43 - Liburan Singkat

2045 Words
Sebuah perbedaan yang cukup mencolok. Aku seakan melihat diriku sendiri didalam foto yang tergantung didepanku, hanya saja senyumku masih sama, caraku tertawa masih sama seperti dulu seakan pertanda semuanya masih baik-baik saja. "Hai Herlena, kamu masih ada didalam diriku kan?" gumamku dan tertawa sendirian diruang tengah, masih terpaku melihat fotoku. Didalam sana, aku tertawa riang sendirian ditengah tanah yang begitu tandus dan terdapat karangan bunga di kepalaku. Haruskah aku mengakui jika buta bukanlah kecatatan? Lalu mengapa orangtuaku membuangku? "Tuan meminta anda menunggu sebentar, Nona." aku menoleh kesamping dan mengangguk, orang itu kembali kedalam meninggalkanku sendirian diruang tengah. Sejak datang hingga sekarang para pelayan bahkan penjaga yang ada disini menyambutku dengan baik, mereka menyapa dengan ramah ditemani senyuman Indah, bukankah sekarang aku telah diratukan oleh seseorang? Bukankah ini sebuah keberuntungan? "Kami menyiapkan makanan untuk anda, Nona. Silahkan dinikmati," seolah tersadar kembali, aku menatap kearah meja panjang ada berbagi macam kue kering dan desert disana. "Terimakasih, kalian terlalu baik padaku," ujarku tulus, beberapa dari mereka refleks melihatku membuatku kebingungan. "Ada apa? Aku hanya mengatakan terimakasih karena kalian begitu baik padaku. Kalian bisa lanjut bekerja tidak perlu menemaniku sampai segininya." aku tertawa, duduk dengan anggun memakan buah-buahan terlebih dahulu. Beberapa dari pelayan menuruti keinginanku tapi beberapa dari mereka masih berdiri ditempatnya menunggu perintah dariku, aku berusaha tidak memperdulikan keberadaan mereka hanya sibuk melihat TV yang menampilkan grafik saham yang stabil hari ini. "Apa menyenangkan tinggal disini?" aku mengenal suara itu tapi kedatangannya ku abaikan. "Para pelayan membuatmu nyaman kan?" lanjutnya lagi, kurasakan sisi sofa bergerak pertanda Lexion ikut duduk disampingku. "Apa makananya kurang banyak?" Kutolehkan kepalaku kesamping menatap Lexion yang kini berpakaian berbeda seperti biasanya, tapi entah kenapa aku lebih suka melihat dirinya yang dulu. Ketika aku seakan membayangkan melihat sosokku dan Langit di hutan kemarin-kemarin. "Sudah banyak, kita akan segera berangkat?" jawabku tenang, tanpa memutuskan kontak Mata kami. "Kamu suka disini?" pertanyaan itu lagi, aku mendongak menatap langit-langit ruang tengah ini, pemandangannya sama dengan latar belakang yang ada di foto lamaku. Apa dia sengaja? "Kamu pasti sudah tau darimana lukisan diatas berasal?" "Lukisan? Pemandangan diatas sana di lukis?" tanyaku tak percaya, walaupun hal ini sudah biasa terjadi bahkan aku pernah merekomendasikan metode ini pada klienku tapi tetap saja budgetnya tidak main-main, ratusan juta. "Ya, yang diatas sana adalah lukisan. Setiap kali aku melihatnya aku serasa kembali ke masa dulu, setiap kali kamu kesana dan kebetulan ada aku disana. Kamu akan memintaku membuatkanmu mahkota bunga, kamu bermain tanpa beban, tertawa begitu riang padahal umurmu bukan kanak-kanak lagi, sudah pantas menikah malah." Mataku menatap fotoku lagi, walaupun difoto candid dari samping tapi itu bisa menggambarkan disana aku benar-benar bahagia. Tanpa sadar aku tersenyum, aku ingin kembali ke momen itu. "Kamu cantik." Aku tertegun, aku seperti dejavu dengan kata itu. "Kamu cantik." "Hahaha, perempuan kan memang selalu identik dengan kata cantik kak Langit. Aku juga yakin kalau kak Langit tampan," "Oh ya? Bagaimana kalau aslinya wajahku tidak tampan? Bagaimana kalau sebenarnya aku lebih cacat darimu?" Kilasan tiba-tiba itu membuatku menatap Lexion intens. "Sekarang, aku bisa melihat bagaimana wajahmu kak Langit. Wajahmu bahkan melebihi ekspektasiku, bagaimana mungkin wajah seperti ini kamu katakan lebih cacat dariku?" ujarku lirih, ekspresi Lexion berubah terkejut. Ia berdehem beberapa kali bahkan matanya kini enggan melihatku padahal sejak tadi aku masih memandangnya. Ternyata begini saat lakilaki salah tingkah? Kenapa terlihat menggemaskan sekali rasanya. "Aku ambil barang dulu setelahnya kita berangkat." ia berdiri naik keatas tangga. "Aku lebih suka kalau kak Langit menjadi diri kakak sendiri," ujarku dengan suara sedikit keras membuat Lexion membalikkan badannya ditangga dengan cepat, menatapku terkejut. Lima detik kemudian aku juga tertegun, apa yang baru saja aku katakan? Aku mengalihkan pandanganku kearah lain dan suara langkah yang berlari membuatku kembali menatap ke tangga sudah tidak ada Lexion disana. Kenapa aku tiba-tiba mengatakan kata itu? "Tempat Indah ini sengaja aku temukan untuk kamu, soalnya tempat ini Juga seindah senyum kamu setiap kali tertawa. Jangan pernah memikirkan perkataan orang lain, Helena. Buta bukan akhir dari segalanya, ya memang bukan aku yang merasakannya tapi bukankah ini menyenangkan? Kamu mempunyai kelebihanmu sendiri?" Ingatan tiba-tiba itu membuat jantungku berdetak kencang, kusimpan tanganku diatas letak jantungku merasakan betapa cepatnya detakannya didalam sana. Sudah berapa lama perasaanku pada laki-laki sombong itu? Sudah berapa lama aku mengaguminya? "Kakak preman, bisa jabarkan bagaimana penampilan kak Langit hari ini?" "Kenapa? Kamu kini memusatkan perhatianmu padanya? Apakah sekarang hatimu sudah diisi Langit saja? Tidak bisa diisi orang lain lagi?" "Kakak preman bicara apasih, orang aku nanya soal penampilan kakak malah bahas soal hati, aneh deh." "Hahaha, bercanda adik manis. Padahal baru kemarin kamu ngeluh capek jadi perempuan eh sekarang sudah umur segini. Kamu makin cantik deh, nanti kalau sudah besar dan menikah sama pilihanmu jangan lupakan aku ya," "Ih, aku engga mau nikah." "Loh? Kenapa?" "Aku pengen disini sama kalian, menghibur anak-anak yang ingin pergi. Memangnya siapa yang mau menikah dengan perempuan buta dan terbuang sepertiku? Kakak ada-ada saja." Aku menyandarkan punggungku disofa, memejamkan mataku berusaha menikmati suara percakapanku dengan seseorang yang masih misteri untukku. Sudah berapa banyak orang yang berhasil ku ingat? "Mau kemana adik cantik?" "Kakak preman ini kenapa sih? Padahal matanya masih berfungsi masa kalah sama aku. Liat aku bawa keranjang cucian engga? Ini mau mencuci dong, gitu aja masih bertanya." "Hahaha, kamu makin lucu. Kakak Langit mu mana? Kok engga keliatan?" "Hm engga tau, endak mau tau." "Marahan ya? Kenapa? Ayo cerita." "Masa ya masa, kak Langit katanya punya pacar di kota. Kata Demiz orangnya cantik, putih pastinya sempurna engga kayak aku buta. Aku engga pernah bermimpi jadi pasangannya kak Langit kok, cuman sedikit sedih aja. Pasti kak Langit sekarang bahagia, udah lupa sama aku." "Kan ada aku." "Ih engga mau, kakak jahil terus." "Hahahah." Suara sepatu yang bersahutan membuat pejaman mataku terbuka, ternyata Lexion yang datang. Berpakaian kaos putih polos ditemani kemeja kotak-kotak putih hitam tanpa dikancing, celana selutut plus sneakers hitam. Berbeda dari biasanya. Apa benar Dia pernah punya pacar dulu? "Aku mengingat sesuatu," ujarku tiba-tiba. "Apa?" sahutnya, menunggu jawabanku. "Demiz pernah bilang padaku kalau kamu mempunyai pacar dikota, apa itu benar?" tanyaku memberanikan diri bukannya dijawab Lexion malah tertawa terbahak-bahak, menarik tanganku untuk berdiri dan berjalan keluar rumah ditemani suara tawanya yang begitu menyebalkan. Padahal aku hanya ingin jawaban antara iya dan tidak tapi dia malah terus tertawa. Aku benci dia, tapi entah kenapa jantungku berdetak kencang melihat betapa tampannya Lexion ketika tertawa begitu bebas seperti ini, matanya menyipit, tawanya yang merdu, bibirnya yang melengkung pertanda bahagia. "Bagaimana pacarku katanya?" aku mengerutkan kening tak suka, bukannya menjawab pertanyaanku dia malah bertanya balik. "Joe! SIAPKAN MOBIL!" teriakku kesal membuatnya semakin tertawa disampingku, aku berniat menginjak kakinya dengan hak tinggiku tapi dia dengan sigap menjauhkan badannya. Beberapa penjaga bahkan kaget dengan teriakanku tadi, aku sama sekali tidak peduli. Lexion benar-benar menyebalkan hari ini, aku sangat ingin menjadikannya samsak kekesalanku, melampiaskan amarahku padanya. "Kamu belum menjawab pertanyaanku," dia kembali mendekat dengan gaya santainya, memasukkan kedua tanganya kedalam kantong celananya. Sok keren! "Joe, apa perjalanan kesana lama?" aku berusaha mengabaikannya, salahku juga kenapa memberitahunya soal itu. Jadinya dia kepedean, bodohnya dirimu Qeila kenapa sikap Herlena malah kamu pergunakan? Joe yang tadinya bersiap berbicara malah terhenti karena ponselnya berbunyi, segera meminta izin untuk mengangkatnya meninggalkanku dan Lexion berdua di teras depan rumah. Aku memandang Lexion kesal dia balas dengan menaik turunkan alisnya, setres memang. "LO ITU PETAKA!" Kupegang kepalaku cepat, suara teriakan itu tiba-tiba menggema dalam pikiranku. "Kenapa? Kamu kenapa?" Pertanyaannya tidak kujawab, suara dengungan dikepalaku terlalu mendominasi. Suara tawa jahat terasa begitu menyeramkan,suara dan teriakan mereka begitu menyeramkan. "Kamu tidak papa, Qei?" Ku gelengkan kepalaku beberapa kali berusaha memperbaiki penglihatanku yang sempat buram, setelah sadar aku kaget ternyata sudah berada dalam pelukan Lexion. Tanganku bahkan memeluknya erat, heh! Bukankah tadi kedua tanganku memegang kepalaku kenapa sekarang malah memeluk Lexion begitu erat? "Maafkan aku,Qei. Demiz hanya mempermainkanmu saat itu, aku tidak pernah mempunyai pacar. Aku sangat yakin Joe sudah mengatakan padamu kalau aku mencintaimu sudah sangat lama, bagaimana mungkin aku mengajak perempuan lain berkomitmen padahal dihatiku sudah ada mengisinya." "Oh ya? Banyak laki-laki seperti itu. Mereka bahkan bisa mempunyai hubungan dengan banyak perempuan padahal dia tau pasti pemilik hatinya siapa, bukankah itu terlalu serakah?" "Mungkin ada yang seperti itu, tapi itu bukan aku." Aku melepaskan pelukan kami, entah bagaimana caranya aku bisa berakhir kedalam pelukan Lexion. Aku menjaga jarak dengannya tak memberikan respon apapun padanya, aku tidak tau ingin mengatakan apa. "Kamu ingat apalagi?" Mataku memandang kedepan, kalau aku menjawab kenangan lama bersama seseorang yang kupanggil kakak preman maka mood Lexion akan memburuk, dia pasti akan diam terus sedangkan aku tidak pintar membujuk laki-laki jika dalam mode buruknya. "Hm, kamu menemaniku ke pasar tapi hanya sampai perbatasan hutan dan pasar. Kamu hanya menungguku disana setelahnya aku sendirian." bohongku, tapi bukan bohong karena kemarin aku sempat melihat momen itu. "Oh ya? Apalagi?" tanpa sadar aku bernapas lega, akhirnya Suara Lexion kembali santai, baguslah. "Kita berangkat." ujarku mengalihkan pembicaraan apalagi Joe sudah berjalan kembali kemari, aku segera meminta Joe mengambil mobil. Kali ini dia yang akan menyetir, kami akan keluar ditemani beberapa penjaga untuk perjalanan panjang. Aku belum pernah bertanya kemana Lexion akan membawaku liburan karena katanya semalam dia merubah tempatnya. Sebelumnya Lexion ingin daerah Jakarta saja tapi semalam saat mengantarku pulang dia mengatakan berubah lagi tempatnya, keluar dari Jakarta bahkan naik pesawat. Padahal hanya tiga hari tapi dia begitu menghambur-hamburkan uang. "Spertinya pihak sana tak ingin mengalah, Tuan. Mungkin anda perlu menaikkan penawaran yang anda berikan agar mereka tidak beralih ke perusahaan lain, menurut saya akan banyak keuntungan yang kita dapatkan dari project itu nantinya," Aku menguap malas ditempat dudukku, sejak mobil jalan hingga lima belas menit kemudian mereka berdua terus membahas pekerjaan, padahal liburan ya liburan, pekerjaan dibiarkan saja dulu nanti akan dapat waktunya juga. "Tapi itu termasuk penawaran cukup tinggi, Kemarin Papa memintaku menurunkannya katanya terlalu tinggi tapi kamu malah menyarankan menaikkan, apa tidak ada solusi lain?" Masih berlanjut ternyata, aku memutuskan menyandarkan kepalaku pada Lexion yang langsung ia perbaiki posisinya, mengelus rambutku beberapa saat sebelum memainkan jemarinya diatas tab yang dipegangnya sejak tadi. Sekilas aku bisa melihat apa yang tertera disana, grafik perusahaan. Didepan, kulihat Joe menekan tombol musik membuat mobil menjadi lebih hidup. Aku berusaha mencari posisi nyaman karena rasanya kepalaku tidak baik posisinya tetapi Lexion malah memintaku berbaring saja. "Baring saja, kalau tau kamu akan tidur lebih baik kita memakai mobil yang satunya bukan yang ini. Jadikan pahaku sebagai bantal, " aku menurut,merebahakan badanku. "Kamu tidak lapar kan? Siapa tau ingin makan sesuatu?" bisiknya padaku, kurasakan tangannya mengelus rambutku dengan pelan. Bukankah menyenangkan dijadikan Ratu oleh seseorang yang katanya sangat membenci kita? "Tidak, lanjutkan saja pekerjaanmu. Aku benar-benar akan mengamuk kalau nantinya sesampainya disana kamu malah membahas pekerjaan dengan Joe didepanku. Aku akan melempar kalian berdua dari tempat paling tinggi menuju tempat paling rendah," balasku dengan suara pelan. Lexion tertawa, tangannya masih aktif mengelus rambutku. Aku menatapnya yang juga ternyata sedang menunduk menatapku, senyumnya masih ada. Aku sebenarnya ingin bertanya tentang kakak preman tapi aku yakin sedetik setelah kata itu aku sebutkan, Senyum Lexion akan menghilang. Tidak mengatakan apapun, aku kembali memiringkan badanku menatap bagian belakang kursi kemudi yang Joe duduki. Alunan musik masih terdengar, hanya alunan saja tidak ada suara menyanyi membuat pikiranku menjadi lebih rileks. "Kalau kamu diberikan kesempatan kembali ke masa lalu, apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku padanya, mataku masih menatap kedepan. "Apa yang akan aku lakukan? Mungkin mengambilmu dari keluarga Jespara,mencarikan donor mata untukmu dan memberikan banyak kebahagiaan untukmu. Aku tidak akan bergabung dengan mereka, kita akan menjadi teman sepermainan dan dewasanya akan menjadi teman hidup selamanya. Bukankah itu menyenangkan?" Aku tersenyum. "Kita akan menjadi teman sepermainan dan dewasanya akan menjadi teman Hidup?" ulangku dengan suara pelan, mengulang perkataan terakhirnya. Kurasakan tangan Lexion kembali mengelus rambutku, ia tidak menganggapi apapun. Aku juga tidak tau bagaimana ekspresinya sekarang. "Lalu, andaikan kamu diberikan hanya satu kesempatan, apa yang akan kamu pilih?" suara kekehan Lexion terdengar lagi. "Hmm, mungkin memaksamu untuk keluar dari hutan itu meskipun kamu tidak mau. Itu adalah pengandaian yang terus kuulang setiap kali aku mengingat masa lalu, coba dulunya aku membawamu langsung bukan malah membiarkanmu bertahan di hutan pasti sekarang nasibnya berbeda," Gerakan tangannya di kepalaku terhenti, aku merasa mataku semakin berat untuk kutahan. Alunan lagu yang Joe putar seakan benar-benar diciptakan agar memudahkanku mengantuk dan menjemput alam mimpi. "Tidurlah, jangan memikirkan hal lain." seakan mantra, mataku benar-benar terpejam. Selamat datang dunia mimpi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD