“Eh, sumpah ya ini bukan aku yang kirim. Nggak tahu kenapa email ini bisa terkirim ke kamu, tapi beneran bukan aku!” Aryo terlihat panik melihat folder sent pada e-mailnya. Benar kata Tania, dia memang mengirimkan sesuatu yang aneh kepada wanita itu.
“Kayaknya itu dikirim dari ponselmu. Video itu ada di situ, kan? Lagian nggak ada kerjaan banget, sih pake mengabadikan momen kayak gitu segala!” Suara Tania meninggi. Video itu adalah salah satu video syur yang sengaja direkam Aryo untuk kenang-kenangan.
“Kena UU ITE baru nyaho!” kata Tania semakin nyinyir.
Aryo buru-buru mengecek ponselnya dan benar saja, dia memang mengirimkan video itu ke dari ponsel. “Untung kekirimnya ke kamu, bukan ke yang lain,” katanya mengembus napas lega dan mengelus dadaa.
Tania melongo. Untung katanya? “Kamu beneran nggak merasa bersalah sama aku? Itu … itu … kamu ngirimin video mesuum sama perempuan lho!”
Aryo cuek. Dia pura-pura sibuk dan mengambil kertas di meja sembarangan. Membacanya dan duduk di kursi kerjanya.
“Aryo! Kamu nggak ada rencana minta maaf sama aku?” tanya Tania sewot.
“Kepikiran aja enggak. Anggap saja itu video sebagai pertanda buat kamu kalau sudah waktunya cari pacar. Jangan ngejomblo terusss. Nggak sehat untuk peranakan!”
Anjeerrrr! Ini laki-laki mulutnya lemes bener! Apa hubungannya video mesuum sama peranakan. Dikira kalau nonton orang begituan bikin Tania kepengen dihamili?
Karena kesal, Tania tidak mengatakan apa-apa lagi pada Aryo dan meninggalkannya begitu saja. Melihat Tania pergi dengan perasaan kesal, Aryo terkekeh sendiri. Tapi dia senang karena sudah melihat wajah Tania dua kali selama setengah hari ini.
Setengah hari? Aryo melirik arloji di pergelangan tangannya. Astaga! Beneran sudah setengah hari. Seharusnya sekarang sudah masuk jam makan siang dan seharusnya tadi dia bisa mengajak Tania makan. Duh, kenapa mendadal bego, sih otaknya kalau lagi berdekatan sama cewek pemarah satu itu?
Aryo buru-buru menyambar kunci mobil dan berlari ke luar gedung dan berharap Tania masih menunggu angkot di pinggir jalan.
Harapannya terkabul. Tania memang sedang berdiri di pinggir jalan menunggu angkot yang tak kunjung datang. Aryo hapal sekali kalau jam segini, angkot jarang melintas. Mereka lebih suka menunggu di depan sekolah untuk mengangkut anak-anak yang baru pulang.
“Kenapa dia nggak pesan taksi atau ojek aja, sih? Aneh emang manajer satu ini. Ngirit, pelit, apa kere?” Aryo ngomong sendiri sambil melajukan mobilnya pelan ke depan Tania. Membuka jendela mobilnya dan tersenyum ramah pada Tania yang merengut.
“Makin merengut lu makin imut,” kata Aryo pelan.
Dibunyikannya klakson untuk menarik perhatian Tania. “Ayo ikut! Aku mau meninjau lokasi untuk acara kita besok!” Aryo paham sekali, kalau dia bilang mau mengajaknya makan siang pasti Tania akan menolak. Tapi kalau mengatakan segala sesuatu soal event mereka, pasti Tania bakal setuju.
Dan … berhasil! Walau awalnya Tania ragu karena takut ajakan ini cuma siasat Aryo saja.
“Aku seriusan mau ke Nagoya Hill. Hari ini mulai pasang panggung dan dekorasi. Juga cek sound. Kupikir kamu bakalan suka kalau dilibatkan langsung pada pra event.” Aryo menjelaskan setelah Tania duduk di mobilnya.
“Terus kenapa arahnya ke sini?” tanya Tania curiga karena sepertinya mereka mengambil jalan yang tidak biasa dia lalui.
“Kamu udah berapa lama di Batam, sih?” tanya Aryo mulai menginvestigasi.
“Apa hubungannya sama pertanyaanku? Bukannya dijawab malah nanya hal baru.” Tania terus mempertahankan sikap juteknya. Memupuk perasaan tidak suka pada Aryo perlu dilakukan supaya dia tidak menjadi mangsa predator kelamin ini.
“Karena kamu nggak tahu jalan Batam dengan baik. Kalau lewat jalan sini, pemandangannya lebih menarik. Dari pada lewat jalan biasa yang kanan kiri cuma pohon.”
Tania melihat keluar jendela. Benar juga. Mereka melewati pertokoan dan bangunan-bangunan lama yang besar-besar. Bahkan di sisi kanan ada bangunan peribadatan agama lain yang besar dan mencolok.
“Kamu nggak pernah jalan sampai sini?” tanya Aryo melihat Tania terkagum-kagum pada pemandangan di sekitarnya.
“Aku nggak pernah ke mana-mana kecuali kantor sama rumah. Sebelumnya kantor sama mess.”
“Kantor kamu nggak ngasih fasilitas mobil buat pimpinan?”
“Aku yang nggak mau. Minta tunjangan transportasi aja jadi aku bisa pergi naik kendaraan umum.”
“Aneh,” desis Aryo.
Tania menoleh cepat, matanya membentuk garis lurus. “Apanya yang aneh? Orangnya atau caranya?”
“Ya dua-duanyalah! Masa iya dikasih fasilitas kendaraan nggak mau. Sekarang aku tanya, kamu itu di Batam tugasnya ngapain, sih? Jualan kabel, kan? Orang jualan itu butuh kendaraan buat ke sana kemari. Lah, kamu masa diem aja di kantor. Aneh, kan? Trus kapan targetnya?”
“Kamu itu laki-laki tapi omonganmu setara dengan kereta hyperloop. Enak saja kamu bilang aku jualan kabel. Dan kenapa aku nggak nyaman kalau dikasih fasilitas kendaraan itu ada alasannya. Sangat pribadi dan nggak bisa aku share sama pimpinan mesuum kayak kamu. Kalau soal target, aku bisa kok meninjau lokasi ikut mobil teknisi atau siapapun yang ke lapangan. Sampai sini paham, Anda?”
“Hhh. Sales kabel,” goda Aryo. Dia sepertinya sangat senang punya julukan baru untuk Tania. Wanita itu memandang Aryo semakin sebal. Tidak ada julukan yang lebih pantas disematkan pada Aryo kecuali mesuum. Pimpinan mesuum, direktur mesuum, EO mesuum, CEO mesuum. Semua hal yang berbau mesuum.
“Hai, Aryo, pha kabar? Ya ampun lama banget, sih nggak kerja sama ma kamu?” Seorang wanita dengan dandanan elegan menghampiri Aryo dan Tania yang sedang melihat-lihat di sekitar panggung.
Tania bergidik melihat wanita itu mencium pipi Aryo lalu mengelap lipstik yang menempel dengan jarinya. Mereka terlibat dalam percakapan seru dan mengabaikan keberadaan Tania.
“Itu bukan gandengan kamu yang baru, kan?” Tania mendengar wanita tadi berbisik. Sepertinya pertanyaan itu dimaksudkan untuknya.
“Ya bukanlah. Masa selera aku merosot.”
“Syukurlah. Kalau iya kamu perlu cek mata, masa iya cewek misionaris gitu jadi pasangan kamu sekarang.”
Refleks Tania melihat penampilannya. Apa sekuno itu? Rok berpotongan lurus sampai betis dan kemeja putih yang dimasukkan serta heels tujuh senti. Selama ini dia cukup nyaman dengan penampilannya. Tidak seperti penampilan wanita yang sedang bersama Aryo sekarang. Bagi Tania, wanita itu seperti lontong daun yang hampir pecah karena terlalu penuh memasukkan beras.
Demi menjaga agar perasaannya tetap bahagia dan tidak membuat kecantikan kulitnya berkurang, Tania memilih menjauh dari mereka berdua dan berjalan menuju kafe yang tidak jauh dari belakang panggung. Memesan segelas kopi hitam dan sepiring camilan. Sebenarnya ini sudah masuk jam makan siang, tapi kafe ini tidak menyediakan makanan berat kesukaan Tania.
“Kenapa ngopi jam segini, sih? Mending kita makan siang saja, yuk!” Entah kapan Aryo sudah berada di depan Tania dan duduk tanpa permisi.
“Aku haus.”
“Beneran aneh kamu, tuh. Haus malah ngopi. Kayak dukun saja.”
Tania menarik napas panjang. Rasanya dia ingin memuntahkan isi kepala yang ditahannya sejak tadi. “Sales kabel, cewek aneh, cewek misionaris, sekarang dukun. Apa lagi julukan buat aku? Apa kamu selalu memperlakukan setiap klien seperti ini?”
Aryo menggeleng. “Biasanya aku bersikap manis sama klien. Tapi spesial sama kamu, aku tidak tahan kalau tidak menggodamu. Kamu itu menggemaskan Tania!”©