BAB 11 - Surprise

1508 Words
"Zayn kau di sini!." Naila menangkap tas belanjaannya yang Zayn lempar ke arahnya. Laki-laki itu hampir saja membuat pakainya jatuh ke tanah. Zayn melipat kedua tangannya di depan d**a, matanya meneliti Naila dari ujung kaki hingga berakhir di matanya. Naila melototkan matanya, lalu menyipit dan mendesis sebal. Zayn menatapnya seperti itu, seperti ayahnya saja jika dia baru pulang tengah malam dan mengendap-endap menuju kamarnya. "Ya aku di sini. Aku tidak mau membawa plastik itu ke Apartemen dan membawakannya besok padamu." "Ahh.. begitu. Aku lupa maafkan aku. Oh iya dan... apa.. eumm.. kau tidak menunggguku kan tadi." Naila berkata dengan suara ditarik-tarik, rasanya canggung bertanya tentang hal itu, tapi dia terlalu penasaran. Beberapa kali Naila mengingat tentang Zayn, apakah laki-laki itu masih menunggunya di Mall atau dia sudah pulang. Perasaan bersalah menghantuinya sepanjang waktu. Zayn hanya diam, menatapnya yang membuat Naila semakin penasaran. Kenapa Zayn hanya diam, apakah dia marah, apakah benar dia menunggunya. Naila tak bisa berhenti untuk menebak-nebak apa yang Zayn pikirkan saat ini, dan bagaimana perasaannya. Zayn mendengus remeh, sudut bibirnya tertarik membentuk senyum mengejek. Zayn memasukan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Melihat eskpresinya yang menyebalkan itu sudah membuat Naila tahu apa jawabannya. Seharusnya dia tidak perlu repot-repot mengkhawatirkan nya. "Apa kau pikir aku akan menunggumu. Yang benar saja. Aku langsung pergi saat Brian tiba-tiba muncul di sana. Kau memang tidak bertanggung jawab aku sudah tahu itu, itulah sebabnya aku tidak menunggumu. Bahkan kau tidak menyuruhku pulang duluan, untung saja aku berinisiatif untuk langsung pergi. Atau aku pasti sudah seperti orang i***t yang menunggu kekasih orang." "Ah. Apa kau bilang! Aku berusaha untuk menghubungimu, ponsel sialanku ini mati,"Naila menunjukkan layarnya di hadapan Zayn seraya menekan tombol power dan mengetuk-ketuk layar ponselnya.  "Seharusnya benar, aku tidak perlu mengkhawatirkan mu. Tentu saja kau pasti tidak akan menungguku." Naila menatap Zayn kesal, ditatap seperti itu membuat Zayn memalingkan wajahnya ke arah lain.  Naila membalikan tubuhnya lalu berjalan pergi menuju rumah. Zayn melirik Naila sebelum benar-benar kembali menatapnya yang berjalan semakin menjauh. "Kau tidak mau berterima kasih padaku untuk belanjaannya dan ponsel barunya. Tsk! Kau benar-benar tidak tahu terima kasih." Seketika itu juga Naila menghentikan langkahnya, lalu membalikkan tubuhnya kembali melihat Zayn yang sedang menatapnya. "Aku tidak memintanya. Kau yang langsung mengeluarkan kartu kreditmu, aku tahu kau sedang memamerkan black cardmu padaku. Aku tidak mengomentarinya karena aku akan mendapatkan barang secara gratis, tapi aku tahu diri dan aku sangat berterima kasih karena kau sudah membelikanku hal-hal yang sebenarnya tidak ku minta. Karena yang ku ingat ketika aku minta di belikan boneka kau menolaknya." "Aku senang mendengarnya. Ternyata kau cukup tahu diri."Entah kenapa mendengar Zayn mengatakan hal itu membuatnya dongkol, Naila tak ingin melemparkan plastik belanjaannya, tapi keinginannya untuk memukul kepala pria itu terlalu menggebu-gebu. "Kau memakai jam tangankan! Lihat jam berapa sekarang, pergilah! Apa kau tidak mau pulang dan terus berdiri di sana sampai semakin membuatku kesal." Zayn mengigit bagian dalam bibir bawahnya menahan tawa. "eoh setelah berterima kasih kau mengusirku." "Laki-laki ini benar-benar membuatku kesal."gerutu Naila, yang menbuat kedua mata Zayn membesar. "Hei. Kau mengumpatku." "Cepat pergilah!." "Baik aku akan pergi."Zayn pergi menuju mobilnya, Naila masih di sana menatapnya dengan eskpresi kesal. Zayn selalu ingin tertawa jika melihatnya seperti itu. Zayn mulai menyalakan mesin mobilnya, lalu kembali menatap Naila, wanita itu mengibaskan telapak tangannya, menyuruhnya untuk segera pergi. Zayn melajukan mobilnya pergi, sesekali  ia melihat ke arah spion, Naila berjalan ke arah tengah untuk melihat mobilnya pergi. Bibirnya tersenyum melihat siluet wanita itu di sana. Namun seketika senyumannya berhenti, ekspresinya berubah datar, matanya terlihat kecewa. Ingatan tentang Brian yang mencium bibir Naila di dalam mobil membuat moodnya memburuk. *** "Kaget aku. Ayah. Sudah seperti hantu saja kenapa berdiri di sana!."Naila benar-benar dibuat terkejut, bagaimana tidak lampu sudah di matikan dan sang ayah malah berdiri di tengah tangga dengan sinar dari jendela yang membuatnya nampak menakutkan seperti di film-film horor. "Kenapa! Kau pulang malam? Dengan siapa? Bukankah sudah ayah bilang jangan pulang larut malam, apa Brian sudah lupa. Kemana kau kemarin malam? Apa menginap di rumah Brian! Apa kalian..." "Hentikan.. aku baru pulang jam segini karena terjebak macet. Dari taman hiburan sejak sore. Puas.. kalau kemarin.. kemarin aku menginap di rumah sakit. Temanku... melahirkan.. karena suaminya tidak ada. Jadi.. jadi aku yang menemaninya." "Benarkah?."sebelah alis sang ayah terangkat, menatap Naila dengan tatapan terheran. Naila berdehem lalu melangkah maju mendekati sang ayah. Kamarnya berada di lantai dua, dan sang ayah berada di tengah-tengah tangga seolah menjadi penjaga pintu. Naila mencoba bersikap biasa, walaupun sebenarnya diam-diam ia merasa khawatir. Ayahnya selalu bersikap berlebihan, jujur saja ia cukup terkenal di kepolisian bukan karena tindak kriminal, itu karena Naila kerap kali dilaporkan sang ayah sebagai anak hilang. Salah satunya karena ia ketiduran di taman belakang sekolah. Naila tak bisa melupakan hal itu, tba-tiba saja rumahnya banyak polisi Naila pikir sesuatu yang buruk terjadi. Memalukan sekali. "Eoh tentu saja. Aku ke kamar dulu. Sangat lelah berteriak hampir seharian penuh. Ayah seharusnya segera tidur."Naila melewati sang ayah dan naik ke lantai 2, laki-laki paruh baya itu hanya diam dan terus melihat ke arah Naila. Hingga tubuhnya miring 90 derajat untuk melihat ketika putrinya menaiki tangga menuju kamarnya di lantai 2. "Lain kali beri alasan yang lebih bagus."ucapan sang ayah terdengar mengejek, membuat Naila menghentikan langkahnya. Wajahnya merenggut menahan malu, ia pasti ketahuan berbohong. Naila memukul bibirnya sendiri, kenapa ia sangat payah. Ayah Naila pergi menuju kamarnya, Naila dapat mendengar langkah kakinya yang menjauh. Ia berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Naila melempar tasnya lalu menaruh plasti belanjaannya di atas ranjang sebelum duduk di kursi untuk mulai membersihkan wajahnya. Setelahnya Naila membersihkan diri untuk segera tidur. Ponselnya bergetar yang menandakan ada sebuah chat masuk ke dalam ponselnya. Naila buru-buru melihat nya dan menemukan nama Zayn dan Brian tertera di dalam sana. Brian mengatakan ia sudah sampai rumah dan menyuruh Naila untui segera tidur dengan pesan panis yang mengatakan terima kasih untuk hari indahnya aku mencintaimu. Naila tak bisa menghentikan rasa senangnya, namun senyumannya seketika luntur ketika melihat isi pedan dari Zayn. Laki-laki itu memang selalu berhasil membuatnya kesal bukan main. Baru saja ia merasakan hanyut dalam air kini ia sudah tenggelam. "Karpet ku jadi kotor. Lain kali datang untuk mencucinya menggunakan tangan mu. Kau harus bertanggung jawab."Zayn. "Jika aku datang aku akan membakarnya sekalian."gerutu Naila. Membalas pesan-pesan itu sebelum berbaring di atas kasur. Naila terlalu menyukai Brian, jika di pikir-pikir hal itu cukup menganggu, bagaimana jika Brian benar-benar selingkuh, apa dia juga bersikap manis pada wanita itu. Jika benar ini buruk. Naila merentangkan kedua tangannya seraya menatap langit-langit kamar. Jantungnya berdebar, perasaannya mendadak menjadi gelisah. Akan samgat menyakitkan jika itu benar, kenapa Brian melakukan hal ini. Haruskah Naila bertanya padanya, tapi bagaimana jika tidak. Itu berarti Naila menuduh Brian, laki-laki itu pasti akan marah padanya karena menuduhnya tanpa bukti. Naila terkejut ketika mendengar sebuah benda jatuh ketika ia menggerakan tangannya naik turun. Plastik belanjaannya, namun sesuatu di sana membuatnya terkejut. Naila bangkit terduduk untuk melihat lebih jelas. Rasanya terlalu takut untuk berharap tapi ternyata benar, itu adalah boneka beruang bergaun pengantin yang ia minta pada Zayn. Pria itu menolak untuk membelinya tapi ternyata ia membelikannya. Naila tersentuh, rasanya tak percaya. Bonekanya sangat cantik, Naila menyukainya. Sangat menyukainya. "Dasar bodoh. Kau bilang padaku tidak akan membelinya." *** Zayn sampai di Cafe tepat pukul 10. Cafenya sudah buka sejak jam 9 pagi. Mengontrol persediaan, dan memeriksa laporan seperti biasa. Baru saja seorang kurir mengantar persediaan kopi Cafenya. Zayn menyuruh pekerjanya untuk memeriksa barang yang datang dan dia yang akan berada di balik meja untuk sementara waktu. Zayn melayani kasir, beberapa pengunjung coffee yang datang untuk membeli. Dengan gerakan cepat tangannya meracik kopi. Bibirnya tersenyum kepada para pembeli namun senyumannya sedikit memudar ketika mendapati Brian berdiri di hadapannya. "Ice Americano tanpa gula sama sekali."ucapnya, berpakaian setelah kemaja dan jas hitam, dasi berwarna merah mengintip di balik jas. Pakaiannya sangat formal tentu saja di jam kerja seperti ini. "Kau pemilik cafe ini?."pertanyaannya membuat Zayn beralih menatapnya. Bibirnya tersenyum kecil, mencoba bersikap ramah walau sebenarnya ia tak mau melakukannya. Terutama pada pria penyelingkuh. "Ya. Terima kasih sudah membeli. Mau memesan yang lain?." "Ah tidak. Aku sedang terburu-buru. Kopi saja. Pantas saja aku sering melihatmu di sini. Kita satu Apartemen."Zayn terkejut bagaimana Brian tahu. Dia bahkan baru tahu kemarin ketika Naila memintanya untuk membuntuti Brian. Apa Naila ketahuan. "Beberapa kali aku melihatmu di lobby. Ternyata benar." "Ah.. begitu. Aku tidak melihat sekitar. Jadi tidak tahu." "Ya. Sepertinya begitu. Apa di Cafe ini bisa di booking semalaman?." Zayn memberikan Coffeenya pada Brian, laki-laki itu menatapnya penuh minat sementara Zayn menatapnya enggan. Tapi hal ini membuatnya semakin penasaran. Acara itu untuk apa. Naila atau wanita lain?. "Untuk acara apa?." "Lamaran." Zayn terhenyak ketika mendengarnya, jantungnya berdebar dengan keras, rahangnya mengeras dan bibirnya mengetat. Menatap Brian terkejut, Zayn menahan ekspresinya agar terlihat biasa namun ia tak bisa menahan respon tubuhnya yang terlalu menunjukan betapa terkejutnya ia. Brian akan melamar Naila? Atau wanita lain? Hal ini membuatnya bertanya-tanya, terlalu penasaran dengan siapa. Hal itu tidak tidak berpengaruh jika wanita lain, tapi Naila... Apa Brian akan melamar Naila. Secepat ini! "Aku mau booking untuk besok malam. Apa bisa?."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD