42 - Cinta Dan Benci

2049 Words
Lexion memandang perempuan didepannya yang sedang tidur dengan lelapnya, napasnya teratur, matanya terpejam entah sedang memimpikan apa didalam sana. Apakah mimpi itu Indah? Ataukah mimpi yang berisi kenangan-kenangan lama? Angra. Adiknya Demiz yang memang sengaja ditempatkan di rumah pohon tanpa sepengatahuan Qeila, Lexion sendiri yang meminta anak itu tinggal disana memantau Qeila dari kejauhan, juga menjaga agar Qeila tidak disakiti oleh siapapun setiap kali Lexion kembali ke kota. "Lo yakin adik gue aman diatas sana? Engga bakal ketahuan sama yang lain?" "Percaya sama aku, Papa aku pasti menjaganya dengan baik. Lagian aku yakin, diantara rekan kita didalam sana pasti ada mata-mata Papaku." Kenangan lama memang Indah tapi menyakitkan karena salah satu tokohnya telah lama pergi. Lexion meninggalkan Qeila sendirian dan kembali ke meja kerjanya untuk bekerja, daripada pikirannya terus dipenuhi kenangan lama lebih baik disibukkan oleh pekerjaan. Setelah duduk beberapa lama, ia mendengarkan suara langkah ternyata Qeila sudah bangun dengan mata sembabnya. Berdiri mematung didepan pintu menatapnya entah apa artinya. "Aku lapar," Lexion tertawa kecil tapi tetap mengubungi sekretarisnya memintanya untuk membawakan makanan. "Siapa yang membawaku kemari?" Qeila kembali bertanya dibalas Lexion dengan menujuk dirinya sendiri pertanda dialah yang membawanya kemari. Qeila tak menjawab lagi, kini duduk disofa panjang memperbaiki tatanan rambutnya yang agak berantakan, semua itu tak lepas dari pandangan Lexion. Perempuannya masih sama, hanya saja kini Herlena bisa memakai polesan make up sedangkan dulu tidak sama sekali. "Ada apa? Kenapa melihatku terus menerus?" "Kamu masih sama." "Ya iyalah aku masih sama, masa berubah." jawabnya ketus membuat Lexion tertawa lagi, setidaknya ia bersyukur karena Qeila sudah kembali seperti sebelumnya tidak menjadi perempuan lemah lagi. Tidak menjadi perempuan yang terus menerus menangis mempertanyakan takdirnya. Beberapa menit kemudian, sekertaris Lexion masuk membawa beberapa kotak makanan yang mempunyai banyak menu, Qeila menerimanya tak lupa mengucapkan terimakasih karena mau disuruh. Qeila makan dalam diam tanpa memanggil Lexion untuk ikut makan bersamanya. "Aku tidak dipanggil?" sindirnya, "Mau ikut makan juga? Saya kira anda hanya akan terpukau dengan kecantikanku terus menerus?" balasnya telak, melanjutkan acara makannya yang tertunda. Lexion hanya menggelengkan kepalanya beberapa kali lalu kembali berkutat dengan pekerjaannya kembali, membuat ruangan itu hanya diisi suara keyboard yang saling bersahutan. "Aku ingin liburan," pintanya membuat Lexion menunda pekerjaannya, menatap Qeila yang sedang meneguk minumannya. "Kemana? Aku hanya memesan tempat tapi bukan di Jakarta, kamu tetap akan kesana?" tawarnya, sekitar beberapa minggu lalu ia sempat membahas private room untuk liburan khusus Qeila dan dirinya saja tapi tertunda karena banyaknya kendala. "Aku ingin liburan," ulang Qeila lagi, kini membereskan sisa makanannya lalu memasukkannya ke dalam kantongan besar. Lexion meninggalkan kursi kerjanya ikut duduk disamping Qeila, memandangnya cukup lama dan sadar setelah Qeila memukul pahanya keras. "Apa liat-liat?" kesalnya, membuang sampahnya ketempat s****h yang tersedia di diluar ruangan. Lexion tertawa ditempatnya, tawanya masih menggema hingga Qeila kembali duduk disampingnya. Tawamya terhenti karena tiba-tiba saja Qeila menyandarkan kepalanya di pundaknya,Qeila memejamkan matanya membuat Lexion bingung dengan perubahan Qeila. "Kemarin aku ketempat dulu, jalan-jalan dipasar melihat kenangan lama. Ternyata kakak sering mengantarku tapi hanya sebatas didepan hutan setelahnya membiarkanku berjalan sendirian masuk pasar, sampai sekarang aku masih penasaran siapa yang sering