23 - Angga Angkara

2120 Words
"Senang bertemu anda hari ini Pak Bian," sambutnya, mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. "Senang bertemu anda juga Pak Angga, terimakasih telah memenunhi janji saya." balasnya, keduanya berjabat tangan singkat lalu bersamaan duduk berhadapan. "Mungkin perjanjian ataupun penjelasan rincinya sudah dijelaskan dengan baik, Pak Bian. Saya yakin anda mempunyai maksud lain makanya mengadakan pertemuan ini." Bian memperbaiki duduknya menatap Angga dengan serius. "Pak Angga, anda masih ingat dengan rumor menghilangnya Herlena Jespara belasan tahun lalu?" tanyanya dengan wajah serius. "Kakaknya Herlina? Bukankah sudah dinyatakan meninggal karena menghilang tanpa jejak, bahkan pihak kepolisian tidak bisa menemukannya sama sekali." jawabnya heran, "Tapi aslinya tidak. Herlena dibuang oleh kakak anda karena alasan dia tidak sempurna. Herlena kecil ditinggalkan begitu saja dijalanan, apa salahnya anak kecil buta itu?" Angga membulatkan matanya tidak percaya, "Hanya karena tidak sempurna?" "Ya, hanya karena tidak sempurna. Bukankah keluarga Jespara selalu identik dengan kesempurnaan? Mereka semua bahagia diatas tangis pilu Herlena selama belasan tahun." "Lalu, dimana Herlena sekarang?" Bian mengeluarkan selembar foto dari sakunya memperlihatkannya pada Angga, adik bungsu dari Kakak iparnya. "Qeila Purnamasari?" Angga menatap mobil kakaknya yang baru saja pergi, benarkah kakaknya melakukan hal menjijikkan seperti itu demi membahagiakan dirinya? Membuang anaknya sendiri hanya karena anaknya buta. "Pa pa pa." Angga menerima gapaian tangan putranya, menggendongnya membalas celotehannya entah apa artinya. Seringkali banyak orang mempermasalahkan tentang putranya yang lambat berbicara tapi Angga tidak memperdulikannya, untungnya mereka berhenti mengingat latar belakang Angga orang berada. Harusnya hal seperti ini juga terjadi pada kakaknya, memangnya kenapa kalau mempunyai anak buta? Orang kaya spertinya malahan bisa membeli 100 mata untuk menyembuhkannya. Angga benar-benar tidak menyangka kakaknya melangkah terlalu jauh. Dulunya saat kakaknya diambil oleh Detan, Angga masih anak berumur 10 tahun. Ia begitu dekat dengan Ameera, kakaknya adalah perempuan penuh kasih sayang, sangat suka anak kecil, selalu lemah lembut, ramah juga. Tapi semenjak Angga bertemu dengannya lagi setelah beberapa tahun tidak beeremu, kakaknya sudah berubah. Angga tidak mengenal siapa orang tadi, mungkin orang asing yang menggunakan tubuh dan rupa kakaknya. "Tadi kak Ameera berbicara denganku di toilet, Mas. Dia menanyakan kabar Berliana dan juga kamu, dia memintaku untuk tak membiarkan Bilal makan es cukup banyak takutnya sakit." suara istrinya menggema, Angga hanya mengangguk. "Terus aku bilang yang mirip kamu itu Berliana. Dia masih mengingat jelas semua memorinya sama kamu, mas." lanjut Syakira lagi. Kedua pasangan itu masuk kedalam mobil, Bilal dipangku oleh Angga. "Kita akan kemana lagi, Mas?" tanyanya lemah lembut. "Kita ke apartemennya Qeila Purnamasari." jawabnya, merogoh saku jasnya memperlihatkan selembar foto pada istrinya yang langsung Syakira terima. "Cantik, dia siapa? Rekan kerja baru kamu? Tapi aku tidak asing dengan nama itu sepertinya pernah dengar tapi entah dimana," Syakira membuka ponselnya membuka laman pencarian mengetik nama Qeila Purnamasari. "Mas, dia tunangannya Pak Lexi yang baru saja bertemu sama kamu tadi." Angga baru tau Fakta itu, "banyak loh beritanya mungkin karena kita jarang nonton TV sama baca berita makanya ketinggalan informasi. Cantik banget, arsitek terbaik di Bandung dan sudah mempunyai banyak project yang berhasil. Hebat banget, kamu kalau pake jasa dia pasti puas banget, Mas." Angga menepuk paha anaknya yang sepertinya mulai mengantuk di pangkuannya. Orang sesempurna itu malah dibuang oleh keluarganya sendiri? Sebenarnya yang cacat disini siapa? "Bukan bahas bisnis sayang, bahas masalah pribadi." Syakira terdiam, pikirannya semakin tidak baik membuat Angga tertawa, "jangan berpikir macam-macam, sayang. Kamu masih ingat Herlena? Kembarannya Herlina? Ya dia itu. Kemarin Pak Bian yang memberitahukan ini padaku makanya aku ingin bertemu dengannya." Pikiran Syakira kembali membaik, menatap foto Qeila Purnamasari yang sedang berdiri dan tak sadar dibidik kamera. "Tatapannya pas serius mirip dengan kamu,Mas." Angga tak menjawab, hanya menunggu mobil benar-benar sampai ke apartemen tempat Qeila Purnamasari berada. Ingin berbincang langsung dengan keponakannya, yang nasibnya hampir mirip dengannya. *** Bandung hujan lagi, mungkin memang dikenal dengan kota dingin atau perkiraanku yang salah? Tapi untuk apa aku peduli? Aku lebih baik sibuk dengan duniaku daripada memikirkan Bandung entah kenapa selalu saja hujan. Berdiam diri selama 3 hari bukan kesalahan juga, aku bisa berbuat semauku tanpa melibatkan kumpulan manusia yang selalu saja siap menjatuhkanku saat itu juga, ayolah Qeila, kenapa kamu malah menjadi perempuan mellow? Ku tinggalkan tumpukan pekerjaan karena bell terus saja berbunyi, kalau sampai orang ini orang yang aku kenal maka lebih baik abaikan, untuk apa mengurus mereka? Kurang kerjaan Sekali. "Cari siapa?" Orang asing ternyata, untung bukan mereka. "Qeila Purnamasari?" Kulipat tangan didada menyandarkan bahu kanan pada daun pintu, menunggu mereka membuka suara. "Kami hanya ingin berkenalan denganmu, ada waktu?" Wajahku masih datar tidak menanggapi perkataan mereka sama sekali, palingan tetangga kurang kerjaan mau basa basi. Mataku menatap malas seseorang yang baru datang, padahal sudah kutolak sejak kemarin kedatangannya tapi masih kesini juga. "Kenapa kesini? Apa tidak ada kerjaan selain menjengukku setiap saat?" Dua tamu tak diundang mengikuti arah pandangku mereka saling menyapa satu sama lain membuatku jengah. Haruskah aku masuk kedalam membiarkan mereka reuni? Untuk apa mengurus kumpulan orang penganggu? "Sebuah kehormatan bisa bertemu Pak Lexion disini," "Santai saja Pak Angga, kebetulan saya ingin bertemu dengan Qeila." "Saya bukan anak kecil." sahutku datar masih dengan posisi yang sama. Pakaianku sangat biasa sekali, hanya kaos berwarna putih juga celana piyama panjang semata kaki, kacamata bacaku masih terpasang dengan rambut terikat asal. Termasuk tidak sopan menyambut tamu tapi aku sama sekali tidak berniat menerima tamu. Ketiga pasang Mata itu menatapku, anak kecil diantara mereka terus saja berceloteh tanpa henti. "Kalau mau bicara bisnis atau sejenisnya jangan disini, aku tidak berminat menerima tamu." jujur lebih baik daripada bersifat munafik, bukan aku sekali. "Silahkan pergi," kupersilahkan mereka pergi menggunakan tangan agak merendah, berniat menutup pintu apartemen kembali. "Qei, aku membawa rekap kerjasama kita." niatku terhenti, menatap map berwarna biru ditangannya. "Baiklah, silahkan masuk." Tidak asa salahnya menjadi baik selama sejam, aku masuk lebih dulu membereskan beberapa kertas yang berserakan dilantai ruang tamu, membiarkan mereka bertiga duduk. "Sebenarnya saya jarang menerima tamu, tapi karena diluar hujan makanya aku menerima. Silahkan duduk Sebentar,saya akan membawakan dua gelas kopi hitam serta satu gelas teh hangat." Kubawa tumpukan lembaran kertas masuk kedalam ruang kerjaku membiarkannya saja. Harusnya saat hujan aku bergelung manja didalam selimut bukan malah berdiri didapur mengaduk tiga gelas minuman untuk para tamu tak diundang. Merasa pakaianku kurang sopan, eh! Untuk apa aku memikirkan hal tak berguna? Lagipula mereka yang datang padahal sudah tau aku ingin sendiri. Kupindahkan ketiganya kedalam nampan membawanya ke ruang tamu tanpa melepaskan kacamataku sama sekali. "Kami awalnya ingin menghubungi anda pak Lexi tapi Pak Detan lebih dulu mengajukan diri sebagai pemasok dana utama, mungkin kali lain waktu." Benar tebakanku, ketika para pebisnis bertemu maka beginilah yang terjadi. Mereka hanya akan membahas mengenai peluang-peluangnya bukan membahas kapan harus istirahat, kapan harus fokus. "Wah, anda benar-benar bisa segalanya." sindiran tak bermanfaat untukku, sejenis dia tak pantas diladeni. "Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri dulu, tapi apa tak papa ada Pak Lexi disini?" Kubuka kacamata bacaku, menggerai rambutku merapikannya sebentar tidak ada niat menjawab pertanyaan tak bermutu itu, aku dan si Lexi gila ini juga sudah dikabarkan tunangan jadi mau bahas apapun juga tak masalah kalau ada dia. "Bahas saja Pak Angga,Qeila orangnya bodoamatan." Mereka semua tertawa sedang aku menatap mereka seolah mereka itu penganggu ketenanganku. Untungnya dimeja masih ada tabku, jadi kupilih membukanya membaca satu persatu penawaran kerjasama yang masuk. "Saya Angga Angkara," "Saya tau." jawabku santai, meraih kacamataku kembali untuk memakainya. "Adiknya bungsu Ameera Jespara, aku telah mendengar bagaimana perlakuan mereka padamu, Herlena." Jariku berhenti mengetik kalimat balasan, menatapnya malas. Kupandang Lexi yang juga sedang memandangku, kusimpan tab memandang Angga Angkara yang katanya adik dari Ameera, perempuan gila itu. "Biarkan saya telepon Dokter Arfan terlebih dahulu," Kupilih menelpon didalam kamar meminta nya datang dan mengurus kedatangan keluarga penggila sempurna itu, aku tidak ingin berurusan terlalu dekat dengan mereka apalagi sampai ke tahap saudara-saudaranya. Hujan deras bukan alasan Arfan enggan kemari tapi balasan pesannya menolak datang. Teleponku juga tidak diangkat, aku enggan membahas apapun jadinya aku ingin mereka segera pergi. Aku membenci Ameera dan semua keluarganya. Dokter Arfan. Kena sedang tidak baik-baik saja, Ameera baru saja kemari membuatnya terguncang sedang aku terlambat datang. Maafkan aku, tapi bukankah Lexi ada disana? Ameera memang perempuan tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, aku tertawa sendirian didalam kamar. Anaknya saja dibuang apalagi menantu yang tidak pernah dia terima? Perempuan macam apa Ameera itu? Kenapa bandung yang tenang harus diisi perempuan semacam Ameera. Orang kurang kerjaan. Bawa mereka keluar. Kukirimkan pesannya dan mengunci pintu kamar, membiarkan mereka melakukan apa yang Si Lexi inginkan. Aku tidak ingin diganggu, kepalaku masih pening memikirkan kejadian yang begitu banyak terjadi. Aku merindukan ketenanganku selama berhari-hari ataupun selama 2 tahun ini. Aku tersenyum sumringah entah kenapa aku merasa senang melihat pesan yang baru dia kirimkan. Tidak! Ini bukan perasaan suka hanya perasaan senang karena sebentar lagi ketenanganku akan kembali seperti semula. "Kak Langit masih disini?" "Kenapa Tuan Putri cantik, anda menginginkan sesuatu?" Mataku terbuka dengan cepat, suara percakapan tak bermanfaat itu lagi. Siapa Langit sebenarnya? Kenapa dia begitu berarti dalam setiap ingatanku? Mana mungkin dia kekasihku kan? Mana mungkin anak seumuran itu mempunyai kekasih. "Tapi bukannya kalau misalkan apa yang Pak Andatio katakan benar, berarti umurku dua puluhan kan? Sudah sangat pantas memiliki kekasih?" Ku gelengkan kepalaku beberapa kali makin melantur saja. Kutarik selimut untuk bergelung kembali, mendengar rintik hujan menenangkan melalui pintu balkon kubiarkan terbuka. "Kak Langit, kata sebagian anak-anak. Setiap hujan datang, awannya akan berwarna hitam. Apakah warna hitam itu cantik? Apakah itu berarti air hujan juga berwarna hitam karena ada anak-anak yang bilang padaku kalau hujan berasal dari awan." Kusingkirkan selimut, mataku menatap awan berwarna kelabu bukan sepenuhnya hitam. Awan hanya menyerupai warna abu-abu saja, kalau memang dulunya aku buta lalu kenapa saat aku pertama kali membuka mata aku tidak merasa asing dengan apa yang aku lihat? Rasanya aku pernah melihatnya setiap hari. Kalau memang dulunya aku buta, lalu kenapa aku bisa mengenali banyak warna, mengenal banyak bentuk. Ataukah ini semua adalah rekayasa Arfan agar aku bisa bersamanya? Adik yang sebenarnya sudah meninggal, menjadikanku tumbal pengganti adiknya. "Apakah kamu ingin sekali melihat, Herlena? Aku bisa memberikan mataku untukmu." Telingaku berdengung panjang, penglihatanku memburam. Suara asing, ya! Aku mendengar suara asing yang tiba-tiba datang dari pikiranku. Hujan semakin deras diluar sana, karena aku menjatuhkan badanku begitu saja yang dekat dengan balkon, kakiku basah terkena air hujan. Dengungannya terhenti, aku terpaku menatap Air hujan yang menggenang di lantai balkon kamar. Angin yang begitu kencang membawanya masuk padahal seharusnya disana masih kering. "Air hujan tidak hitam kak Langit, air hujan bersih dan tak memiliki warna sama sekali. Apakah sekarang kak Langit melihatnya? Kalau memang kak Langit sayang padaku lalu kak Langit dimana?" Mataku terus terpaku kesana membiarkan kakiku mendingin, dimana sebenarnya kak Langit berada sekarang? *** "Maafkan atas ketidaknyamanannya Pak Angga, Pak Arfan mengatakan padaku jika Qeila kehilangan sebagian ingatannya. Dia paling tidak suka disangkut pautkan dengan keluarga Jespara, anda juga bisa melihat keduanya sempat bersitegang," Lexi memasang wajah bersalah, "Tidak perlu merasa bersalah Pak Lexi, mungkin memang saya dan Istri terlalu mendadak ingin bertemu. Pasalnya saat Herlena masih kecil saya pernah bertemu dengannya di rumah anak berkebutuhan khusus, dia bersama Ibu Naesa." jelasnya, berjabat tangan dengan Lexi. "Jika ingin dekat dengannya maka cobalah menjalin kerjasama dengannya, Qeila dekat dengan Pak Bian bukan karena adanya hubungan keluarga tapi karena adanya kerjasama. Anda mana mungkin lupa pekerjaan utama Qeila bukan?" "Tentu tidak,kalau begitu kami permisi dulu." Lexion menunggu mereka pergi lebih dulu, setelahnya masuk kembali kedalam apartemen Qeila. Mengetuk pintu kamarnya beberapa kali tapi tidak ada jawaban. Seingatnya kalau memang sikapnya masih sama, Qeila jarang sekali tidur diwaktu sore lebih memilih menyibukkan dirinya. Mengetuk pintu sekali lagi tapi belum ada jawaban, Lexi merogoh saku jasnya mengeluarkan kunci kamar yang memang sengaja ia minta di resepsionis bawah untuk berjaga-jaga. Saat Lexi membuka pintunya udara dingin terasa sekali, ia mempercepat langkahnya saat melihat Qeila duduk melamun menatap derasnya hujan diluar sana, Lexi dengan cepat menutup pintu balkon, angin sore kencang juga. Mengeringkan kaki Qeila yang basah menggunakan handuk yang ia ambil di kamar mandi, memasangkan selimut di badan Qeila serta mengangkatnya ke ranjang, rambut Qeila juga terkena air hujan. "Kalau mau sakit tidak seperti ini caranya, caramu masih kurang." Tidak ada sahutan, mata Qeila masih menatap air hujan karena pintu balkon terbuat dari kaca. Lexi duduk dipinggir ranjang menghalangi penglihatan Qeila melihat hujan. "Kak Langit," tubuh laki-laki yang masih lengkap dengan jasnya itu mematung, "Saya ingin bertemu kak Langit." lanjutnya lagi. "Kalau misalkan kamu bertemu Langit, apa yang akan kamu katakan padanya?" Qeila tersenyum mata yang biasa memancarkan kekosongan kini hidup kembali. Lexi tertegun melihat hal itu,jika Qeila berekspresi seperti ini maka dialah Herlena dimasa lalu, perempuan buta yang dulu selalu bersamanya, menghabiskan waktu bersamanya. "Saya ingin mengatakan Air hujan ternyata tidak berwarna hitam, air hujan tidak memiliki warna apapun, awan juga tidak hitam malahan lebih mirip warna abu-abu. Lucu ya? Ternyata begini." Lexi diam bingung ingin menanggapinya seperti apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD