Masih terlalu pagi, ketika dering telepon masuk, tak hentinya meramaikan ponsel Sasmita. Sasmita yang masih mengantuk, berangsur menyingkirkan kedua tangan Rarendra yang mendekapnya. Sasmita melakukannya dengan hati-hati. Meski melakukan itu juga butuh proses dikarenakan Rarendra tak mau melepaskannya. Dan karena menjawab telepon tersebut tidak memungkinkan, Sasmita memutuskan untuk menyerah. Di nakas sebelahnya, layar ponselnya terus menyala, menampilkan nomor baru sebagai peneleponnya.
“Kita baru tidur, Ta. Ngapain juga jam segini tuh orang telepon? Siapa sih?” keluh Rarendra sembari mengeratkan dekapannya selain ia yang sampai membenamkan wajahnya di punggung sang istri.
“Ya sudah, Mas. Kita tidur lagi. Iya, … ini baru pukul tiga pagi, sedangkan itu yang telepon nomor baru dan aku enggak kenal, Mas.” Sasmita mendengkus sambil terpejam pasrah. Ia tak jadi bangun. Namun, kenapa juga nomor baru tersebut sampai berulang kali mencoba menghubunginya?
“Ini aku tetep cuma dikasih punggung?” keluh Rarendra dengan suara yang sangat berat.
Sasmita tersipu dan berangsur balik badan. Ia mendekap wajah Rarendra dan menghujani wajah berikut kepala sang suami dengan ciuman.
“Kalau kamu begitu, aku jadi enggak bisa tidur.” Meski masih terpejam, Rarendra tetap tersipu. “Duh, masih ‘palang merah’ … huh … nginep di hotel mahal, malah pas ‘palang merah’, ya?”
Mendengar ucapan Rarendra kali ini, Sasmita menjadi tertawa.
***
Sekitar pukul enam ketika Sasmita merapikan isi tasnya, nomor baru yang dini hari tadi menelepon, kembali menghubunginya. Sasmita yang penasaran pun memutuskan untuk menjawabnya.
“Hallo …?”
Akan tetapi di waktu yang sama, suara Rarendra terdengar dari kamar mandi.
“Baju, Ta.”
“Lho, enggak pakai baju di luar saja? Ada handuk, kan?” seru Sasmita sambil menjauhkan ponsel dari mulutnya dikarenakan ia takut, peneleponnya keberisikan. Dan Sasmita sengaja mengalihkan fokusnya ke ponselnya. “Maaf, ini siapa, ya?” Anehnya, penelepon tersebut tak kunjung merespons. Bahkan meski Sasmita berulang kali memastikan.
“Ta …?” panggil Rarendra sarat kesabaran.
Dan bagi Sasmita, daripada berurusan dengan nomor baru yang tak kunjung merespons, Sasmita memutuskan untuk mengurus Rarendra.
Seperti rencana, malam tadi, mereka memang jadi menginap di hotel. Dan dikarenakan mereka tidak menyiapkan pakaian, mereka juga sampai memesan pakaian dari teman Rarendra dan dikata Rarendra juga bekerja di perusahaan mereka.
Kemeja lengan panjang warna biru tua berikut celana bahan warna hitam yang terlipat rapi, Sasmita bawa ke kamar mandi di seberang tempat tidur keberadaannya.
Ketika Sasmita mengetuk pintu kamar mandi kemudian membukanya, ternyata Rarendra sudah melilit tubuh bawah menggunakan handuk putih yang tersedia. Pria itu telanjang d**a dan menyambutnya dengan senyum nakall yang langsung membuat Sasmita tersenyum geli kemudian tersipu.
“Messumnya, kumat, kan!” celetuk Sasmita sengaja menggoda.
Rarendra langsung tertawa. “Aku pikir kamu belum rapi, eh sudah rapi. Yah ... enggak jadi, deh ...,” balasnya sengaja membuat Sasmita penasaran.
“Memangnya mau ngapain?” balas Sasmita sambil tersenyum ceria sekaligus antusias.
Sasmita mengalungkan tangan kirinya ke tengkuk Rarendra dan sengaja menipiskan jarak mereka, sedangkan tangan kanannya membingkai, membelai wajah Rarendra yang seketika menjadi tertawa lebih lepas.
Sebelumnya, mereka khususnya Rarendra belum pernah tertawa lepas layaknya sekarang. Membuat Sasmita yang melihatnya turut bahagia dan tak lupa mensyukurinya.
“Maaf, ya?” lirih Rarendra yang merasa sangat bersalah atas air mata Sasmita yang akhir-akhir ini tak hentinya mengalir akibat keputusannya. “Kalau aku jujur dari awal.”
“Jangan bahas lagi, Mas. Aku ingin move on. Aku mau fokus sama kita saja,” balas Sasmita.
Rarendra mengangguk pelan, setuju dengan keputusan Sasmita. Mereka memang lebih baik fokus ke hubungan mereka, mengupayakan bagaimana agar hubungan mereka semakin baik. Langgeng.
Dengan senyuman yang masih memenuhi wajahnya, Rarendra sengaja mendekatkan wajahnya ke wajah Sasmita hingga bibir mereka menempel. Sasmita yang menjadi sibuk mengerjap sampai menahan napas, saking tegangnya. Dan ketika bibir Rarendra baru melumat pelan bibir bawah Sasmita, dering telepon masuk ponsel Sasmita, sukses mengusik mereka.
“Dari tadi ponsel kamu berisik banget, ya? Masih nomor baru itu?” tanya Rarendra dengan jarak wajah mereka yang masih terlampau dekat. Dahinya dipenuhi kerut samar, sedangkan tatapannya lurua ke kedua manik mata Sasmita. Istrinya itu mengangguk dan ia tidak menemukan kebohongan dari tanggapan Sasmita.
“Nanti biar aku yang urus,” tegas Rarendra jengkel dan memang cemburu. Rarendra berpikir, jangan-jangan nomor baru itu justru mantan Sasmita yang kemarin malam, semoat Saamita bahas?
“Mas …, ini enggak dilanjut?” keluh Sasmita.
Rarendra terpejam pasrah sambil mendengkus.
“Mas marah? Salahku apa?”
“Aku cemburu! Jangan-jangan tuh nomor baru, justru mantan kamu!” keluh Rarendra.
Sasmita langsung terkikik.
Rarendra memang tak lantas melanjutkan ciuman mereka karena ia justru mendekap Sasmita. Dekapan yang semakin lama semakin erat.
“Aku takut kehilangan kamu. Aku benar-benar takut, Ta ...,” lirih Rarendra yang sampai tidak sadar mengucapkannya.
Dan apa yang Rarendra ucapkan barusan, sukses membuat Sasmita terdiam. Hati Sasmita terenyuh. “Mas ...?”
“Mmm ...?”
“Aku juga enggak mau kehilangan Mas. Aku takut kehilangan Mas.”
Mendengar itu, Rarendra semakin mengeratkan dekapannya, dimana hal yang sama juga dilakukan oleh Sasmita.
***
Padahal di tempat berbeda, di depan kontrakan Sasmita dan Rarendra, Sarnia terjaga dan sudah mondar-mandir di depan pintu. Pintu masih saja tertutup rapat meski Sarnia sudah berulang kali mengetuk bahkan sampai menggedornya. Akan tetapi, tetap tidak ada respons, selain kontrakan Sasmita yang memang tidak disertai tanda-tanda ada penghuninya.
“Ini anak pada ke mana, sih? Sudah pada pergi apa gimana? Dan kenapa juga, Sasmita tetap enggak jawab telepon, padahal aku sudah pakai nomor baru? Dari jam tiga pagi, lho. Masih saja enggak jawab! Kebangetan!” Sarnia yang jengkel, mengakhiri telepon yang dilakukan, dengan kesal. Gigi-giginya bertautan bersama rahangnya yang seketika mengeras.
Di tengah napas yang memburu akibat rasa kesal yang susah payah ditahan, Sarnia berpikir, “Jangan-jangan, Rarendra dan Sasmita sedang bersenang-senang? Mereka bersenang-senang di atas penderitaan Suci?!”
Semakin marah, Sarnia tak terima jika kenyataan tersebutlah yang terjadi.
“Ya sudah. Aku samperin Mita ke tempat kerja saja!” Sarnia mantap dengan keputusannya. Menemui Sasmita ke tempat kerja, tak peduli apa pun risikonya. “Kalau bisa, pagi ini juga aku mengatakan semuanya!”
Bersambung ....