kupanggil kakak preman," Lexion mengepalkan tangannya mendengar perkataan Qeila yang terakhir, "kamu memanggil yang lainnya dengan sebutan itu juga, Qei. Hanya aku yang kamu panggil dengan namaku saja," jawabnya berusaha membuat suaranya setenang mungkin, "Tapi dalam ingatanku dia baik, Kak Langit." "Mereka baik padamu karena aku, Herlena. Berhenti membahas masa lalu, aku akan mengatur liburan kita hari ini agar besok kamu bisa fokus bekerja menyelesaikan pembangunan Hotel." Qeila menegakkan badannya ia tau Lexion marah karena ia membahas orang lain, ia tau Lexion tidak suka ia membahas orang itu. "Apa dia yang mendonorkan mata untukku?" tanyanya lagi, Lexion berdiri memilih menelpon seseorang agar menyewakan tempat wisatanya hari ini dan tentunya dekat dengan kantornya. Qeila menghela napasnya pelan, ia tau Lexion sedang dalam mode cemburunya. Semuanya terasa tiba-tiba sekali, padahal kemarin Qeila masih menjadi orang yang bekerja sesukanya, bodoamatan, ingin melakukan apapun sesuai apa yang dia mau. Tapi sekarang? Sudah berbeda sekali. Qeila memutuskan untuk mendekat, memeluk lengan Lexion yang masih sibuk menelpon dengan seseorang diseberang sana. Pemandangan dibawah sana terlihat cantik sekali, sayangnya ini belum cukup untuk membuat pikiran Qeila membaik. "Kamu ingin berapa lama disana?" Qeila tersenyum saat Lexion menggenggam tangannya, memainkan jemarinya. "Kamu nyewanya berapa lama?" tanya Qeila balik, mendongak menatap Lexion yang sedang tersenyum seakan bahagia dengan suasana sekarang. "Berapa lamapun kamu mau," keduanya tertawa bersama, Qeila menyandarkan kepalanya di bahu Lexion, tinggi keduanya yang hampir sama membuat Qeila tidak begitu susah payah bersandar. "Aku ingin tiga hari saja, bisa kan?" tanyanya tanpa membuka pejaman matanya sama sekali, "Bagaimana kalau satu minggu? Kamu bisa menikmati suasananya. Aku suka melihatmu tertawa seperti dulu, lebih banyak tersenyum dan menikmati keseharianmu tidak seperti sekarang. Sekarang, kamu lebih banyak bersandiwara daripada melepaskan apa yang kamu inginkan," Qeila semakin memeluk erat lengan laki-laki disampingnya tanpa membalas perkataannya sama sekali, Lexion hanya memaklumi membiarkan Qeila melakukan apapun yang membuatnya nyaman. "Nyaman," gumam Qeila pelan, "Kamu dulunya suka mendengarkanku main gitar," Qeila membuka pejaman matanya menatap Lexion menunggu perkataan selanjutnya. "Sayangnya hanya sementara karena kamu terlalu memprioritaskan tugasmu di dapur markas. Kamu juga sering suka bunga, aku bisa memperlihatkan bunga apa yang kamu suka dulu, mau melihatnya? Mumpung matamu sudah berfungsi dengan baik," Qeila melepaskan pelukannya kembali duduk disofa, ia termenung menatap pemandangan kota dari jarak kejauhan. Ia pernah mengingat tentang bunga itu, ia bisa mendengar betapa bahagianya dirinya dulu. "Ada apa? Kamu pernah mengingat tentang bunga?" Lexion ikut duduk disamping Qeila, menarik tangan perempuannya untuk ia genggam dengan erat. "Kamu sudah mengingat tentang rumah pohon itu?" Qeila mengangguk pelan. "Kita bisa kesana, kamu bisa melihat bentuknya apakah dulunya sesuai dengan bayanganmu atau tidak," lanjutnya dengan senyuman tertahan. "Jangan." sahut Qeila pelan, "Ada apa? Kamu tidak ingin melihat rumah pohon yang kubuatkan?" "Tidak, aku sangat ingin melihatnya. Aku selalu ingin melihat apapun yang dulunya kulalui di masa lalu, sayangnya aku belum siap karena kenangan Indah selalu datang bersamaan dengan kenangan buruk." "Kita bisa kesana, jadinya kenangan buruknya bisa tergantikan dengan kenangan indahnya, bisa?" Qeila memusatkan pandangannya pada Lexion, "teman-temanmu masih ada disana, mereka yang belum tertangkap masih tinggal tak jauh dari markas sebelumnya. Mereka bahkan mengincarku," Lexion melepaskan genggaman tangannya meninggalkan Qeila sendirian didalam ruangan. Qeila tau, sangat tau. Lexion sedang pergi menanyakan detailnya pada Joe, Lexion ingin tau lebih banyak tentang apa saja yang terjadi disana. *** Lexion menunggu Qeila masuk lebih dulu sebelum melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah Benfa, ia bingung dengan semua hal yang terjadi beberapa waktu ini, terlalu mendadak dan sulit memahaminya. "Banyak teman lama anda masih tinggal disana, Tuan. Mereka tinggal di dalam tenda selama ini, sekitar dua minggu lalu saya menemani Nona kesana dan beliau ketahuan untungnya penjaga dengan sigap menembaknya, membuang mayatnya menjauh dari sana agar tidak melapor. Anda akan menanggapinya seperti apa tuan?" Apa yang akan Lexion lakukan? Haruskah Lexion datang kesana memberitahu mereka jika Qeila tidak bersalah padahal Lexion sendiri masih bingung dengan kebenarannya, Lexion sendiri masih bingung sebenarnya semuanya kearah mana? "Anda harus menjaga Nona dengan baik Tuan, walaupun bos preman sudah tertangkap tapi saya yakin didalam sana dia merencanakan sesuatu untuk Nona." Lexion menepikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi, menatap kedepan kearah jalanan yang begitu gelap hanya diisi penerangan lampu mobilnya. "Tuan Besar berniat menangkap mereka semua, apa anda keberatan Tuan?" Ia kembali melanjutkan perjalanan panjangnya, kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda tadi. Ia harus bisa menyelesaikannya sebelum membawa Qeila untuk liburan selama tiga hari lamanya. Ponselnya yang berdering membuat Lexion memasang earphonenya menekan tombol terima dan mulai berbicara ternyata sekertarisnya. "Semua pekerjaan anda sudah saya kosongkan selama tiga hari, Pak. Untuk hari ini juga sudah selesai, pekerjaan yang tertunda tadi bisa anda lanjutkan setelah anda kembali dari liburan. Selamat liburan, Pak." "Kamu yakin? Saya tidak ingin ada kesalahan saat saya pulang nanti," ia membawa mobilnya masuk kedalam garasi rumah, ia memutuskan untuk pulang kerumah pribadinya. "Tadi klien sudah saya konfirmasi ulang, Pak. Mereka memaklumi malahan mengucapkan selamat liburan untuk anda, mereka berharap setelah anda kembali liburan bisa fokus bekerja bukan malah memikirkan hal lain." "Baiklah, saya harap kamu bisa menghandle semuanya saat saya pergi selama tiga hari," ia membawa langkahnya masuk kedalam rumah disambut kepala pelayan yang memang ia pekerjakan didalam rumah pribadinya. "Ya, Pak. Terimakasih karena telah mempercayakan saya." Lexion mematikan sambungan teleponnya, bersiap mendengar apa yang kepala pelayan yang ingin katakan padanya. Lexion duduk terlebih dahulu, pelayan lain dengan sigap menuangkan jus mangga yang selalu tersedia kedalam gelasnya, Lexion meminumnya sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya diatas meja meminta kepala pelayan bicara. "Tadi keluarga anda kemari, Tuan." Lexion menegakkan badannya, "Untuk?" tanyanya, meminum kembali jusnya hingga habis. "Beliau meminta anda mempertemukannya dengan tunangan anda, keluarga besar ingin bertemu dengannya Tuan." Lexion terkekeh pelan, sayangnya sebagian keluarganya apalagi yang berasal dari mamanya,mereka semua suka cerita asal-asalan, suka merendahkan orang lain. "Lalu?" Lexion menunjuk gelasnya meminta pelayan kembali menuangkan jus kedalam sana, mendengar keluarganya meminta bertemu Qeila membuat tenggorokannya kembali kering, rasanya tandus didalam sana. "Kalaupun anda bersedia menyetujuinya, adik bungsu Nyonya besar akan menyediakan tempat paling mahal di tempatnya, restoran Bintang limanya. Mereka menunggu, Tuan." Meminum hingga habis kemudian menyimpan gelasnya dengan kekesalan yang begitu tinggi hingga membuat suara yang begitu nyaring, sebagian pelayan memejamkan matanya sedikit takut. "Jangan membiarkan mereka masuk kedalam rumahku lagi, minta kepala penjagaan bertemu denganku sekarang, saya menunggunya di ruang tengah." Lexion meninggalkan ruang makan dengan kekesalan yang begitu besar, selepas kepergian Lexion mereka bernapas lega. Lexion menghempaskan tubuhnya di sofa panjang yang tersedia di ruang tengah, menatap langit-langit ruangan yang sengaja ia minta gambarnya sebuah pemandangan alam yang begitu lepas, kepalanya kembali tenang setelah melihat pemandangan buatan itu. Keluarga yang berasal dari mamanya selalu melihat orang dari sisi kekayaan, keturunan dan menanyakan apa saja prestasinya selama ini berbeda dengan keluarga ayahnya, mereka terbuka dan sibuk dengan urusannya sendiri. Mereka begitu gila akan sebuah harta yang tak berguna sama sekali. "Saya disini Tuan." Lexion memandang kepala penjaga yang ia tugaskan dirumahnya, ia tersenyum miring melihat jemarinya saling bertaut pertanda sedang gelisah. Lexion memiringkan badannya, menatap orang itu. "Kamu tau kesalahanmu?" tanyanya santai, sembari menekan remot untuk menyalakan TV. "Maafkan saya, Tuan. Tadi adik Mama anda mengancam akan membahayakan keluarga saya jika tidak dibiarkan masuk kedalam. Saya juga memikirkan keluarga saya, Tuan." Lexion menganggukan kepalanya pertanda mengerti, "bawa keluargamu untuk tinggal kemari bersamamu. Dan saya meminta kamu untuk tidak membiarkan siapapun masuk kedalam rumahku ini, kecuali foto perempuan yang kuberikan padamu beberapa waktu lalu," ia memindahkan channel TV melihat berita terbaru. "Bagaimana? Kamu mau?" "Akan saya lakukan sesuai keinginan anda, Tuan. Terimakasih atas kesempatan yang anda berikan pada saya, tapi sudah lama rumah ini ada tapi perempuan yang harapkan datang tidak pernah kemari," Ia tertawa pelan mengibaskan tangannya meminta kepala penjaganya pergi, seolah mengerti ia benar-benar pergi membiarkan Lexion sendirian di ruang tengah, ditemani gemaan berita di TV terbaru minggu ini. Sudah dua minggu berlalu atau mungkin sudah lama, tapi Qeila masih terpampang nyata di TV berjalan bersama pengelola mall tapi hanya beberapa menit karena disana terlihat Qeila dengan tergesa-gesa masuk kedalam mobil, pergi. Lexion meninggalkan Ruang tengah dengan televisi menyala begitu saja, berjalan keatas menuju kamarnya sembari bersenandung pelan pertanda saat ini ia begitu senang, berita tentang kedatangan keluarga mamanya yang datang tidak begitu mengganggunya. Segera melepaskan jam tangannya, melempar dasinya ke ranjang. Menarik handuk untuk segera membersihkan diri, kembali keluar dari kamar mandi lima belas menit kemudian. Memakai baju dengan cepat dan kembali turun kebawah merebahkan badannya diruang tengah menonton berita. Tak lama setelah ia merebahkan badannya pelayan datang membawa sepiring buah-buahan untuk Lexion. "Tunggu sebentar," instruksinya sebelum pelayan itu berlalu. "Ya Tuan." ia kembali, berdiri menunggu perintah. "Beritahu kepala pelayan untuk memasak banyak makanan besok karena perempuan yang saya tunggu kemari akan datang, berikan pelayanan terbaik jangan sampai membuat dia tersinggung atau hal Buruk lainnya," "Saya akan segera memberitahu, Tuan." Setelah melihat Lexion mengangguk, pelayan itu segera berlalu. Lexion bangun dari rebahannya memakan buah-buahan yang telah disiapkan, ia kembali mengingat perbincangannya dengan Qeila sebelum berpisah, matanya juga menatap foto perempuan berbeda penampilan yang tergantung rapi di rak buku. "Apa ini?" "Itu alamatku, aku sangat mengharapkan kamu datang kesana melihat-lihat. Setelahnya kita akan berangkat menuju tempat wisata selama tiga hari, bisa kan?" "Bisa, besok pagi aku akan meminta Benfa mengantarku lagian Kena juga sudah ada Dokter Arfan yang menemani." "Terimakasih, aku menunggunya." "Ya, sama-sama." Lexion tersenyum senang, ia akan memberikan yang terbaik untuk perempuannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD