“Menggemaskan. Cih! Dia pikir aku bakalan klepek-klepek gitu kalau dipuji sedikit kayak gitu. Huh! Sorry mori dori stroberi, aku nggak akan luluh hanya karena satu pujian. Lagian, setelah hari ini, aku nggak mau urusan sama cowok nggak ada akhlak kayak dia!” Tania mengikat scarfnya kuat-kuat di leher.
Penampilannya cukup manis hari ini. Kemeja putih lengan panjangnya digulung hingga siku, supaya terlihat santai. Celana jeans ketat dan sneakers putih. Casual tapi modis. Sebagai pemanis, Tania melilitkan scarf di lehernya. Tidak lupa dia membawa kaca mata hitam di dalam tasnya yang cukup besar.
Hari ini hari H event Paramedia yang ditangani EQ Entertainmet milik Aryo. Acaranya dimulai jam sepuluh, sesuai jam buka mall dan berakhir setelah Zuhur. Itu kesepakatan terakhir. Menurut Aryo, kalau sudah malam, orang malas terlibat dalam event terutama anak-anak. Mereka sudah lelah dan rewel. Jadi lebih baik pagi sampai siang.
Sebagai panitia, tentu saja Tania harus hadir lebih awal. Walau sebenarnya dia bisa saja datang telat. Kan, dia pimpinan. Tapi Tania ingin terlibat dari awal dan mengawasi kalau uang promosi yang digelontorkan perusahaannya tidak sia-sia.
Sebelum berangkat, Tania mengisi perutnya dulu dengan roti sobek dan menyeduh kopi dukun. Menu sarapannya benar-benar mengingatkan dia sama Aryo. Roti sobek ini seperti abs Aryo ketika dia mencuci mobil tempo hari. Dan kopi dukun … cih! Itu mengingatkan Tania pada kata-kata manis Aryo.
“Kamu itu menggemaskan, Tania!” kata Tania menirukan gaya Aryo.
Tania tahu, Aryo tidak pulang ke rumah tadi malam. Entah tidur di mana dia. Setelah mengantarkan Tania pulang, dia langsung pergi lagi dan bilang kalau besok tidak bisa pergi bareng. Huh! Dia pikir mereka anak sekolahan yang janjian pergi bareng ke sekolah?
Malah bagus kalau tidak ada Aryo, dadaanya bisa sedikit lapang karena tidak perlu menahan amarah yang seringkali timbul tiap berdekatan dengan lelaki itu. Tania mendesah lega. Rasanya halaman rumahnya terlihat lebih indah pagi ini.
Tidak juga. Karena dari arah depan rumah, sosok Wulan mendatanginya cepat. Pertanda buruk, pikir Tania.
“Pagi Mbak Wulan syantikkkk! Ada apa, nih pagi-pagi sudah main ke rumah saya. Wah, seger bener itu bibir merahnya ngalahin tomat ceri.” Tania berusaha ramah menyapa ibu muda yang mukanya terlihat tidak bersahabat.
“Diam kamu Tania! Aku nggak bisa ngegibah lama-lama. Aku cuma mau menyampaikan amanat dari perkumpulan ibu-ibu kompleks!”
“Amanat? Kayak pembina upacara aja pake ada amanat segala.”
“Kamu itu penghuni baru tapi sudah bikin onar terus, ya! Sudah diperingatkan berkali-kali jangan deket-deket sama Mas Aryo, eh ini malah kegatelan. Pergi bareng, pulang dianter. Emang kamu nggak bisa kayak jaelangkung aja, ya. Pulang sendiri! Nggak usah manja!”
“Dih, yang manja itu siapa? Saya sama Aryo memang lagi ada urusan kerjaan, kok. Lagian nggak tiap hari. Buktinya pagi ini saya nggak pergi bareng dia. Orang semalam aja dia nggak pulang.”
“Jangan ngeledek aku, ya. Kamu pikir kamu itu pinter apa? Dari aku bangun Subuh, mobil Mas Aryo sudah ada di garasi! Aku ke sini mau ngasih tahu kalau kamu jangan coba-coba pergi bareng dia, kalau tidak ….”
Tania tidak membiarkan Wulan menyelesaikan omongannya. Cepat-cepat dia berjalan ke luar teras rumah dan mengintip ke rumah Aryo di sebelah. Benar saja, mobil merahnya sudah ada di garasi.
“Kok, dia udah pulang, sih? Katanya nggak bakal pulang semalam. Duh, kalau gitu aku harus pergi diam-diam. Males banget kalau harus semobil sama dia,” kata Tania lirih.
“Iya, cepet pergi sekarang sebelum Mas Aryo keluar rumah.”
“Eh, kuntilanak kecebur got! Wulan! Kamu kalau ngomong bisa nggak jangan di kuping saya. Kalau saya budeg kayak Bolot kamu mau tanggung jawab? Cantik-cantik budeg, kan nggak lucu!” Tania menatap tetangganya kesal. Bisa-bisanya ini orang masih ada di dekatnya dan menempel begitu dekat seperti upil di kolong meja.
“Aku mau mastiin kalau kamu itu nggak pergi bareng sama dia. Titik. Udah cepet sana, mumpung pintu rumahnya belum kebuka. Cepetan jalan. Cari ojek di pinggir jalan aja sana! Jangan di sini!”
Wulan mendorong-dorong bahu Tania hingga wanita itu terseok-seok dan hampir kehilangan keseimbangan.
“Nggak usah pegang-pegang. Tangan kamu bau bawang. Nggak usah diminta aku juga udah mau pergi!” kata Tania ketus sambil mengibaskan tangannya pada bagian baju yang tadi dipegang Wulan.
“Wah, udah mau pergi? Baguslah kalau begitu, jadi aku nggak usah nunggu kamu dandan. Perempuan itu kalau dandan udahlah lama, hasilnya nggak bagus-bagus amat.” Suara menyebalkan itu terdengar bersamaan dengan bunyi alarm mobil yang dinonaktifkan.
“Nunggu aku dandan? Emang kita janjian mau pergi bareng?”
“Ya enggak, sih. Tapi uang transportasi kamu itu bisa buat makan siang kita berdua nanti. Kan lumayan! Eh, ada Bu Wulan. Selamat pagi, Bu. Gimana kabar, Bapak? Sudah sehat?”
“Tu-tunggu dulu. Maksudnya kamu, aku pergi bareng kamu tapi syaratnya aku harus traktir makan siang. Gitu?”
Wulan yang sedari tadi hendak menginterupsi obrolan mereka dicegah oleh Tania. Tangan Tania sibuk menghalau Wulan yang ingin mendekati Aryo.
“Itu namanya kompensasi Tania Sayang.”
Mendengar panggilan mesra itu, bukan cuma Tania yang seperti kesetrum, tapi Wulan juga. Sayang? Sepertinya Aryo harus disiram kopi dukun dulu biar melek.
“Aku nggak mau tambah gila kalau deket sama kamu. Sudah aku mau naik ojol aja.” Tania bersiap pergi dan membiarkan Wulan mendekat ke Aryo. Mulut Wulan membuka hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak digubris Aryo. Lelaki itu malah mengejar Tania yang sudah beberapa langkah menjauh.
“E,eh, mau ke mana? Aku nggak mau kamu telat dateng karena ojeknya mogok atau apalah. Inget! Kamu harus ngasih welcome speech. Kalau telat karena nungguin kamu, durasi hilang dan waktu jadi makan panjang. Sewa bertambah. Duit lagi. Mau?”
Tania lemah kalau diingatkan soal budget. Akhirnya dia mengalah. Mau saja ditarik Aryo ke mobilnya. Sebelum masuk ke dalam mobil, lelaki itu menegakkan tubuh Tania dan mengamatinya lekat-lekat.
“Penampilan kamu sudah oke, tapi ….” Aryo melepas scarf yang ada di leher Tania. “Kain ini mengganggu penampilan kamu. Leher kamu yang bagus jadi nggak kelihatan.” Lalu Aryo menaikkan rambut Tania dan dengan scarf di tangannya dia membuat simpul rumit yang menahan rambut tersebut agar tidak tergerai jatuh.
Semua kejadian itu tak luput dari pengamatan Wulan yang tidak bisa menutup mulutnya dari tadi. Sayang saja dia tidak membawa ponsel untuk mengambil gambar mereka dan jadi bahan ghibahan dengan ibu-ibu kompleks.
“Bu Wulan masih ada perlu sama saya?” tanya Aryo ramah setelah memasukkan Tania ke mobil.
“Oh, eh, enggak. Saya cuma mau bilang selamat kerja, Pak Aryo.”
“Hari ini kami ada event di Nagoya Hill. Kalau Bapak sehat dan bisa bepergian, main ke sana, ya Bu. Biar makin rame. Ajak juga ibu-ibu di sini.”
“Oh, iya, iya, nanti saya bikin pengumuman di grup.”
Aryo tersenyum manis sekali pada Wulan dan melambaikan tangannya ketika mobilnya keluar dari garasi. Di sebelah Aryo, Tania mencibir pada Wulan. Membuat ibu muda itu mengepalkan tangannya dan mengarahkannya pada Tania.
‘Emang aku takut?' batin Tania. Lihat saja nanti!©