24 - Saya Bukan Bagiannya

2057 Words
"Kamu sudah baikan?" Ku anggukan kepalaku tanpa menatapnya sama sekali, tanganku sibuk menggambar sketsa pesanan yang harus selesai lusa. Beberapa hari ini aku tetap bekerja, mengabaikan foto perempuan lusuh yang Andatio perlihatkan padaku, tapi tidak ada pertemuan hanya mengirim kerjaan lewat email. Aku baru saja bangun sudah disambut laki-laki ini disampingku, duduk di lantai dengan tangan mengenggam erat tanganku. Kepalanya ia sandarkan ia pinggir ranjang, ikut tidur. "Kamu bisa pulang," usirku tapi tidak ia pedulikan, malahan kini duduk di kursi nyaman membaca salah satu buku yang ada di rak bukuku,kenapa Juga harus bertemu dengan orang keras kepala? "Pak Lexion yang terhormat, anda bisa pergi dari sini." "Itu caramu berterimakasih padaku?" Kami saling berpandangan sebentar sebelum aku kembali menunduk, pokoknya aku tidak boleh jatuh Cinta dengan laki-laki gila spertinya, aku hanya perlu bekerja dan bekerja. Memperlihatkan pada keluarga Jespara jika aku bisa. "Diabaikan?" Hujan Bandung sudah berhenti, hanya suasana angin yang terasa dingin sekali. "Kak Langit suka makan roti tanpa selai? Memangnya bentuk roti itu bagaimana?" Suara hentakan sepatu membuatku kembali ke masa kini, hampir saja ingatan menyedihkan itu menguasai semuanya. Lexi berjalan kearahku, ikut melihat kelayar tab yang baru berisi baris-baris baru awalan. "Aku akan buatkan roti panggang sekaligus untukku juga, tapi aku tidak suka kalau ada selainya." "Lexion." Ia berbalik melihatku, kuberanikan diri membiarkan tatapan kami bertahan lebih lama. "Kamu Kak Langit kan?" tanyaku, wajahnya masih tenang tanpa perubahan ekspresi sama sekali membuatku bingung menebaknya seperti apa. "Barusan ada suara perempuan dalam pikiranku, menanyakan apakah Langit suka roti tanpa selai, bukankah kamu juga sama?" Bukannya menjawab pertanyaanku Lexion malah mengedipkan matanya sekali lalu meninggalkanku sendirian. Aku membenci dibuat penasaran begini, kalau memang dia Langit harusnya dia membenciku bukan malah melindungiku setiap saat. Kumatikan tab, mengikutinya masuk kedalam dapur. "Aku baru tau kalau kamu mempunyai rasa penasaran yang cukup tinggi, tunanganku." "Berhenti bermain, Lexion. Jawab saja pertanyaanku," Lexion membalikkan badannya, ada dua buah roti di piring. Ikut duduk berhadapan denganku, "memangnya yang punya kebiasaan seperti itu di dunia ini hanya aku? Papaku juga mempunyai kebiasaan yang sama. Atau sekarang kamu juga beranggapan kalau papaku adalah Langit? Memangnya sepenting apa Langit bagimu?" Dasar Lexion gila. Daripada mengurusnya, lebih baik aku makan roti panggang buatannya. Menjernihkan pikiranku dari mencurigai Lexion adalah Langit. "Mungkin terkesan aneh, tapi saya benar-benar ingin bertemu dengannya. Menemukan semua jawaban yang memenuhi pikiranku selama ini." ujarku disela-sela kunyahanku. "Ada pertemuan penting nanti malam. Mau ikut? Aku ingin memamerkan tunanganku." "Tidak mau." "Aku akan membantumu mendapatkan lebih banyak project, di pertemuan nanti malam akan banyak kerjasama yang disepakati. Bagaimana? Tertarik?" Aku menerima uluran tangannya mengembangkan senyum selayaknya sedang menyepakati kerjasama. Apapun akan aku lakukan demi mendapatkan banyak jalinan kerjasama agar aku lebih banyak dikenal orang-orang, dan namaku makin besar. "Padahal dengan terus berada disampingku, kamu sudah mampu menyaingi Detan." Aku mendekatkan wajahku padanya menatap lekat matanya, "posisi itu memang menyenangkan, sayang. Tapi saya ingin meninggi atas keinginanku sendiri dan preestasiku bukan menjadi bayangan disisimu." ku mundurkan wajahku kembali, menikmati roti panggang hingga habis. Bandung. Kamu mungkin Indah, tapi saat ini bantu aku menemukannya. Aku ingin bertemu Langit setelah sukses nanti, aku ingin menanyakan alasan dibalik semua kata 'tolong'. "Hahhaa oke, mari memulai." Lexion melakukannya lagi, mengedipkan matanya sekali dan pergi. "Kakak, aku pengen naik wahana putar. Anak-anak yang datang kemari katanya pernah naik itu sebelum dibawa paksa kemari. Apakah seru?" "Seru, aku akan membawakannya untukmu." "Kak Langit jangan bohong, anak-anak bilang wahana itu besar." Gigitan terakhir untuk menghabiskannya, wahana? Aku mengingatnya. Kalau memang Lexion membawaku ke tempat seperti itu maka perkiraanku benar, dia adalah Langit, entah apa rencananya. "Jam 8 malam sayang, silahkan menampilkan penampilan terbaikmu." Ternyata dia belum benar-benar pergi, suara pintu yang tertutup menandakan dia telah benar-benar pergi. Bandung itu cantik, jalanannya serasa berada diluar negeri sendiri, tapi kisah-kisahku didalamnya masih ada. "KAMU MELAKUKANNYA KAN?" Kepalaku rasanya sakit sekali, teriakan apa itu? "BERHENTI MENAMPILKAN WAJAH LUGUMU INI HAH! JANGAN-JANGAN KAMU TIDAK BUTA?" "Ti... Dak. Aku tidak melakukan apapun." Ku gelengankan kepalaku berkali-kali, untungnya ada jam disini. Aku harus berusaha tampil baik malam ini agar bisa memperlihatkan pada Detan bahwasanya sempurna itu hanyalah ilusinya semata. Pukul 7 malam. Masih ada satu jam lagi sebelum Lexion kembali menjemput, Ayo Qeila. Mari memulai permainannya dan membungkam mulut keluarga Jespara itu. Kusimpan piring tadi wastafel, mengeluarkan air dingin dari dalam kulkas meminumnya langsung dari dalam botol. Maupun Bandung sedang dalam mode dinginnya itu tidak melarangku menikmati dinginnya air ini. Menutup kulkas, lalu mengambil segelas coklat hangat yang sempat Lexion buatkan untukku. Aku harus mencari tau tentang Angga Angkara, memilih apakah dia adalah sebuah lawan ataukah rekan kerja untuk menjatuhkan keluarga sempurna itu. Angga Angkara. Dia pikir aku akan menyambutnya ramah? Untuk apa aku berurusan dengan orang-orang seperti mereka? Dokter Arfan saja sudah cukup, jangan ditambah lagi. Sesampainya di dalam kamar, aku memilih gaun selutut berenda, lengan panjang memilki kerah. Dan nantinya rambutku akan ku sanggul rapi nan cantik, memakai make up natural membuat Ameera makin berang. *** "Aku memang tidak salah memilih pasangan untuk dibawa ke pertemuan." kuabaikan omong kosongnya, memilih masuk kedalam mobil yang pintunya sudah ia buka. "Setidaknya berikan aku senyuman," sudah kukatakan, Lexion itu orangnya cerewet berbanding terbalik dengan apa yang orang-orang katakan. "Orang bilang kamu itu dingin, enggan membahas hal diluar pekerjaan. Kayaknya saya perlu membuat story saat kamu mengemis senyum padaku," "Hahaha, aku dengan senang hati tampil di story media sosialmu." Lihatkan? "Sepertinya dugaanku kalau kamu adalah Langit adalah salah. Kalau memang kamu adalah Langit harusnya kamu membenciku bukan gencar menggangguku setiap harinya. Benar bukan?" tawanya tiba-tiba menghilang dia hanya memberikan senyuman tipis padaku. Tapi tak mengapa, dia memang bukan Langit yang aku cari. "Padahal aku ingin membawamu ke tempat kemarin, tapi aku yakin kamu akan sangat menolaknya," masa bodo, aku tidak akan membalas ucapannya sama sekali. "Aku minta maaf tentang perlakuan papaku yang mungkin terlalu ikut campur dengan dunia pribadimu," "Itu bukan saya, perempuan lemah yang ada difoto itu bukan saya sama sekali jadi lupakan kejadian kemarin." ya, aku memang menepis itu. Tidak ada bukti yang cukup jelas apakah itu benar-benar aku ataukah hanya foto editan belaka. "Bukankah kamu akan berpindah ke Jakarta?" "Bukankah perusahaan utamamu ada di Jakarta? Kenapa pemimpin perusahaan sepertimu malah mau membuang waktunya mengurus cabang perusahaan yang sahamnya Tidak seberapa itu?" balasku telak, untuk apa dia mengingatkanku tentang kejadian kemarin. "Hahaha, walaupun perbincangan kita terkesan aneh tapi setidaknya dengan cara ini kita bisa berbicara," itu bukan jawabannya, dasar pengalihkan pembicaraan. "Aku disini ingin menjaga tunanganku dengan baik." terserah anda Tuan Lexion, aku Tidak peduli sama sekali. Mungkin merasa berbicara sendirian dia malah menyalakan musik memecahkan keheningan diantara kami berdua, entah apa yang terjadi padanya bukannya dia orang kaya? Pastinya punya supir sendiri kan? Lalu? "Apa yang sedang kamu pikirkan?" "Bukan urusanmu." jawabku Ketus. "Padahal pertanyaanku hanya sederhana." Bolehkah aku mengutuk laki-laki bernama Lexion ini? Kenapa dia terus menganggu ketenangan yang sangat kurindukan? *** Lexion memandang Qeila yang sedang berbincang dengan yang lainnya, di tangan Qeila terdapat segelas minuman berwarna merah entah apa itu. Qeila terlihat santai sekali, berbicara begitu luwes tanpa kendala. Mereka telah sampai, disambut dengan baik oleh sang pemilik pesta. Qeila langsung meminta memisahkan diri dua puluh menit setelah mereka sampai, mengunjungi satu persatu meja yang lainnya membiarkan Lexion sibuk dengan para rekan bisnisnya. "Anda sungguh mencintainya, Pak Lexion. Sejak Bu Qeila meninggalkan meja ini tatapan anda harus mengarah padanya, saya rasa dalam waktu dekat pernikahan anda akan diumumkan." "Saya tunggu kesiapannya tunangan saya dulu, dia baru saja memulai karirnya. Saya rasa dia akan mengamuk saat undangan pernikahan kami tiba-tiba ada didepannya." semua yang ada di meja itu tertawa mendengar lelucon Lexion. Tanpa mereka ketahui, apa yang Lexion katakan adalah sebuah fakta bukan candaan belaka. Qeila mungkin akan melemparinya sepatu jika undangan pernikahan mereka benar-benar ada didepannya. Senyumnya mengembang saat matanya bertemu dengan Qeila, dan tadaaa! Perempuan cantiknya membalasnya malahan melambaikan tangan padanya, tertawa begitu anggun. Lexi tau itu semua hanyalah sandiwara belaka tapi Lexion tidak mengapa, asalkan bisa dekat dengan Tuan Putri yang selalu bersamanya sejak dulu. "Jaga adikku dengan baik, andaikan istriku tidak sedang terguncang mungkin aku tidak akan mengizinkan kamu menemuinya. Ingatannya masih terpengaruh sampai sekarang," Merasa Qeila sibuk dengan dunianya, Lexion kembali membahas bisnis seperti tujuan utamanya menghadiri pertemuan berkedok pesta ini. Membahas kesepakatan yang begitu banyak hingga pukul 10 malam. Kini keduanya sudah didalam mobil kembali, Qeila sibuk memijat tumit kakinya yang ngilu terlalu lama memakai sepatu mahalnya. "Besok-besok aku akan membawamu ke tempat kemarin dulu, jangan pakai sepatu murahan." "Bolehkah kutampar wajahmu menggunakan sepatu ini?" Gelegar tawa Lexion memenuhi mobil membuat Qeila ingin mendaratkan sepatunya di wajah Lexion. "Berhenti," "Kenapa sayang?" "Gila." "Hahahaha, bagaimana kalau aku melamarmu?" "Kalau begitu saya benar-benar percaya jika kamu bukan Langit." Lexion bungkam, setelah melihat Qeila terbaring lemah seperti kemarin membuat Lexion mengabaikan rasa bencinya. Tapi sejujurnya, rasa benci dan kecewanya masih sangat besar. Pengkhianatan yang Herlena lakukan benar-benar sulit dimaafkan. "Istirahatlah," walaupun kebingungan, Qeila tetap menganggukkan kepalanya turun dari mobil masuk kedalam apartemen. "Lo yakin pelakunya adalah Herlena?" "Lex, gue tau lo punya rasa sama dia, semua anggota tau faktanya. Tapi lo juga jangan b**o, pelakunya adalah perempuan yang lo cintai. Kita harus pergi ninggalin tempat ini kalau tidak mau berurusan sama polisi." Lexion mengepalkan tangannya erat, matanya menatap tajam tubuh Qeila yang masuk kedalam apartemen. Kenapa perempuan sebaik itu harus menjadi dalang meninggalnya sahabatnya? Siapa yang harus Lexion pilih? Keadilan untuk sahabatnya atau perasaannya pada Herlena. "Papa bukannya mau ikut campur, tapi bukannya mencari tau lebih baik daripada asal menuduh?" "Tidak perlu, pelakunya memang Herlena." "Jangan menyesali keras kepalamu ini, Son." Lexion mengacak rambutnya frustasi, sampai kapan ia bermain seperti ini? *** "Sepertinya harimu sangat bahagia, harusnya orang cacat sepertimu tidak tinggal di tempat mewah begini," kuputar badanku menatap perempuan seumuranku. Kulipat kedua tanganku didepan d**a menatapnya dengan enggan, "yang cacat disini sebenarnya siapa? Saya atau kamu?" ledekku, tangannya terkepal erat. "Demi terlihat sempurna didepan semua orang, kamu rela merenggut milik orang lain lalu mengakuinya sebagai milikmu? Mempermainkan semua orang selayaknya mereka hanya pion untukmu? Yang harusnya dipertanyakan ke warasannya adalah kamu bukan aku." Dengan langkah tegas aku mendekatinya, berusaha menahan sakitnya tumitku karena terlalu lama memakai sepatu tinggi ini, ku elus pipi anak kecil yang ada di gendongannya. "Kamu kasihan sekali adik kecil, harus tumbuh dalam drama." kasihanku dengan nada meremehkan. "Kamu pikir dengan cara seperti ini akan membuat keluarga Jepsara mengakuimu? Kamu pikir masyarakat akan menerima semua pengakuanmu nantinya? Kamu itu sudah lama terbuang, Herlena. Harusnya kamu pergi membiarkan keluarga kita kembali tenang." Kupaksakan diri untuk tertawa, didukung depan gedung apartemen yang begitu sepi membuat tawaku sangat jelas terdengar. Wajah saudara kembarku memerah, "Ada apa dengan wajahmu? Mana mungkin seorang Herlina Jespara datang kemari tanpa sebab bukan?" bisikku pelan, beberapa orang berlalu lalang membuatku memelankan suaraku. "Sayang, harusnya kamu menunggu didalam mobil takutnya malah kedinginan. Anak kita juga sedang tidak baik, ayo kembali kedalam mobil," Ku mundurkan kakiku dua langkah memberikan ruang untuk suami istri itu saling merangkul. Suami dari kembaranku itu dengan sigap memasangkan jasnya untuk istrinya membisikkan sesuatu padanya. "Selamat malam, Bu Qeila. Kita sempat bertemu di pertemuan tadi, semoga hari anda menyenangkan." "Selamat malam juga Pak Keylan, pertemuan tadi spertinya memberikan anda peluang bisnis. Spertinya anda baru saja menjemput Nyonya Fernandes, saya baru tau beliau mempunyai satu unit apartemen disini juga." Hanya Keylan yang tersenyum sebagai tanda ucapanku benar. "Kalau begitu kami permisi Bu Qeila,anak kami sudah mengantuk dan mungkin istri anda butuh piknik. Saya lelah dengan ikatan batin kami," Keylan terlihat kebingungan dengan perkataanku, "istri anda butuh ketenangan, mungkin dengan liburan. Sebagai sesama perempuan tentu saya paham," aku tersenyum tipis. Aku melanjutkan perjalananku masuk kedalam gedung apartemen. "Apa maksud anda kak Herlena?" aku tertawa kecil, "Sebagai orang yang pernah berbagi tempat didalam kandungan, saya menyarankan membawanya meninggalkan Bandung untuk sementara. Hai kembaran?" kulambaikan tanganku padanya, "ikatan batin kita tidak mungkin salah kan?" tawaku kembali hadir. "Selamat liburan, saranku atur pertemuan dengan ibu anak itu. Berdamai dengannya lebih baik daripada berbuat jahat. Dia perempuan mengerti akan agama, dia pasti akan paham. Tapi ini bukan bagianku sebenarnya, aku hanya merasa terganggu dengan ikatan batin anak kembar." Aku tertawa sembari berjalan. Aku membenci ikatan batin yang hadir diantara kami. Memang bukan bagianku sama sekali akan tetapi sudahlah, memang meresahkan mempunyai kembaran. Hai Bandung. Jangan hujan dulu malam ini, aku enggan menikmati dinginnya anginmu. Bisakah aku terbebas dan tenang sebentar saja? Tidak memperdulikan apapun yang terjadi pada kembaranku Itu? Sebenarnya apa yang mereka lakukan di tempat ini? Sudahlah Qeila, mari bodoamat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD