44 - Liburan Singkat II

2043 Words
"Hiks... Hiks... Kakak! Syakila takut!" "Sabar ya kita harus jalan terus supaya orang jahat itu tidak menangkap kita. Kamu berhenti nangis ya, nanti kalau mereka denger tangisan kamu kita malah ketahuan. Coba kamu lihat sekitar, ada orang engga? Kalau tidak ada kita harus segera jalan," Syakila kecil melihat sekitar dengan linangan airmata, matanya menemukan satu polisi yang sedang memeriksa sekitar. "Ada orang jahat kakak, bajunya sama dengan orang jahat tadi," Herlea memeluk Syakila erat, berusaha mengabaikan pundaknya yang begitu sakit. "Jangan keras-keras bicaranya nanti kalau kita ketahuan kan bahaya, kamu cukup liat dia aja nanti kalau dia sudah pergi bilang sama sama kakak, oke?" ia memejamkan matanya sejenak, rasa sakit itu makin menjadi-jadi. "Dia makin jauh kakak," suara serak Syakila kembali menyadarkan Herlena, "kakak, dia sudah tidak ada disini." beritahunya. "Yaudah ayo!" Helena berdiri terlebih dahulu setelah merasakan Syakila menggenggam tangannya erat, keduanya keluar dari semak-semak. Herlena berjalan tanpa arah, suara tangisan Syakila masih jelas terdengar. Dooorr. "Kakak!" "Bukan kita sayang, bukan kita. Kamu cukup bantu kakak jalan terus, coba kamu lihat kedepan, ada pohon besar engga? Di pohonnya ada kain merah, ada engga?" Syakila mengedarkan pandangannya, menemukan satu pohon besar dan ada kain warna merah disana. "Disana kakak!" ia menunjukkannya seolah Herlena bisa melihatnya. "Bantu kakak kesana, oke?" anak kecil berumur lima tahun itu mengangguk, menarik tangan Herlena menuju pohon besar. Suara tembakan yang masih bersahutan sesekali membuat Syakila refleks berhenti berjalan, memeluk pinggang Herlena. "Sudah sampai." beritahu nya lagi, Herlena memajukan kedua tangannya mencoba meraba sekitar karena tongkatnya menghilang. Senyumnya mengembang menemukan benar-benar ada kain disana, untungnya Langit telah memasangkan tanda-tanda agar ketika ia kebingungan bisa tau jalan keluar menuju pasar. "Ayo, kita jalan lagi." ajaknya. "Itu kakak warna merah, baju kakak kenapa warna merah?" "Engga papa sayang, ayo jalan lagi. Kita harus cepat-cepat pergi dari sini nanti mereka menemukan kita." Sesaat, Herlena meringis pelan merasakan luka di bahunya makin menjadi-jadi, tetap berusaha kuat dan mengingat jalan menuju pasar. Ia harus membawa Syakila kesana, menyelamatkan anak ini dari mereka semua. Lima belas menit berjalan, Herlena menjatuhkan badannya begitu saja di tanah membuat tangisan Syakila makin menjadi-jadi. "Kakak engga papa kok, coba kamu lihat sekitar, spertinya sudah dekat dengan pasar," "Engga mau, kakak harus bangun." "Syakila cantik, paling cantik. Kamu coba lihat, ada orang?" Dengan wajah sembab, Syakila menatap sekitar dari kejauhan ia bisa melihat banyak orang disana. Tanpa sadar ia mengangguk pertanda ada, sayangnya saat ia menoleh kearah Herlena, perempuan buta itu sudah tak sadarkan diri. "Qeila! Kamu kenapa? Qei?" Lexion berusaha membangunkan perempuan itu tapi sayangnya Qeila masih Setia memejamkan matanya, tidurnya terlihat gelisah sekali. "Bangun Qeila," menepuk-nepuk pipinya berulang kali hingga akhirnya Qeila membuka pejaman matanya, menarik napas dengan cepat. Matanya menatap Lexion yang sedang khawatir dengannya, ia dengan cepat bangun memeluk Lexion erat tidak memperdulikan sedang berada dimana. Tak lama kemudian suara tangisnya menggema, membuat Lexion gelagapan. "Engga papa, Qeila. Itu hanya masa lalu yang harus kamu lupakan, yang terpenting sekarang kamu sudah aman sama aku dan Yang lainnya. Mereka-mereka yang datang dalam ingatanmu hanyalah kenangan tidak penting, okey?" Walaupun Lexion tidak tau apa yang sedang terjadi, ia tetap berusaha mengucapkan beberapa kata yang telah Arfan ajarkan padanya. Ia bernapas lega mendengar tangisan Qeila tak lagi terdengar. "Kita dimana?" tanyanya dengan suara serak, matanya menatap sekitar. Bukankah tadi ia tertidur di mobil? "Sudah sampai, aku sendiri yang mengangkatmu masuk kedalam sini. Kamu sudah membaik?" Qeila melepaskan pelukannya, menatap sekitar ternyata sudah sampai. "Berapa lama saya tertidur?" tanyanya lagi, "Cukup lama, tunggu sebentar aku minta pelayan bawain kamu makanan." ia meninggalkan Qeila sendirian didalam kamar, Qeila hanya diam linglung saat mengingat mimpinya. Tidak, ia tau itu sama sekali bukan mimpi melainkan kenangannya saat membawa Syakila pergi. Ia menyingkap selimut dan mendekati jendela, pemandangan pantai langsung memanjakan matanya, jadi mereka liburan di pantai? "Mau mandi?" tanpa membalikkan badannya Qeila menggeleng pelan pertanda tidak mau. "Tadi memimpikan apa?" tanyanya lagi, ikut berdiri disamping Qeila memandang lautan yang begitu cantik. Tidak salah juga Lexion memilih tempat ini, sesuai keinginannya. "Suasana saat aku pergi dari sana sembari menahan sakit, dan akhirnya pingsan sebelum sampai di pasar. Terimakasih karena kamu memasang kain di pohon jadinya saya bisa mengantar anak itu dengan selamat," Lexion mengerutkan keningnya bingung, "Syakila,Anak yang saya selamatkan dan tinggal bersama penjual sayur sekarang. Entah takdir ataukah kebetulan, anak itu ternyata anak bungsu Pak Delion yang sudah lama hilang, beliau sedang mencari orang itu sekarang." lanjut Qeila lagi, "Aku tidak mengerti,Qei." Qeila memiringkan badannya menatap Lexion dengan intens. Orang ini adalah orang yang sangat membantunya di masa lalu, selalu memberikan yang terbaik untuknya. "Aku berlari ke markas depan hari itu, berniat menyelamatkan Syakila nyatanya aku malah menemukan Demiz dan polisi yang saling menembak. Polisi itu berniat menyentuhku tapi Demiz menembaknya, sayangnya tembakan keduanya malah menembak bahuku." aku tertawa pelan, "Demiz memintaku pergi, memintaku untuk tidak kembali lagi. Sayangnya entah apa yang terjadi, aku malah disiksa oleh teman-temanmu. Apakah aku yang kembali dengan sendirinya ataukah mereka yang menemukanku, padahal Demiz memintaku tidak kembali." ia tertawa lagi, kembali duduk di pinggir ranjang. Lexion yang tadinya ingin bertanya kembali tidak jadi karena ada yang mengetuk pintu kamar. "Terimakasih," ujarnya pada pelayan, menerima senampan makanan dan masuk kembali kedalam kamar. Didalam kamar tersedia meja khusus makan, ia menyimpan makanannya diatas meja. "Makanlah, habis itu membersihkan diri dan berganti pakaian. Aku juga ingin ke kamar sebelah untuk membersihkan diri. Kalau ada apa-apa, Joe selalu berdiri didepan kamarmu." Lexion mengelus rambut Qeila terlebih dahulu sebelum keluar kamar, meninggalkan Qeila sendirian disana. Qeila hanya duduk termenung melihat ombak yang begitu damai, tak lama kemudian ia memutuskan untuk mandi daripada terus memikirkan kenangan lama padahal sudah lama berlalu. Ada baiknya, ia segera membersihkan diri, menikmati liburan yang Lexion sediakan untuknya. Percuma kemari jika hanya terus menerus memikirkan masa lalu yang tiada habisnya. *** Pantai nyatanya selalu menjadi tempat paling Indah untuk mengalihkan pikiran, debur ombaknya yang begitu Indah juga warna airnya yang memukau. Biasanya, akan banyak anak-anak yang mendominasi tapi karena tempat ini sudah Lexion sewa jadinya hanya aku dan Lexion serta beberapa pelayan juga penjaga itupun mereka berdiri dari kejauhan. "Kamu suka?" tanyanya, ia sejak tadi hanya duduk dibawah payung pantai. Duduk ditemani terpaan angin. Sedang aku? Aku duduk tanpa alas diatas pasir. Suasananya sudah sore jadi panas matahari tidak begitu mengganggu. Makananpun sudah tersedia sejak tadi, begitu banyak. Kadang aku bingung, bagaimana cara menghabiskannya nanti. "Qeila? Kamu melamun lagi?" Aku menggeleng, memilih berdiri mendekati bibir pantai. Membiarkan kakiku terkena ombak. Rasanya menyenagkan, aku tertawa dengan kesederhanaan yang cukup menyenangkan ini. Aku berlari kesana kemari, mengabaikan baju yang baru kupakai beberapa puluh menit lalu akan basah terkena air laut. Rambrku kubiarkan tergerai, ikut bergoyang terbawa angin laut yang begitu terasa. "Jangan terlalu dekat pantai, Qei." peringat Lexion dengan suara pelannya, jarak kami hanya dua meter saja. Aku tertawa, melambaikan tangan padanya. Menikmati permainan yang sedang ku lalukan, bahkan kini aku telah duduk membiarkan semua pakaianku basah. Aku hanya ingin membebaskan diri selama tiga hari ini. *** Pov Lexion. Kubalas lambaikan tangan Herlena yang sedang tertawa bahagia didepan sana, bermain dipinggir pantai padahal umurnya bukan kanak-kanak lagi. Perempuan-ku masih sama, dia masih Herlena yang kukenal selama belasan tahun lamanya. Suara tawanya masih sama, senyumnya, segala kelakuannya. Hanya saja, keadaanlaj yang memaksanya berubah dan terpaksa terus menerus kuat. Kuambil handuk yang sengaja kubawa dari kamar, mendekati Herlena yang kini duduk dipinggir pantai membiarkan ombak lagi terus mengenainya, sesekali tertawa setiap kali ombak datang menerpa kakinya. Dia masih Herlena-ku, mudah bahagia dengan hal-hal sederhana. "Pakai ini, Qei." ujarku, ikut duduk disampingnya setelah sebelumnya memasangkan handuk pada pundaknya. "Padahal tadi aku sudah memintaku berganti pakaian, kenapa malah memakai pakaian tanpa lengan begini?" protesku, biasanya dia hanya diam menganggap ucapanku hanyalah angin lalu tapi sekarang dia tertawa, membiarkan tangannya terkena ombak laut dan memercikkan air pada wajahku. "Qei!" "Hahahaa," Aku ikut tertawa, kebahagiaan ini. Bisakah kebahagiaan ini terus ada tanpa adanya masalah lagi? "Terimakasih." Aku menatapnya masih dengan senyumanku, "terimakasih untuk?" "Terimakasih karena masih Setia disampingku,terimakasih karena telah menjadikanku perempuan paling beruntung. Terimakasih telah menjadikanku perempuan yang membuat perempuan lainnya iri padaku. Terimakasih kak Langit, terimakasih." Dia tertawa lagi, kembali mengulang keusilannya sama seperti tadi. Dia berdiri, berlari. Aku ikut berdiri, berlari bersama dipinggir pantai ditemani langit sore yang begitu Indah. Suara tawa yang saling menggema, bukankah ini yang diimpikan semua pasangan? "Hahaha,Kak Langit." Aku berhenti berlari, mataku tertegun menatap kedepan. Padahal didepan sana Qeila masih berlari menganggap aku masih mengejarnya. Aku seolah melihat dua perempuan didepan sana, Herlena dalam versi dulunya dan juga Qeila yang sekarang. Kedua penampilan yang saling bertolak belakang itu berlari berdampingan, bahkan saat Qeila membalikkan badannya melihatku sosok lama itu juga melakukan hal yang sama, keduanya secara bersamaan melambaikan tangan padaku. Dua penampilan yang sangat berbeda tapi wajah dan senyumnya sama. Qeila yang melangkah padaku, sosok lamanya juga berjalan kearahku. Tapi bedanya, sosok itu bisa melihatku, sorot matanya benar-benar mengarah padaku. "Lexion? Kamu kenapa?" aku tersentak kaget, sosok itu sudah menghilang yang ada sekarang adalah Qeila yang sejak kemarin bersamaku. Aku mengedarkan pandanganku, sosok itu sudah tidak ada lagi. "Sedang cari apa? Kamu mana mungkin membayangkan perempuan lain padahal aku sedang bersamamu kan?" Kupijat pelipisku, ada apa denganku sebenarnya? Padahal biasanya aku tidak pernah sampai ketahap ini. Kembali ku tatap Qeila yang ternyata masih memandangku aneh, aku hanya tersenyum membuatnya memutar bola matanya, kembali duduk seperti tadi. "Jangan-jangan benar dugaanku, dia sedang memikirkan perempuan lain padahal sedang bersamaku." walaupun dia mengatakan itu dengan pelan tapi sayangnya aku masih bisa mendengarnya dengan jelas, sangat jelas. Duduk disampingnya, dari samping Qeila terlihat sangat cantik. Mana mungkin aku memikirkan perempuan lain jika disampingku sudah telah ada perempuan secantik ini? Perempuan seluar biasa ini? Mana mungkin aku melepaskan perempuan seperti Qeila demi orang baru entah bagaimana sikap aslinya. "Kamu suka tempat ini?" "Menurutmu?" Aku tertawa kecil, ternyata begini rasanya menghadapi perempuan saat masa cemburunya rasanya menyenangkan. Aku serasa menjadi anak remaja yang baru saja mengenal Cinta. "Apa ada yang lucu?" Mataku masih memandangnya dan Qeila masih Setia menatap lautan yang begitu luas. "Qeila." "Hmm." Kuluruskan kakiku, ku tumpukan kedua tanganku di belakang. Ikut memandang kedepan dimana langit sore memang menyenangkan untuk dipandang. "Aku ingin mengatakan sesuatu, kamu harus mendengarnya dengan jelas agar bisa mengerti." sekilas aku menatap Qeila, ia sibuk memperbaiki rambutnya yang terkena terpaan angin. "Katakan saja, aku bisa mendengarnya." "Kamu tau Qeila, sampai sekarang rasa benciku padamu masih sama. Pengkhianatan yang kamu lakukan rasanya sulit untuk aku pahami, kematian Demiz dan fakta kalau kamu yang mereka tuduh sebagai pelakunya masih bisa ku maklumi. Rasanya apa yang mereka katakan benar, apa aku salah Qei?" Ombak kembali datang membasahi kakiku dan juga kaki Qeila. Tak ada jawaban, kurasa Qeila tak ingin menganggapinya. Memangnya aku berharap dia meresponnya bagaimana? Sedangkan kepercayaanku padanya masih kurang sekali. "Diantara semua orang yang bisa dijadikan tersangka utama, kamulah yang paling bisa disalahkan. Tapi disisi lain aku ragu, mana mungkin dulunya perempuan buta sepertimu bisa melakukan hal seperti itu?" aku bersuara lagi, dia hanya tertawa menggoyang-goyangkan kakinya karena terkena ombak laut lagi. "Apa menurutmu aku salah pengertian, Qeila?" "Aku engga tau, aku juga tidak tau bukti apa yang harus aku katakan padamu agar kamu bisa percaya dengan apa yang saya ingat." kuperbaiki dudukku, kutekuk lututku dan memeluknya. Langit sore makin cantik. "Demiz bilang apa sebelum kamu tertembak dan memintamu pergi dari sana?" tanyaku penasaran. "Entahlah, mungkin hanya kesal tidak seharusnya aku kesana tapi namanya juga perempuan baik. Menjadi orang baik memang sangat menyenangkan tapi menjadi terlalu baik juga buruk sekali. Bukankah begitu?" Mata kamu saling bertemu kembali, sayangnya Qeila kembali memutuskan kontak matanya dan kembali menatap kedepan. Mungkin dia terpukau dengan indahnya pemandangan hari ini. Tak lama kemudian dia melakukan hal yang sama, menekuk kakinya dan memeluk lututnya sendiri. Kami saling diam membiarkan hanya suara ombak yang menemani. Aku mengenggam tangannya erat, mengkodenya untuk berdiri untungnya dia langsung mengerti. Kami berdua berdiri secara bersamaan tanpa melepaskan genggaman tangan kami, membersihkan sisa pasir yang ada di pakaian. "Kamu tau Qei," mulaiku. "Tidak tau." aku hanya Tersenyum mendengar jawabannya, "Hm aku sangat membencimu Qeila, hatiku sakit setiap kali melihatmu bahagia diatas berita kematian sahabatku. Tapi aku juga engga bisa kalau bukan sama kamu, hati aku maunya kamu bukan perempuan lain." Qeila melepaskan genggaman tangan kami, dia menatapku aneh dan berlari masuk menuju kamarnya. Aku tertawa melihatnya, dia pasti salah tingkah dengan sikapku. Padahal aku mengatakan apa yang kepalaku inginkan, tapi sudahlah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD