Nyonya?" Ku anggukan kepalaku, dan dia segera membukakan pintu untukku. Okey, akan kubalas Lexi nantinya, dia pikir aku tidak punya uang sama sekali sampai-sampai harus membawaku kemari? Ke butik tantenya? Walaupun aku pecinta gratisan, masa iya baru Perdana bertemu tetapi sudah diberikan gratisan? "Sudah sampai Nyonya, silahkan turun." "Loh?" "Salonnya memang hanya berjarak beberapa meter dari butik tadi. Jadi, silahkan." "Apakah ini juga keluarganya Lexi?" "Kalau tidak salah, pemiliknya adalah sepupu Tuan Muda. Harap segera turun Nyonya, beliau sudah tidak sabar menunggu anda." Aku menatap keluar mobil, di teras salon megah itu terlihat ada perempuan cantik dengan senyuman senangnya terus menatap kearah mobil ini. "Itu pemiliknya?" "Benar Nyonya, kumohon. Setahuku beliau itu sangat tidak suka menunggu, ini Pertama kalinya saya melihatnya bisa sesabar itu." Ada satu pertanyaan, "Kamu sudah berapa lama bekerja di Lexi? Kerjaanmu sebelum menjadi supirku apaan?" "Oh itu. Saya sudah lama bekerja disana, sebelumnya saya asisten pribadinya Tuan besar akan tetapi saat mengetahui perempuan yang dekat tuan muda sedang mengalami bahaya. Tuan besar memintaku menjadi supir pribadi anda, sekaligus menjaga anda." Kepalaku pusing sekarang, benar-benar pusing. "Sebagai gantinya, Tuan muda harus fokus ke perusahaan." Sudahlah, itu urusan Lexi. Bukan urusanku sama sekali. Lagian tujuanku sekarang adalah membuat Ameera tergeserkan dan akulah menjadi pusat perhatian malam ini. Jika biasanya orang hanya akan menatap Ameera maka malam ini beda, malam sejarahku. Dengan senyum mengembang, kupinta yang katanya asisten itu membuka pintu. Dan ya! Teriakan gembira itu terasa panggilan nerakauntukku dalam beberapa jam kedepan. "AAAA KAK QEILA CANTIK BANGET! SINI KAK! SINI!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD