14 - Menuju Pesta

2150 Words
"Tadi tante Sesa bilangnya pake sepatu apa?" Aku menoleh sejenak padanya, perempuan yang cerianya tidak berkurang sama sekali. "Dia bilang, jangan pakai sepatu berheels tinggi takutnya malah saya yang lebih tinggi dari Lexi, dan mengenai warnanya katanya samain aja sama warna bajunya. Antingnya? Saya lupa dia membahas soal anting atau tidak tadi." Perempuan itu kembali keluar ruangan meninggalkanku bersama perempuan yang sejak tadi memoleskan make-up diwajahku. "Pacarnya Tuan Lexi ya? Soalnya sejak ditelpon dengan nyonya Sesa. Mba Denia langsung ceria dan senangnya sampai membuat kami ikut tertawa. Kayaknya dia senang karena akhirnya kakak sepupunya mempunyai pacar." Tidak kujawab, yang ada didalam kepalaku adalah memukul Lexi dengan brutal karena merencanakan ini semua tanpa sepengetahuanku sama sekali. Maksudnya apa hingga membuat semua orang menganggap aku adalah pacarnya? Memangnya hubungan kami sedekat apa sampai aku harus disanjung seperti ini? Padahal jika kami bertemu, hanya ekspresi judes yang kuperlihatkan padanya. "Kak Langit tau engga? Aku tuh pengen banget pake baju cantik terus didandanin kayak Ratu gitu. Anak-anak sini terus bilang katanya jadi Ratu itu Bagus, jadinya aku pengen Coba juga." "Oh ya? Kamu maunya pake baju warna apa?" "Aku engga tau warna apa Bagus karena belum pernah melihat warna itu bagaimana rupanya. Tapi kata anak-anak sini, warna silver itu cantik. Identik dengan kata Ratu." Aku menegang, badanku tiba-tiba gemetar. "Ehh Mba, kenapa?" sayup-sayup suara MUA itu kudengar. "Aku pengen masuk pesta, anak-anak kemarin yang kakak bawa pergi itu. Mereka bilang pesta itu meriah, banyak yang puji kita dan sayang sama kita. Aku pengen dipuji, aku pengen disayang. Aku ingin ke pesta kak Langit. Apakah keinginanku bisa terkabulkan?" "Bisa, aku yang akan mengabulkannya." "Hahahah, terimakasih kak Langit." Pandanganku semakin mengabur. "QEILA!" badanku tersentak dan penglihatanku kembali seperti sebelumnya. Ingatan macam apa itu? Kenapa bisa kebetulan dengan keadaanku sekarang? "Kamu engga papa?" aku menoleh kesamping, Lexi? "Ngapain kamu disini?" balasku ketus, kudengar helaan napasnya. Ada apa dengannya? "Silahkan dilanjutkan, kalau ada apa-apa lagi. Panggil saya diluar." "Baik tuan." Lexi berlalu, dan MUA itu kembali memoles wajahku. Kenapa kejadian ini malah tersambung dengan ingatan yang tiba-tiba saja datang? Di ingatan itu aku tidak pernah tau bagaimana rupa warna, bukan? Aku menatap beragam warna eye shadow didepan sana, begitu banyak warna. "Saya kaget banget tadi, Mba. Terasa jantungan dan Tuan Muda juga khawatir banget tadi." Aku hanya tersenyum, bukan inginku seperti ini. Ingatan-ingatan membingungkan itu terus saja berdatangan, seolah memaksaku kembali ke masa lalu. *** "Emang sering begitu ya?" tanyanya pada sepupunya yang baru saja duduk. "Dia Amnesia, ingatannya akan datang secara tiba-tiba. Untungnya semalam, Arfan mengatakan padaku. Ketika sedang seperti tadi kita harus bisa menarik Qeila kembali kalau tidak ingatan itu akan menguasainya dan berakhir pingsan." Denia menutup mulutnya dengan telapak tangan, tidak menyangka. "Kamu jangan terlalu kentara ingin dekat dengannya, biarkan semuanya berjalan sesuai takdir saja. Oh iya, mana pakaian yang Tante Sesa siapkan untukku?" "Apa harus silver? Dari semua banyaknya warna cantik, apakah harus silver?" Lexi tertawa pelan, ini adalah keinginan Herlena sejak dulu. Dan tanpa sepengetahuan Herlena, Lexi-lah yang membuat pesta itu hanya untuk Herlena seorang. Walaupun ia masih kecewa, tapi setidaknya ia bisa mengabulkan keinginan Herlena yang begitu banyak. "Ditanya malah senyum-senyum sendiri." protes sepupunya itu. "Bagaimana?" tanyanya lagi, setelah memakai jas yang telah disediakan Tantenya sejak kemarin. "Yakin menanyakan hal seperti itu? Bukannya banyak perempuan yang sudah mengincarmu sejak lama." Lexi tertawa, padahal pestanya masih beberapa jam lagi tapi ia sudah banyak tertawa hanya dengan membayangkan betapa bahagianya Herlena nanti. "Jarang banget sebahagia ini, apa sudah mengenalnya sejak lama?" Lexi membuka jasnya kembali, menggantungnya. "Papaku bilang apa sama kamu?" bukannya menjawab pertanyaan sepupunya, Lexi malah mengalihkan pembicaraan. "Dia ingin bertemu dengannya, malam ini Om akan datang ke pesta itu juga demi bertemu dengan perempuan yang berhasil membuat anaknya sperti orang gila. Orang mana yang ingin membuat pesta besar dan megah demi satu perempuan? Dan orang itu tidak ingin perempuan itu tau sama sekali?" "Bukankah itu bisa membuat perempuan jatuh hati?" Deina bungkam. "Aku kedalam dulu mau liat sudah sampai mana," Lexi duduk sendirian, ia memang sudah gila. Bukannya menjauhi Herlena karena sudah mengkhianatinya tapi malah ia dekati dan membuatkannya pesta yang sangat mewah. Memejamkan matanya santai, kepalanya terasa pening karena pekerjaan yang begitu banyak. Apa yang tiba-tiba Herlena ingat tadi? Apakah ada hubungannya dengan pesta malam ini? Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, Lexi masih mengingat dengan jelas bagaimana cerianya wajah Herlena saat itu, mendatanginya dan mengatakan ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang Ratu dalam sebuah pesta? Keinginan sederhana seorang perempuan buta, yang datang padanya dengan tongkat kayunya serta pakaian yang hanya diganti tiga hari sekali. Mandi pun Lexi tidak tau, mungkin hanya dua hari sekali. Kehidupan Herlena yang dulu cukup menarik perhatiannya, tidak pernah menyerah dan menganggap semuanya memang sudah takdirnya. Tetapi sekarang berbeda, pancaran matanya berbeda sekali. "Andaikan bukan karena lo, mungkin gue udah menjualnya sejak lama." "Lah, apa hubungannya sama gue?" "Semua teman tau kali kalau lo punya rasa sama dia, makanya selama dia disini kita engga ganggu dia sama sekali. Paling sesekali cuman ngebentak karena dia lelet dalam nyiapin makanan." "Yailah lelet, orang buta bego." "Hahah, lo engga nyangkal kalau lo suka sama dia?" "Hm hm." "Gue selalu dukung apapun yang lo mau Lex." "Jangan panggil gue kayak gitu, nanti ada yang denger." "Hahahah, heran gue. Anak orang kayak malah terjebak disini demi perempuan buta." "Iyain ajalah ya." "Hahhaha, semangat bro." Derapan langkah kaki membuat Lexi membuka pejaman matanya, Deina datang dengan senyuman cerianya. "Pake look natural seperti mau kamu, pokoknya semua warna yang dipake di wajahnya harus sedang. Nanti liat aja, baru pake baju." "Memangnya pestanya sudah dekat?" "Masih satu setengah jam, tapikan harus ke sebelah bareng aku untuk liat perhiasan sama sepatu. Oh iya, dia sudah taukan kalau tempat sini itu milik keluarga besar kita?" "Belum, yang dia tau hanya tempat Tante Sesa dan tempatmu. Jangan kasi tau, takutnya dia tambah kesal sama saya." ia kembali memejamkan matanya, lelah juga. "Suka banget ya sama dia? Aku jadi pengen tau bagaimana latar belakangnya." "Jangan macam-macam, Dei." ancamnya membuat Deina memutar matanya malas. Deina sangat penasaran dengan latar belakang perempuan yang sangat Lexi sukai itu, apakah berbakat ataukah hanya perempuan yang suka menghamburkan uang? Atau sengaja memanfaatkan ingatannya demi memporoti sepupunya yang bucinnya sudah sangat akut? "Berhenti berpikir yang tidak-tidak, cek lagi kedalam apakah sudah selesai atau tidak." Andaikan bukan karena papanya Lexi yang memintanya maka Deina tidak akan pernah mau serepot ini demi orang asing yang tidak ia tau sama sekali. Ia masih punya banyak pekerjaan. Meninggalkan sepupunya sendirian, Deina kembali masuk kedalam. "Apa saya harus kesana? Lagian saya sudah mempunyai kalung, gelang dan cincin sekarang lalu kenapa harus diganti lagi?" Deina mengerutkan keningnya bingung mendengar ucapan perempuan yang tadi sepupunya panggil dengan nama 'Qeila' "Anda membutuhkan perhiasan yang sesuai dengan pakaian anda, kalau memakai ini kesannya tidak cocok karena perhiasan modelan seperti ini biasanya dipakai untuk sehari-hari." "Menurut saya semua perhiasan sama saja, lagian ini kubeli beberapa bulan yang lalu jadi saya rasa masih bisa dipakai." Deina semakin penasaran siapa Perempuan yang ada di dalam sana, ia meraih ponselnya membuka laman pencarian. Kan siapa tau menemukan informasi tentangnya. Hanya satu kata yang ia ketik. 'Qeila' Matanya membulat menatap rentenan artikel yang terlihat beberapa detik kemudian. Jadi... Jadi dia adalah Qeila yang itu, yang selalu teman-teman bisnisnya katakan setiap pertemuan. "Rencananya aku pengen buka butik khusus fashion gitu, mau nyewa jasanya Qeila." "Ihh aku duluan, biayanya sudah ada tinggal nunggu jamnya Qeila kosong." "Apa-apaan, yang pertama bahas Qeila kan aku. Project vilaku sudah hampir rampung tinggal minta sudut pandangnya Qeila aja." Menutup laman pencarian itu, Deina menyimpan ponselnya. Okey, ia akan memamerkan kebersamaannya dengan Qeila di pesta nanti dan kelima sahabatnya akan semakin iri padanya. "Mba, sudah selesai?" tanyanya dengan suara agak sedikit dibesarkan. "Hampir Nyonya, tinggal rambutnya di tata sedikit. Soalnya pas pemasangan baju tadi sedikit berantakan." Deina tidak bertanya lagi, menunggu dengan sabar dan nyaman. Kini ia tidak penasaran lagi. *** Kulangkahkan kakiku keluar ruangan, perempuan ceria itu menyambutku dengan senyum senangnya, serasa anak kecil yang baru saja mendapatkan permen. "Ayo, kita lewat samping." ku kerutkan keningku bingung, lewat samping? Sekaya apa keluarga laki-laki gila itu? Hanya beberapa langkah kebelakang dan dia membuka pintu yang langsung menampilkan ruangan serba putih serta sofa berwarna coklat. Terhubung dengan ruangan pribadinya? Hebat sekali. "Mama! Mana perhiasannya." Kepalaku makin pening sekarang. Tadi Tantenya, lalu sepupunya kemudian mama sepupu nya. Berapa banyak orang yang Lexi repot kan demi sebuah pesta singkat itu? Perempuan anggun datang, ya aku menamainya seperti itu. Cantiknya kebangetan membuatku terasa minder mendekat padanya. "Kenapa make-upnya begini? Kenapa bukan bold aja?" "Kak Lexi maunya yang simpel dan natural. Yaudahlah itu maunya dia, mana perhiasannya? Sepatunya juga? Kata Tante Sesa sepatunya yang standard tinggi mereka berdua hampir sama soalnya." Aku ditarik bagai patung keluar dari ruangan, kepalaku makin pening melihat banyaknya perhiasan asli yang terpasang di etalase, jejeran sepatu yang kuyakini harganya sangat tidak main-main. "Yang ini? No no. Ini terlalu mewah." "Kalau yang ini, kayaknya terlalu berlebihan juga." "Kalau yang ini, hmm oke. Mba! Bawain saya paket lengkapnya yang ini." Ditarik kesana kemari, mencoba perhiasan beberapa dan sepatu juga. Dan aku mengembuskan napas lega setelah diizinkan duduk sementara ada dua orang yang sibuk memakaikan perhiasan padaku. Kakiku ditarik pelan membuatku tersentak kaget. "Ehh maaf Mba. Saya pengen memakaikan sepatu." badanku kembali rileks, dan mereka bertiga kembali melakukan apa yang diperintahkan untuknya. Sembari menunggu, mataku mengedar menatap ruangan yang serba putih ini. "Kenapa jika dilihat dari belakang, mama terasa melihat Herlina ya? Anaknya Tante Ameera langganan toko mama itu loh." "Yakali, itu beda. Dia itu Qeila, arsitek yang diincar banyak orang. Jangan ngawur deh Ma." "Bukannya dulu ada kabar anginnya kalau putrinya hilang ya, kembarannya Herlina." "Tapikan kepala keluarganya sudah melakukan konferensi pers, anaknya yang itu dinyatakan menghilang dan mungkin sudah meninggal disuatu tempat." "Oh... Sepertinya mama terlalu lama tinggal di luar negeri jadinya ketinggalan informasi." Walaupun suaranya di pelankan, Aku masih dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Keluarga itu memang penuh akan sandiwara. "Sudah selesai Nyonya." Mereka bertiga mundur dan pamit keluar. Aku menatap diriku sendiri melalui cermin besar disudut ruangan, benarkah itu aku? Mengapa terasa berbeda? "Menurut kalian, aku cantik?" "Kak Herlena cantik, sangat sangat dan sangat cantik." "Benar, kak Herlena cantik." Pandanganku memudar, perlahan mengabur dan teriakan-teriakan seolah memenuhi ingatanku. "Tidak! Jangan membawanya!" "Kak Herlena, aku akan menjadi penurut disana." "TIDAK!" "QEILA!" Ku raup oksigen dengan cepat, mataku berair. Ingatan macam apa itu? Mengapa ada anak kecil? Aku mendongak, menatap ibu dan anak yang menatapku dengan cemas. Entah siapa diantara mereka yang meneriakiku tadi, siapa anak-anak itu? Kenapa teriakan mereka terasa snagat memilukan,tangisan mereka. "Kamu sudah ditunggu sama Lexi di sebelah, segera kesana." Segala pertanyaanku terhenti, aku tersenyum menatap mama sepupunya Lexi. Sepupunya merangkul pundakku dan membawaku ke sebelah tempat Lexi berada. Yang laki-laki itu sambut dengan kata 'sempurna' saat melihat penampilanku. Kami saling berpegangan tangan, dan aku hanya menurut tanpa bantahan sama sekali. Kami sama-sama melangkah keluar, dan supir dengan cepat membukakan pintu untuk kami. Mobil berjalan dan keheningan diantara kami terasa sekali, tangan kananku masih ia genggam sedang tangan sebelah lagi memegang tas yang sepupunya sodorkan padaku, katanya segala keperluanku sudah ada didalam tas berukuran sedang ini. Termasuk ponselku. "Langit." ujarku tiba-tiba, mataku mengarah ke luar. "Aku sangat ingin bertemu dengannya, apakah kamu bisa membantuku?" tanyaku tanpa memandangnya sama sekali. "Kenapa kamu ingin bertemu dengannya, apakah dia kekasihmu?" ada jeda selama semenit hingga akhirnya Lexi menjawab pertanyaanku. "Dalam samar-samar ingatanku, namanya selalu datang. Dalam ingatanku, aku memintanya menjadikanku Ratu dalam sebuah pesta. Saya tidak tau ini kebetulan atau tidak. Banyak hal yang ingin kutanyakan padanya, sangat banyak." Dia tidak bersuara, aku tidak tau mengapa tiba-tiba aku membahas Langit bersamanya. "Dokter Arfan memintaku untuk tidak menggali masa laluku karena itu hanya akan membuatku hancur. Ingatanku pulih maka nyawaku sebagai taruhannya. Tapi aku hanya ingin bertemu Langit, laki-laki yang kurasa snagat dekat denganku." Lampu jalanan Bandung ternyata sangat cantik dan kemana aku selama ini sehingga baru bisa melihatnya? "Dokter Arfan, dia selalu merasa frustrasi setiap aku menanyakan Langit padanya. Aku hanya ingin tau satu hal." Aku terus berbicara walaupun orang di samping ku sepertinya tidak ingin mendengarnya sama sekali, aku hanya butuh melepaskan bebanku karena di pesta nanti aku akan berusaha sekuat mungkin untuk menandingi Ameera, ibu kandungku sendiri. "Apa yang ingin kamu tau?" Aku menoleh padanya, menatap matanya langsung. "Aku ingin tau apa yang telah ku khianati olehnya, mengapa aku melakukannya dan mengapa aku bisa berakhir mengerikan didekat dermaga?" ucapku dengan suara pelan. "Aku ingin tau sebesar apa pengkhianatan itu, apa alasanku melakukannya dan apa sebenarnya yang hadir diantara kami. Dalam ingatanku, kami begitu dekat." Karena tangan kami masih saling tergenggam, kurasakan tangan Lexi mendingin. "Kenapa kamu malah ingin menanyakan apa alasanmu mengkhianatinya? Padahal seharusnya kamulah yang menjelaskan apa alasan pengkhianatan itu ada." Aku menunduk lemah, "walaupun ingatanku menghilang, feelingku mengatakan aku tidak pernah mengkhianati siapapun." jawabku lemah, pasrah. Dia melepaskan genggaman tangan kami dan menoleh keluar. "Itu urusanmu bukan urusanku." Aku kembali memperbaiki dudukku, ya itu urusanku. Tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan seorang Lexion.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD