41 - Kembali Ke Jakarta

2121 Words
Dua minggu kemudian. Terkadang, kita sangat ingin kembali ke masa lalu. Menatap banyaknya kisah yang harusnya diperbaiki agar tidak seberantakan sekarang. Dunia memang lebih mendominasi sifat tipu daya manusia, suka menarik ulur seseorang. "Mau turun?" Aku menggeleng pelan, hanya menatap kosong bangunan yang telah siap selesai. Lebih cepat dari perkiraanku dan yang lainnya, aku benar-benar takjub dengan keajaibannya. "Kita jalan-jalan saja?" Aku menggeleng lagi, bangunan bernama hotel itu telah rampung tinggal halaman hotelnya saja serta taman-tamannya yang mengelilinginya. Begitu mewah, dihiasi kristal-kristal disetiap sudutnya, sesuai dengan keinginan para penanam saham. Tanganku tergenggam erat membuat perhatianku teralihkan, sejak tadi Kena memang disampingku. Ikut bersamaku ke Jakarta dan Dokter Arfan mengambil cuti Sejenak demi menemaniku. Karena lebih cepat selesai dari perkiraan, maka peresmian dan pembukaan Hotel 'Qei' ini akan dilakukan 5 minggu dari sekarang. Memang masih lama, tapi karena waktu cuti kerjaku sudah selesai maka aku harus kembali. "Qei, nama hotel itu adalah namamu kan?" Aku menghela napas pelan dan meminta Joe melanjutkan perjalanan kami menuju rumah Benfa yang tak jauh dari sini. Jakarta masih sama, keramaian selalu ada dimana-mana dan juga macet seringkali ada menyapa. Mobil melaju dalam keheningan, hari ini aku datang tanpa mengabari siapapun untungnya Joe mau diajak bekerjasama. Aku akan mengantar Kena kerumah Benfa setelahnya akan ke perusahaan Andatio, membahas tentang pembangunan yang ternyata lebih cepat dari perkiraaanku yaitu selama 6 bulan. Setelah mobil terhenti, Kena memelukku dan memintaku untuk segera pulang sehabis bekerja. Hanya kubalas dengan anggukan setelahnya meninggalkan Kena yang mematung di teras depan. "Semua orang punya kegiatan?" tanyaku semenit kemudian. "Tuan Besar sedang keluar rapat, Tuan Lexion sedang mengadakan pertemuan dengan beberapa klien di perusahaan. Beberapa manager sedang melakukan rapat dadakan, anda tetap akan kesana?" jelasnya panjang lebar. "Ya, jangan mengabari siapapun." ulangku sekali lagi, dibalas Joe dengan anggukan paham. Mobil terhenti, aku segera turun setelah dua penjaga berdiri disisi mobil. Aku berjalan masuk diiringi beberapa tatapan kagum, iri, dan penasaran mungkin, karena tidak terlihat selama dua minggu lamanya. Didepan lift, aku bertemu pandang dengan beberapa karyawan mereka menyapa ramah. Membiarkanku masuk sendirian keatas tanpa mereka ganggu sama sekali, kenapa aku merasa ada yang tidak beres? "Joe, apa terjadi sesuatu saat aku pergi?" tanyaku heran, biasanya Beberapa karyawan akan berbincang hangat denganku tapi mereka hanya mengucapkan 'selamat pagi' setelahnya berlalu seolah ketakutan. Apa aku mengerikan? "Sehari setelah anda pergi, Tuan Besar membuat pengumuman siapapun yang menganggu anda, membuat anda terluka dengan kata-katanya, ataupun membuat anda tertekan dan terluka maka orang itu tidak akan merasakan ketenangan dalam Hidup setelahnya. Jadinya mereka berusaha seramah mungkin pada anda, harap dimaklumi Nona," Aku tidak suka terlalu diatur begini, "memaklumi dalam hal?" ujarku dengan suara agak meninggi. "Tuan Besar ingin anda seperti biasanya, Nona. Saya tidak bisa menjelaskan apapun, nantinya anda akan mengerti sendiri." aku menghela napas pelan, memijat pelipisku yang tiba-tiba terasa pening. "Anda baik-baik saja, Nona?" "Hm." balasku enggan. Lift terbuka, aku memang langsung menuju ruangan Lexion, kalau dia menolak keberadaanku maka aku memang tidak berarti untuknya tapi jika dia menyambutku malah memperkenalkanku dengan ramah pada rekan kerjanya maka aku akan menganggap perasaannya tidak main-main padaku. "Lo beliin dia baju lagi?" Suara itu tiba-tiba menggema membuat langkahku terhenti, memegang kedua sisi kepalaku dengan cepat. Suara siapa lagi itu? Kenapa aku harus terus menerus seperti ini? "Iya, bajunya cantik dan cocok untuknya. Kamu jangan menghina bajunya kampungan atau sejenisnya, kemarin aku gagal kasi dia baju karena kamu." Mataku terbuka, itu adalah suara Lexion. Jangan bilang kalau itu adalah hasil curi dengarku di masa lalu. "Kali ini gue puji pilihan lo lumayan tapi gue yakin bajunya kebesaran untuk perempuan pujaan hati lo itu, Coba lo belinya ukuran M pasti lebih cocok. Gue yakin harganya engga main-main, lo selalu bilang sama dia kalau harganya biasa aja padahal aslinya beuhh!" Aku mundur beberapa langkah hendak menjatuhkan diri tapi langsung ditangkap Joe. "Nona, anda sebaiknya kubawa ke ruang tunggu Tuan Besar." Perkataan Joe tidak terlalu jelas terdengar hanya suara tawa anak-anak yang selalu bersahutan tanpa henti dalam pikiranku. Apa kesehatanku makin memburuk? Atau aku telah berada di tahap depresi? "Anda tunggu disini sebentar, Nona." Aku membuka pejaman mataku sesaat setelah dibaringkan oleh Joe, laki-laki itu keluar meninggalkanku sendirian disini. Aku memegang kepalaku erat saat teriakan anak-anak menggema,terdengar begitu memilukan. "Kak Herlena, caca tidak mau pergi!" "Jingga Juga!" "Kakak!" "Selamat bertemu di masa depan Caca,Jingga dan Anela. Semoga kalian bisa menemukan jalan kalian sendiri diluar sana," Plakk! "Lo penyebab Demiz meninggal perempuan buta. Lo adalah kesalahan yang Demiz lakukan karena membawa anak buta kedalam markas ini." "Kak Langit! Kak Langit!" "Lo pikir lo spesial hah?" "QEILA!" Mataku terbuka kembali langsung bertemu pandang dengan Lexion, ia terlihat sangat khawatir dengan membawa segelas air ditangannya. Dia mana mungkin berniat menyiram wajahku dengan air kan? Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan tak lama kemudian aku benar-benar menangis membuat Lexion dengan refleks menarikku kedalam pelukannya. Entah kenapa aku merasa sesak, merasa dunia ini tak adil, aku merasa pikiranku benar-benar telah mereka manipulasi. "Maaf." Tangisanku semakin terdengar pilu setelah mendengar Lexion mengatakan maaf. Memangnya apa alasan maaf itu tiba? Apakah karena telah mencintaiku? Apakah karena dulunya peduli padaku? Atau karena tidak memperdulikanku? Mengapa dia mengatakan maaf? "Apa aku dulunya selalu melepas anak-anak setiap kali mereka ingin dibawa pergi?" tanyaku dengan suara serak, karena masih berada dalam pelukan Lexion aku bisa merasakan badannya mematung. "Apakah dulunya akulah yang membantu mereka bersiap-siap sebelum pergi? Masalah sederhana seperti itu kamu pasti tau kan?" "Ada apa? Kenapa? Apa pertanyaan itu sulit kamu jawab? Siapa Demiz? Kenapa aku yang disalahkan atas kematiannya? Kenapa harus aku yang ditampar berulang kali?" dengan sisa tenaga yang kumiliki kulepaskan pelukan kami. Aku menghapus sisa airmata walaupun nyatanya tetap turun juga, aku menatap Lexion tajam. Jangan bilang Demiz adalah orang yang salah sasaran itu, orang yang memintaku pergi tapi malah menembak punggungku. "Demiz sahabatmu yang meninggal itu kan? Sahabat yang membuat kamu membenciku karena semua orang menganggap akulah penyebab markas itu diserang, kamu tau apa hah! Kamu tau apa tentang kejadian penting hari itu. Kamu engga tau apapun, cuman percaya pada hal yang engga pasti." Aku memundurkan badanku kebelakang hingga membentur kepala ranjang memandang Lexion dengan pandangan tajam, aku membenci sikap lemahku di masa lalu. Aku membenci perempuan lemah yang dulunya selalu saja mau disalahkan. "Malahan aku yang menyelamatkan banyak anak-anak tapi kalian mengatakan akulah penyebab mereka meninggal. Malahan aku yang membuat sebagian preman itu selamat tapi kalian malah menyikasaku tanpa henti, apa salahku? Kenapa harus aku?" Kupeluk lututku sendiri sembari terus mempertanyakan kesalahanku padanya, tangisanku terdengar memilukan lagi. "Aku bahkan tidak tau apa salahku hari itu, perempuan polos yang selalu menganggap kejahatan semua orang adalah kebaikan, kenapa harus aku? Jawab! JAWAB! KENAPA AKU?" Suaraku menggema di dalam ruangan ini, aku tidak tau ada apa denganku. Biasanya enggan mempermasalahkan apapun yang kuingat tapi aku malah membahasnya tanpa henti, mengeluarkan semua pertanyaan. "Sampai sekarang pun aku masih berusaha mengingat apa yang terjadi setelah aku ditembak oleh Demiz, apakah aku berlari dari sana? Siapa yang merawat lukaku? Siapa yang membawaku kembali kemari hingga disiksa. Bahkan aku belum mengingat dengan jelas bagaimana penyergapan markas itu untuk kedua kalinya,ada apa dengan kalian?" Kutatap wajahku sendiri di lemari besar, ada cermin luas disana. Sangat berantakan dan sangat bukan Qeila Purnamasari sekali. Berbeda seperti biasanya, aku selalu identik dengan wajah tenang, damai dan tidak lepas kendali. Lalu sekarang. "Demiz menembakmu?" Aku tertawa ditengah-tengah tangisku, dari sekian banyak hal yang ku pertanyakan mengapa hanya itu yang dia katakan. Jadi benar, Demiz adalah sahabatnya orang yang menembakku hari itu. Daripada membalas pertanyaannya, aku memilih merebahkan badanku berusaha menenangkan pikiranku yang terasa melelahkan sekali. Aku berharap setelah bangun nanti sikap menyedihkan ini segera berlalu, segera pergi mengembalikan pikiran warasku yang menghilang karena kenangan yang tiba-tiba datang. Tidak mudah berperang dengan pikiranku sendiri. *** Setelah memastikan Qeila tidur dengan nyenyak, Lexion kini duduk mematung diruangan ayahnya sendiri. Memikirkan kembali setiap perkataan Qeila ataupun kumpulan pertanyaan yang perempuan itu berikan padanya. Ia hanya kaget. Joe yang seharusnya ada di bandung malah tiba-tiba datang membuka pintu ruangannya tanpa mengetuknya,memberikan kabar jika ingatan Qeila datang dan sedang berada diruang tunggu milik ayahnya. Dua minggu bukan waktu yang singkat untuknya, Lexion bahkan berusaha memadatkan jadwalnya agar bisa lupa mengenai adanya Qeila sementara waktu, berusaha semaksimal mungkin tidak menanyakan kabarnya ataupun merindukannya. "Pak, klien masih menunggu anda didalam ruangan." Lexion tidak menanggapi, segala pertanyaan Qeila terus saja menggema dalam pikirannya. "Apa saya minta mereka mengatur ulang jadwal saja, Pak? Sepertinya anda tidak akan bisa fokus bekerja hari ini," sekertaris itu belum mendapatkan jawaban sama sekali, "Saya akan meminta mereka mengatur ulang jadwal, Pak. Berusaha membuat mereka mengerti kalau hari ini anda sedang mempunyai urusan lebih penting," sekilas, sekertaris itu memandang kearah pintu yang terbuka sebelum benar-benar keluar. Lexion masih menatap nanar lantai ruangan ayahnya, merasa linglung dengan keadaan sekarang ini. Bencinya pada Perempuan yang sedang tertidur didalam sana masih ada, sangat besar tapi mana mungkin ia mencintainya tanpa kepercayaan kan? Lalu, kepercayaan macam apa yang Ia pertahankan pada perempuan itu? Cinta tanpa kepercayaan itu munafik. Bahkan orang yang pernah diselingkuhi berkali-kali pun kadang masih mencintai pasangannya walaupun ujung-ujungnya ia meninggalkannya padahal masih Cinta, kepercayaannya masih ada. Tapi jenis kepercayaan apa yang orang itu pertahankan? Cinta dilandasi kepercayaan bukan? Haruskah Lexion mencari orang yang pernah merasakan pengkhianatan lalu menanyakan kepercayaan yang mereka semua pegang? Lexion mengacak rambutnya frustrasi, melepaskan ikatan dasinya dan membiarkannya tergantung begitu saja di lehernya. Rambut yang tadinya rapi ini berantakan, Lexion juga melepaskan jas kantornya menyisakan kameja berwarna abu-abu ditemani dasi kotak-kotak tergantung asal-asalan. Tidakkah Cinta memang menyebalkan? Banyak orang yang akhirnya melepaskan hubungan bukan karena ia tidak mencintainya tapi karena mereka lelah dengan segala drama dibalik dipertahankannya sebuah hubungan. "Pak, saya membuatkan kopi untuk anda agar pikiran kembali segar. Pak Andatio sudah dalam perjalanan kemari setelah dikabarkan Joe mengenai kondisi Bu Qeila. Saya juga sudah mengosongkan jadwal anda hingga sore," ia menyimpan secangkir kopi hitam pekat di meja, berdiri menunggu intruksi Lexion. Tapi lima menit berlalu bahkan hingga menit kesepuluh Lexion masih diam layaknya patung di tempat duduknya. Dengan penampilan seperti sedang putus Cinta padahal cintanya tertidur lelap didalam sana. Sekertaris itu hanya menghela napas pasrah, berlalu dari sana dan keluar dari ruangan menemui Joe. Ia menggeleng pada laki-laki yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri itu lalu duduk menuju tempatnya melanjutkan pekerjaan. Lexion dalam mode diamnya. Tak lama kemudian Andatio datang dengan wajah tenangnya hanya tersenyum tipis menyapa Joe sebelum masuk kedalam ruangannya menemukan putranya benar-benar dalam kondisi kacau. "Ada apa, Son? Tidak biasanya kamu begini? Papa membawa mama baru untukmu saja kamu tidak seberantakan ini," "Jangan membahas hal seperti itu," kesal Lexion, ia tidak suka ayahnya menikah dengan perempuan yang hanya menginginkan harta bukan kesederhanaan. "Hahaha, Papa juga tidak berniat demikian. Kalau kamu ingin termenung layaknya orang gila pergilah ke ruanganmu sendiri, angkat Qeila keruanganmu juga." Andatio menepuk pundak putranya sebagai tanda menyemangatinya. "Papa tau banyak tentang kejadian hampir 3 tahun lalu kan?" senyum Andatio tetap tertahan menunggu kelanjutan pertanyaan putranya. "Papa pastinya tau apa yang terjadi sebelum penyergapan markas yang kedua. Karena aku memutuskan untuk pergi sebelum polisi datang membawa lebih banyak pasukannya membuat tempat itu benar-benar sudah tidak tertolong lagi." Andatio duduk disamping putranya menatapnya dengan senyuman tipisnya. "Nak, Papa memang tau segalanya tapi yang lebih tau adalah perempuan yang ada di dalam sana. Qeila adalah saksi dari segala hal yang terjadi, saksi yang harusnya berada di kantor polisi bahkan kesaksiannya bisa membuat semua orang yang ada di Indonesia bersimpati padanya," Andatio mengubah mimik wajahnya menjadi serius, "kamu hanya mengetahui 30% dari segalanya. Kamu tau apa bagaimana tangisan pilu Qeila setiap malam didalam ruangan itu? Lukanya dibiarkan begitu saja lalu dibuat berdarah lagi esok harinya." Andatio mengepalkan tangannya lalu tersenyum tapi semua orang tau itu bukan sekedar senyuman. Senyuman peringatan. "Papa tidak akan membiarkan mereka menyentuh calon menantu, Papa. Tapi Papa Juga tidak bisa menahan segala siksaan yang mereka berikan pada Qeila dihari-hari itu. Kamu harusnya bersyukur karena pemilik mata itu..." Lexion memandang ayahnya dan Andatio juga memandang putranya, "Kamu harusnya bersyukur karena pemilik mata itu berhasil membawa Qeila kabur dari sana walaupun balasannya adalah nyawanya sendiri. Walaupun dia tetap ketahuan tapi dia berhasil membawa perempuanmu dalam keadaan utuh," Lexion berdiri tanpa mengatakan apapun, hanya menuju ke ruang tunggu mengambil Qeila membawanya ke ruangannya. Keluar dari sana dengan adanya Qeila di gendongannya. "Jangan membenci sorot mata itu, Son. Mata itulah yang berjuang menyelamatkan Qeila hingga dia bisa amnesia sejenak, membangun karakter yang kuat hingga seperti sekarang. Bagaimana jika seandainya dia terbangun dalam keadaan menggila?" Putranya tidak menjawab, membawa langkahnya menjauh tapi kembali terhenti saat Ayahnya mengatakan sesuatu yang sejak dulu sangat ingin Lexion dengar. "Papa sudah menemukan adik Demiz. Kamu bisa bertanya padanya apa yang terjadi hari itu, karena hari itu dialah yang tinggal di rumah pohon menyaksikan semua hal yang terjadi. Kamu bisa bertemu dengannya setelah peresmian Hotel 'Qei'. " Angra ternyata sudah berada dalam jangkuan papanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD