Rencanaku yang ingin ketenangan selama seminggu gagal total, berubah pikiran karena banyaknya kerjaan yang menumpuk. Dokter Arfan sudah mengomel sejak sejam lalu, menatapku dengan tatapan lelahnya.
Apa salahku? Aku yang bernapas, aku yang memutuskan jalanku sendiri lalu kenapa harus dia yang kesal?
"Udahlah, saya pamit keluar. Ada pertemuan penting."
"Engga! Kamu disini dulu menemani Kena. Aku mau keluar kerumah sakit,"
"Kena ikut saya aja, Dok. Gimana? Mau kan?" ibu hamil itu mengangguk antusias, ya iyalah dia setuju dari kemarin tidak dibiarkan keluar oleh suami posesifnya.
"Yuk Suster Kena, kita jalan." aku tidak menunggu persetujuan Arfan, kami lebih baik segera bergegas untungnya Lexion gila itu sudah menarik supirnya jadi aku bebas kesana kemari.
Tapi entah hanya firasatku atau bukan, dari kejauhan ada seseorang yang menjaga entah benar atau Tidak. Ku kendarai mobil dengan laju normal ditemani ocehan Kena tentang perlakuan Ameera kemarin padanya.
Bandung hari ini cukup cerah, jalanan lenggang karena waktu masuk kerja sudah lewat. Palingan yang bebas berkeliaran hanyalah pekerja bebas tanpa pimpinan sepertiku, bebas kemanapun tanpa batasan kerja ataupun jam masuk kerja.
"Apa salahnya sih pake daster, bahannya adem. Daripada tiap hari pake dress terus?"
Bodoamat Kena, aku malas pusing.
"Pengen banget pindah rumah tapi rumah itu udah sesuai sama keinginan aku sama Arfan."
Ku belokkan mobil memasuki kawasan perkantoran, aku ada pertemuan disini mungkin akan lama. Ku pandang Kena yang sibuk memeriksa make upnya, kulakukan hal yang sama. Semuanya sudah cantik, sesuai dengan apa yang aku inginkan.
"Mau tunggu diluar kantor atau ikut masuk kedalam? Banyak restoran dan toko didekat sini. Kamu bisa refresh pikiran dengan keliling belanja." bukannya aku Tidak ingin mengajaknya masuk hanya saja lebih baik jika Kena jalan-jalan saja.
"Oke adik iparku." dia tertawa sendiri, aku lebih memutuskan mengambil tas jinjing dikursi belakang.
Kena turun lebih dulu, melambaikan tangannya padaku dan pergi. Baguslah, aku kurang suka kalau nantinya orang-orang malah bertanya mengapa aku bisa bersama dengan Kena, istri dari Arfan yang banyak dikenal orang-orang.
Hari ini aku memutuskan mamakai rok selutut ditemani kemeja berwarna hitam plus blazer berwarna putih. Ditemani sepatu berhak cukup tinggi serta rambut kuikat satu, tidak kugerai seprti biasanya. Tas slingbag ditemani tas jinjing berisi laptop, tab dan buku-buku sketsaku.
Arsitek tidak akan pernah lepas dari yamg namanya buku mungkin bidang pekerjaan lain juga begitu. Ku lengkungkan senyum tipis sebelum melangkah masuk kedalam kantor, aku menyukai pekerjaan yang memang sesuai dengan hobby-ku.
***
"Mungkin semuanya sudah kenal dengan saya ya tapi sebagai sesama rekan kerja mari mendengar saya memperkenalkan diri terlebih dahulu," aku tersenyum tipis, memandang satu persatu orang yang ada diruangan rapat ini.
Aku akan mempresentasikan, menjelaskan konsep vila yang akan kutangani nanti.
"Di dukung tanah yang telah anda sepakati pemandangannya Bagus. Maka saya memilih jendelanya terbuat dari aluminium berteman kaca transparan, dinding bagian depan akan menggunakan bahan yang sama, agar pengujung bisa melihat suasana cantik setiap saat," kuperlihatkan pada mereka gambar 3 dimensi.
"Mungkin konsep seperti ini sudah banyak ditemukan di berbagai rumah apa lagi rumah-rumah mewah. Tapi disini kita berusaha menggunakan tanah seminim mungkin agar bisa memuat banyak bangunan vila," aku berpindah tempat ke kanan, menujukkan suasana pas masuk vila.
"Pas kita masuk langsung disuguhkan ranjang dimana sekelilingnya penuh akan tanaman yang digantung, karena ini di alam ya, usahakan alamnya tidak terlepas. Posisi ranjang menurut saya sudah Bagus, kan jarak per vilanya jauh, jadi tidak masalah dindingnya terbuat dari kaca, nantinya akan ditutup gorden kalau butuh privasi."
Suara sepatuku menggema lagi pertanda aku berjalan ke sisi lainnya, "bagian dapurnya Tidak terlepas dari tanaman juga. Tak jauh dari ranjang terdapat sofa berbentuk ranjang kecil, bisa dipakai rebahan sembari menonton film. Disamping sofa akan diberikan tamanam hijau yang memanjakan mata."
Aku terus menerus menjelaskan konsep yang aku inginkan, benar-benar detail hingga kesepakatan akhirnya terjalin. Aku baru saja mematikan laptopku, memasukkannya kedalam tasnya dan kembali duduk ditempat yang telah mereka sediakan.
"Bu Qeila memang tidak diragukan kepintarannya dalam memberikan persentasi, kami rasa anda cocok menjadi asisten pribadinya tunangannya." aku membalasnya dengan tawa pemakluman, jadinya mereka semua tertawa.
"Kami menunggu undangan resminya, Bu Qeila." salah satu dari mereka bersuara lagi, Lexion benar-benar membuat ketenanganku terganggu. Aku harus mendesaknya mengumumkan jika kamu telah berpisah.
"Biarkan mereka menikmati harinya, namanya juga masih muda bapak-bapak." aku tersenyum formal lagi, untungnya ada satu perempuan yang mendukungku.
Diruangan ini memang hanya ada beberapa perempuan yang lainnya berisi laki-laki semua itupun umurnya hampir sama dengan si Penggila kesempurnaan itu. Kami saling berjabat tangan,membuatku bernapas lega karena akhirnya pertemuan ini berakhir juga.
"Melelahkan bukan?" perempuan yang membelaku tadi mendekat.
"Akan lebih menguntungkan andaikan anda benar-benar mengumumkan pernikahan, kurasa semua orang akan menggunakan jasa anda."
Kugidikkan bahuku tidak peduli, kami beriringan keluar ruang rapat ditemani suara hak sepatu yang menggema.
"Sebagai sesama wanita karier pastinya anda paham pernikahan adalah list terakhir yang harus dipenuhi," ujarku
"Tentu, menikah sama saja dengan siap melepaskan kebebasan kita. Sampai bertemu dilain tempat, Bu Qeila."
"Sampai bertemu kembali."
Kami berpisah di belokan karena di bekerja di kantor ini, sesaat setelah aku keluar kantor rasa penatku makin bertambah melihat Detan Jespara berhadapan dengan Kena didekat mobilku, bukannya Bandung itu luas?
Di Bandung pun banyak kantor, lalu kenapa keluarga itu terus menerus berlalu lalang disekitarku? Bisakah sehari saja tidak menganggu duniaku, aku ingin ketenanganku.
"Saya benar-benar salut dengan anda, Pak Detan. Sepertinya pekerjaan anda makin hari makin banyak saja sampai-sampai bertemu dengan rekan serumah saya." sindirku setelah berdiri tepat di samping Kena. "Masuk kedalam mobil," perintahku yang langsung Kena jalankan.
Detan menatapku dengan pandangan rendahnya kubalas dengan senyuman formal selaku bertemu sebagai rekan kerja.
"Saya dengar restoran anda sudah mulai dikerjakan, saya tidak sabar untuk melihat hasil karya saya." ujarku basa basi,
"Kamu pikir saya akan mengakuimu setelah menyetujui rancanganmu?" balasnya tajam, ku sandarkan badanku di mobil.
"Anda lucu Pak Detan, memangnya kita mempunyai hubungan apa sampai-sampai harus ada kata mengakui? Apa sekarang anda mulai merindukan anak anda yang di rumorkan meninggal saat masih kecil setelah menghilang?"
Senyum formalku masih ku pertahanan, tangannya terkepal erat. Aku tidak takut kalau nantinya di melukaiku ataupun mendorongku, dia mana berani sedang tempatnya berdiri sekarang adalah tempat ramai, mungkin ada paparazzi di suatu tempat.
"Menantu anda masih dalam tekanan setelah dihina abis-abisan oleh Ameera Jespara kemarin, saya baru tau ada mertua seperti itu, bukannya memberikan yang terbaik untuk menantunya malah membuatnya terguncang. Kalau sampai semua orang tau, bagaimana Citra keluarga anda?"
Aku tertawa sejenak, "saya permisi Pak Detan, semoga hari anda menyenangkan dipenuhi dengan orang-orang sempurna versi anda. Sampai bertemu dilain waktu bu Azura."
"Sampai bertemu dilain waktu Bu Qeila." jawab Azura, warna lipstiknya hari ini Tidak sesuai dengan penampilannya.
Aku masuk kedalam mobil, menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan pada Detan juga Sekertarisnya. Mengemudikan mobil sembari bersenandung riang, rasanya menyenangkan bisa membalas rasa sakit Kena kemarin.
Walaupun aku bodoamat tapi Kena dan Arfan sudah membantuku.
"Apa yang dia katakan padamu," tanyaku setelah kami benar-benar menjauh dari tempat itu,
"Menanyakan apakah hadiah yang dia berikan cukup atau masih terlalu mahal untuk perempuan sepertiku. Aku kadang pusing memikirkan bagaimana bisa suamiku mempunyai orangtua modelan begitu." ku manut saja, Kena pasti akan mengoceh panjang kalau bertemu Arfan nanti.
"Pertemuanmu bagaimana?"
"Aman, paling tinggal bertemu dengan pimpinan project yang mereka pilih sendiri padahal saya sudah mengatakan mempunyai tempat dan rekan kerja tapi terserah mereka, manut aja." jelasku, menepikan mobil di depan warung penjual gorengan.
"Sebentar ya," kuraih tas kecilku, turun membeli cemilan untuk menjadi temanku pas bekerja di apartmen nanti.
Butuh waktu 20 menit akhirnya pesananku selesai, padahal masih terbilang pagi tapi orang yang antri sudah cukup banyak. Aku bergegas masuk kedalam mobil kembali disambut Kena sibuk video callan dengan Dokter Arfan.
"Untung Qei datang cepat kalau engga aku pasti puyeng, sebenarnya kamu anak mereka engga sih? Beda banget sikapnya."
Kulanjutkan perjalananku menuju apartemen, membawa serta ibu hamil ini. Kalau kubiarkan dirumahnya takutnya Ameera datang lagi.
***
"Mereka berbicara selama beberapa menit setelah itu Bu Qeila masuk membawa mobilnya pergi. Pak Detan kelihatannya kesal dan beliau melampiaskannya pada sekertarisnya."
"Tetap jaga Qeila, jangan sampai kamu kecolongan."
Sambungan telepon terputus Suara tawa seseorang langsung menggema membuat Lexion menatapnya jengah, andaikan orang ini bukan ayahnya mungkin sudah ia panggilkan satpam untuk menyeretnya pergi.
"Apa sebaiknya papa bergegas mengurus persiapan pernikahan kalian?" tawar Andatio yang sejak tadi menyimak percakapan putranya dengan orang suruhannya untuk mengawasi Qeila.
"Dan membuat Qeila berakhir di rumah sakit jiwa? " tawa Andatio kembali menggema,
"Son, kamu tidak bisa berpikir dengan jernih. Mau sampai kapan kamu menuduh perempuan buta melaporkan tempat tersembunyi itu pada kepolisan? Kamu pikir andaikan perempuan buta tau jalan keluar dari sana mungkin dia sudah pergi sejak dulu, bukan menjadi babu kalian."
Lexion menatap ayahnya dengan pandangan tak suka, "Herlena tak ingin meninggalkan tempat itu, aku sudah berulang kali mengajaknya pergi. Herlena memang tau jalan keluarnya, setiap hari pasar dia selalu keluar membeli bahan makanan." bantahnya, ia yakin sekali pelakunya adalah Herlena.
"Hanya jalan ke pasar bukan jalan ke kantor kepolisian, Herlena juga Tidak tau kota apa yang sedang dia pijaki. Jangan munafik Nak,"
"Tidak pa, pelakunya adalah dia."
Andatio hanya tersenyum Tidak membahasnya lagi, mengambil map yang memang sejak tadi ingin dia ambil. Menepuk pundak putranya beberapa kali.
"Papa tidak akan memaksa kamu mengerti, tapi jangan sampai semuanya mempengaruhi kinerja kamu dalam memimpin perusahaan." Andatio berlalu.
Lexi menatap foto perempuan cantik dengan karangan bunga dikepalanya, dia adalah Herlena versi masih buta. Tersenyum lebar dengan mata memancarkan kebahagiaan, dikelilingi kumpulan anak kecil bermain dengannya.
Bajunya kaos yang warnanya telah memudar, memakai rok selutut mengembang cantik. Rambutnya terikat asal memanjang Tidak seperti sekarang. Penampilannya berbanding terbalik dengan yang dulu.
Dulu, Herlena tak pernah paham akan make up. Tak mengerti dunia pakaian dam segala modelnya lalu sekarang? Andaikan bukan wajahnya mungkin Lexion tidak akan mengenalinya, sangat berbeda sekali.
"Kakak preman, coba lihat kak Herlena. Dia cantik sekali."
"Benar, kakak!"
Lexion tersenyum mengingat betapa lepasnya tawa Herlena dulu, tertawa lepas bersama kumpulan anak-anak yang memang sengaja di biarkan bermain sebelum di bawa ke tuannya masing-masing, membiarkan anak-anak itu merasakan kebebasan sebelum menjadi pembantu diluar negeri.
"Maafkan atas kelancangan saya Tuan, ada yang ingin bertemu anda." Lexion kembali menormalkan ekspresi wajahnya, menatap sekertarisnya.
"Siapa?" tanyanya, kembali duduk dikursi kerjanya.
"Dari Neskara Group. Mereka sudah menyepakati desain yang Bu Qeila paparkan, pemimpinnya kemari untuk memberikan anda hasil pertemuannya."
"Tidak perlu, minta mereka kembali. Cukup kirimkan saja hasilnya melalui e-mail. Saya ingin sore ini sendiri,"
"Baik Tuan."
Setelah sekretarisnya kembali keluar, Lexion mengeluarkan dua lembar foto yang berbeda. Untungnya Qeila belum pernah kemari jadi belum melihat penampilannya yang dulu, di tangan kanan Lexi terdapat Herlena yang tertawa memegang bunga, yang tangan kirinya terdapat Herlena versi sekarang.
Dengan nama Qeila Purnamasari menggunakan gaun cantik diambil dari pesta yang diadakan kemarin, dimana pesta itu hanya untuk Qeila. Senyum tipis, mata menajam, serta wajahnya sudah di polesi make up.
Satu orang dengan dua penampilan yang sangat berbeda. Dua versi dimana Lexi sangat merindukan dimana Herlena masih buta, bukannya Lexi Tidak suka karena akhirnya Herlena melihat, hanya saja sudahlah.
Lexi membuka semua foto Herlena yang dulu dari mejanya, takutnya Qeila tiba-tiba datang lalu membuat ingatannya kacau. Memasukkan semua foto itu kedalam laci meja kerjanya.
Perubahan pada seseorang memang selalu ada, tapi perubahan perempuan yang berhasil menarik perhatiannya di pertama kali bertemu sungguh cepat, susah dikenali.
"Aku pernah mendengar dari anak-anak kalau kak Langit sering kemari dengan pakaian formal. Aku sebenarnya bingung apa arti pakaian formal itu, soalnya engga pernah liat. Tapi kata anak-anak itu pakaian yang biasa orang kaya pakai bekerja, itu berarti kak Langit kaya Raya dong?"
"Bukannya Bagus kalau aku kaya, itu berarti aku bisa membantumu melihat?"
"Aku bersyukur terlahir begini kok, jadinya aku tidak melihat dunia jahat. Aku hanya perlu merasakan, mendengar tanpa melihat langsung banyaknya manusia yang saling menyakiti. Bukankah itu mengerikan?"
"Jadi kamu tidak ingin melihat?"
"Mau, aku pengen liat wajahnya kak Langit seperti apa."
Lexion tersenyum memandang pemandangan kota Bandung dari tempat kerjanya, ia rela bekerja di cabang perusahaannya yang ini demi bertemu setiap hari dengan perempuan yang pernah mengisi hari-harinya selama 12 tahun lamanya.
"Bagaimana kalau wajahku tidak sesuai ekspektasimu? Bagaimana kalau aku tidak tampan?"
"Hmm aku tidak pernah tau definisi tampan itu seperti apa, tapi aku yakin Kak Langit itu tampan. Sikapnya saja baik begini,"
"Wah! Herlena kecil sudah dewasa sekarang."
"Hahaha, kak Langit bisa saja."
Bandung memang pantas dijadikan tempat mengukir kenangan yang Indah. Banyak orang lebih memilih Jakarta daripada kota-kota lainnya. Tapi mereka tidak tau bagaimana kenangan melekat pada kota selain Jakarta. Indah.