“Masih mau muter-muter Jakarta? Besok kamu harus kerja, kan?” Rarendra cukup berseru, masih mencoba membujuk Sasmita. Di belakangnya, Sasmita yang membonceng tanpa mau berpegangan kepadanya, masih bungkam dan mungkin memang sengaja mendiamkannya.
“Ta … jangan tidur. Kita cari penginapan terdekat, ya? Dekat kerjaan?” lanjut Rarendra masih berusaha meredam kemarahan sekaligus kekecewaan istrinya.
Suasana jalan masih sangat ramai, meski kini sudah pukul sembilan lewat, dan dengan kata lain, mereka sudah berkendara selama tiga jam lebih dari kediaman Sarnia. Sasmita sendiri tidak begitu menggubris ucapan Rarendra. Sebab satu-satunya hal yang Sasmita inginkan kini hanyalah lupa ingatan. Sasmita ingin mengobati luka-lukanya atas apa yang telah terjadi dan membuatnya bertanya-tanya. Kenapa Sarnia masih membela Suci padahal jelas, hubungan Suci dan Rarendra tak seharusnya ada? Apakah Sarnia akan melakukan hal yang sama jika Sasmita yang ada di posisi Suci, atau setidaknya, Sarnia ada di posisi Sasmita? Sarnia sungguh rela berbagi, dimadu dan sejenisnya?
“Sebenarnya, apa salahku? Apa yang membuat mamah begitu membenciku? Dari dulu, mamah bahkan papah selalu memperlakukanku dengan berbeda. Bahkan karena itu juga aku berpikir, jangan-jangan, aku bukan anak mereka? Tapi mbak Suci bilang, aku adiknya. Aku anak mamah dan papah, sedangkan semuanya juga menyayangi aku. Namun, … namun semenjak lamaran dari Mas Rara, semuanya berubah. Semuanya menjadi asing termasuk mbak Suci yang ternyata juga mencintai suamiku.” Dalam diamnya, Sasmita terus bertanya-tanya.
Memikirkan semua itu, kepala Sasmita terasa semakin panas dan seolah nyaris meledak. Emosi Sasmita semakin sulit diredam. Sasmita bahkan ingin mengamuk atau justru … bunuhh dirii.
Beberapa menit kemudian, Sasmita justru harus mendorong motor Rarendra dikarenakan motor matik warna hitam itu kehabisan bensin. Sedangkan Rarendra masih kerap menoleh dan memperhatikan wajah istrinya yang masih tertekuk menahan amarah sekaligus kekecewaan. “Harusnya kita mulai dari awal, ya?”
Sasmita mendengkus lesu. “Yang aku mau sekarang cuma hilang ingatan, Mas. Mas enggak usah pusing mikirin aku.”
Rarendra mengangguk-angguk berat. Sambil terus menuntun motor, ia kembali menoleh dan menatap Sasmita. “Iya. Aku pun begitu. Biar aku enggak malu, apalagi kalau aku harus berhadapan sama kamu.”
“Mas masih punya stok malu?” Sasmita masih menyikapi sang suami dengan cuek.
“Asal kamu tahu, Ta. Aku enggak hanya merasa bersalah sekaligus berdosa, sebab apa yang aku lakukan ke kamu, bikin aku malu banget. Tentu aku masih punya stok malu.”
Meski tidak sampai menatap Rarendra, Sasmita yang tetap menyimak pun berkata, “Syukurlah kalau Mas masih tahu malu.”
Mendapati itu, Rarendra tersenyum getir. Seperti dugaannya, butuh waktu lama untuk memperbaiki hubungan mereka.
“Tapi jujur, apa yang aku lakukan, tak semata karena aku berusaha adil. Aku ingin adil sama kamu maupun Suci, tanpa melukai salah satu dari kalian. Sebab jika aku sampai melukai salah satu dari kalian, otomatis kalian juga akan terluka semua. Aku ingin Suci mengerti, sebelum akhirnya aku melepas dia karena selain aku sudah menikah, aku juga memilih kamu, Ta,” batin Rarendra yang diam-diam kerap memperhatikan Mita melalui lirikan. Sasmita terlihat sangat ‘lelah’ bahkan terpuruk.
“Belok, Mas. Pom bensinnya sudah ada di sebelah. Mau berapa jauh lagi, Mas nyiksa kakiku buat jalan?” sindir Sasmita.
“Di pom bensin depan sajalah, biar kita lebih lama jalan-jalannya. Sudah lama banget, kan, kita enggak jalan gini?” ucap Rarendra yang kemudian tersipu.
“Jangan bilang, kalau romantis versi Mas, justru begini? Romantis versi Mas memang sengaja bikin aku tersiksa?” keluh Sasmita masih menyindir dan sukses membuat senyum di wajah Rarendra semakin berkembang.
“Lha … kamu pernah bilang, dikasih kantong kresek hitam, asal dari aku, kamu sudah seneng banget, kan?” balas Rarendra masih menyikapi Sasmita dengan santai.
Air mata Sasmita kembali luruh meski matanya saja masih sembam. Sasmita sengaja mempercepat langkahnya tapi tak lagi mendorong motor Rarendra. Sasmita mendekap punggung Rarendra sambil terus melangkah. Sasmita membiarkan tangisnya pecah di punggung Rarendra. “Seandainya aku juga kehilangan Mas, otomatis aku juga udah enggak punya apa-apa. Aku enggak punya siapa-siapa karena keluarga pun, keluarga pun begitu … aku beneran sendiri, Mas. Jadi, apa pun yang terjadi, seandainya jodoh pun ada batas waktunya bahkan bukan karena maut yang memisahkan, tolong, yah, Mas. Tolong banget, Mas tetap mau jadi teman aku. Sebisa mungkin aku pasti ngerti, kok. Sebisa mungkin, aku pasti tahu batasan dalam hubungan ….”
“Jangan ngomong gitu, Ta. Iya, aku yang salah. Aku salah kenapa aku enggak jujur dari awal sama kamu, Ta … aku memang salah. Aku janji enggak akan mengulangi. Karena jika aku sampai menyakitimu lagi, aku pasti akan langsung pergi. Mana mungkin aku punya nyali untuk tetap ada di dekat kamu, setelah apa yang kulakukan kepadamu?”
“Aku tahu, menyesal selalu datang terlambat. Namun, daripada sama sekali enggak, aku akan tetap mencoba untuk memperbaiki hubungan kita, Ta.”
Meski terus menuntun motornya, salah satu tangan Rarendra kerap merangkul kepala berikut punggung Sasmita.
“Semoga … semoga memang begitu yang akan terjadi kepada kita, Mas. Kita selalu bisa jaga hubungan.” Sasmita masih terisak-isak. Segera, jauh di lubuk hatinya, ia memanjatkan doa terbaik untuk hubungan mereka.
Rarendra mengangguk-angguk penuh harap. “Amin!”
“Aaa? Uuhh!” pekik Sasmita kesakitan. Kakinya yang mengenakan heels cukup tinggi, tak sengaja menginjak drainase. Kedua heels Sasmita tersangkut dan membuat wanita itu kesleo nyaris terjatuh, andai salah satu tangan Rarendra tidak sigap mendekap punggung Sasmita dengan sangat erat.
“Apakah ini bertanda buruk? Tapi … meski aku nyaris jatuh, Mas Rara bisa nahan aku. Mas Rara menyelamatkan aku? Ya ampun, Ta … kok kamu mikir aneh-aneh, sih?” batin Sasmita yang menjadi gelisah sendiri.
Rarendra menatap cemas kaki Sasmita, sesaat sebelum menatap wajah Sasmita. “Sudah lepas saja sepatunya.”
Sasmita yang masih berpegangan ke tengkuk Rarendra menggunakan kedua tangan, berangsur menjalankan titah Rarendra. Rarendra segera menyekandarkan motornya kemudian berjongkok dan mengambil heels Sasmita.
Beberapa saat kemudian, dengan kaki yang tak beralas, Sasmita membonceng motor yang masih Rarendra tuntun. Sasmita membonceng di samping. Sesekali, tangan Sasmita berpegangan ke punggung atau pundak sang suami, seiring senyum kecil yang bermekaran menghiasi wajahnya.
“Kalau sampai gerimis apalagi hujan, pasti romantisnya melebihi drama Korea, Mas,” celetuk Sasmita yang menenteng heelsnya.
Rarendra yang sudah berkeringat, kembali tersipu. “Ya sudah, aku doakan, semoga semua keinginan istriku bisa secepatnya terkabul!”
“Aminnn!” sambut Sasmita antusias sembari menengadah, memandangi langit malam dan berharap hujan benar-benar turun. “Tapi kalau beneran hujan, Mas tambah kerepotan. Kita bahkan bisa enggak pulang?”
Rarendra terkekeh. Sudah ia duga, Sasmita tak mungkin tega membuatnya semakin repot. “Sudah sampai pom bensin, kan? Sebentar lagi kita ...?” Rarendra tak kuasa melanjutkan ucapannya dikarenakan hujan deras benar-benar turun. Dan Rarendra maupun Sasmita kompak bengong tak percaya memandanginya.
Rarendra dan Sasmita kompak menengadah sesaat sebelum pandangan mereka bertemu, di mana keduanya juga sama-sama tersipu. Tampak beberapa orang yang seketika menepi ke pom bensin keberadaan mereka untuk sekadar berlindung dari hujan, atau malah mengenakan mantel hujan.
Rarendra berangsur mengulurkan kedua tangannya, membimbing sekaligus mengemban Sasmita untuk turun dari motor yang sudah terlebih dulu ia sekandarkan.
“Semoga, ini menjadi awal yang baik untuk hubungan kami,” batin Sasmita yang menyelinap di d**a Rarendra. Rarendra sendiri tetap merangkul Sasamita, meski Rarendra sedang menghadapi petugas pom bensin dan sedang mengisi bensin motor Rarendra.
***
Sementara itu, di tempat berbeda, Surono selaku ayah Sasmita dan Suci, langsung bertanya-tanya lantaran kepulangannya langsung disambut dengan tatapan angkuh oleh sang istri.
Sarnia langsung berlalu setelah membukakan pintu dan sampai membantingnya.
“Ini ada apa lagi? Aku baru pulang kerja, capek, tapi malah dibantingin pintu?” tegur Surona yang bahkan menjadi tak berselera masuk ke rumahnya. Ia tetap berdiri di depan bibir pintu memandang kesal punggung sang istri yang semakin jauh meninggalkannya dengan langkah tergesa. Langkah yang Surono pahami akan terjadi ketika sang istri sedang dalam suasana hati yang kurang baik, bahkan parahnya, marah kepadanya.
“Anakmu bikin masalah lagi. Tahu gini, mending aku buang dia dari dulu!”
“Mita?” Pembahasan yang terbilang serius, membuat Surono buru-buru menyusul. Tak lupa, ia juga langsung menutup sekaligus mengunci pintu rumahnya, apalagi hujan deras masih berlangsung dan sampai disertai angin kencang, hingga sebagian air mengguyur punggungnya bahkan masuk ke ambang pintu.
“Tadi Sasmita ke sini, dan sepertinya dia sudah tahu hubungan Rarendra dan Suci. Tapi yang Mamah enggak habis pikir, Rarendra justru memilih Sasmita!” ucap Sarnia sembari terus melangkah tergesa meninggalkan sang suami.
“Dari awal kan aku sudah bilang, jangan. Jangan main-main dengan pernikahan bahkan meski kemungkinan Suci menikah dengan Rarendra tetap bisa, baik menunggu Rarendra bercerai dari Sasmita, atau justru berpoligami karena Sasmita dan Suci memang beda ibu!” balas Surono yang juga menjadi mengomel.
Dari balik pintu kamarnya, Suci yang awalnya akan keluar dari kamar, menjadi urung dan memang menyimak. “Mita ... dari dulu, ... dari dulu Mita ibarat luka nyata dalam keluarga kami, khususnya untuk Mamah. Dan kini, setelah aku susah payah mencoba menjadi kakak yang baik, aku juga merasakan apa yang Mamah rasakan. Luka karena Sasmita, semua ini terasa sangat menyakitkan,” batin Suci yang perlahan menutup pintu kamarnya. Ia refleks menyandarkan kepalanya di pintu yang sudah tertutup rapat. “Meski pernikahan mereka memang karena aku yang memaksa Rarendra, aku sungguh tak menyangka, Rarendra benar-benar jatuh cinta bahkan memilih Sasmita, padahal dari awal, Rarendra yang selalu menegaskan rasa sayangnya kepada Sasmita hanya sebatas rasa sayang seorang kakak kepada adiknya. Padahal dari awal, Rarendra selalu menolak pernikahan mereka. Iya, semua ini memang salahku. Aku yang membuat Rarendra justru mencintai bahkan memilih Sasmita. Padahal aku yakin, cinta Rarendra tidak akan pernah berubah dan hanya untukku, apalagi selama ini, Rarendra juga selalu ada untuk aku. Hanya saja ....”
“Ci, ... pelan-pelan, ya. Pelan-pelan kamu harus menerima kenyataan mengenai pernikahanku dan Mita. Karena jujur saja, sesulit apa pun aku menolak, pada kenyataannya, semakin kami bersama, Mita juga tahu bagaimana caranya membuatku bahagia, bahkan meski hingga detik ini, aku selalu menahan diri untuk tidak menyentuhnya.” Semenjak Rarendra mengatakan itu, malam sebelum akhirnya Rarendra mengabari Sasmita pergi dari kontrakan, semuanya sungguh berubah. Rarendra menutup diri terhadap Suci, dan tak mau lagi membahas poligami yang sudah orang tua mereka sarankan agar Rarendra benar-benar menikahi Suci, meski Rarendra sudah menikah dengan Mita.
“Ya Alloh, tolong bantu hamba untuk ikhlas ....” Suci terpejam pasrah bersama air matanya yang kembali berlinang meluapkan penyesalannya yang justru membuatnya terluka begitu dalam.
Bersambung …