Meminta Pertanggungjawaban

945 Words
Bayu, asisten Reiner, tiba-tiba maju dan menatap Jasmine dengan tajam. Dia hendak memprotes sikap Jasmine yang tidak sopan pada atasannya, tetapi ia mengurungkan niat saat Reiner mengangkat tangan kanan, menyuruh Bayu untuk berhenti. Bayu mengangguk, lalu kembali ke tempat semula ia berdiri. "Siapa kamu?" Reiner menatap Jasmine dengan tatapan datar. Jasmine menahan senyum pahit. Apa segampang itu pria melupakan apa yang telah dia perbuat pada seorang wanita? "Jasmine Permata. Dan ini... kartu nama yang kamu tinggalkan di dalam hotel, dua bulan yang lalu. Saat itu kamu menyuruhku menghubungimu untuk menagih tanggung jawab." Jasmine berkata lugas. Dia berusaha tidak terintimidasi oleh tatapan Reiner yang menghujamnya tajam. Meski sejujurnya, Jasmine merasa takut. Reiner menaikkan sebelah alisnya. Sepertinya lelaki itu tengah berpikir beberapa saat. "Ikut saya!" perintah Reiner dingin sambil berlalu begitu saja dari hadapan Jasmine. "Jadi, berapa jumlah uang yang kamu butuhkan?" Reiner mengendurkan ikatan dasi setelah ia duduk di atas sofa ruangan kantornya. Sementara Jasmine tetap berdiri cukup jauh dari tempat Reiner duduk. Sebelum memutuskan datang ke perusahaan ini, Jasmine telah menebalkan muka dan juga hatinya. Karena tahu akan mendapat penghinaan, maka dari itu Jasmine berusaha menyiapkan diri untuk tidak sakit hati. Jasmine mengepalkan tangan, memberi kekuatan pada diri sendiri untuk berkata, "Nikahi aku." "Apa?" Nyali Jasmine seketika menciut saat Reiner tiba-tiba mendongak dengan ekspresi yang berubah mengerikan. Sorot mata tajamnya seakan ingin menembus kepala Jasmine. Tidak boleh. Jasmine tidak boleh menyerah begitu saja hanya karena tanggapan buruk yang ia dapatkan dari Reiner. Sekali lagi, Jasmine meyakinkan diri bahwa saat ini ada kehidupan di dalam rahimnya. Ia tak ingin anaknya lahir tanpa seorang ayah. Hanya statuslah yang Jasmine inginkan. "Kamu bilang apa tadi?" Suara Reiner terdengar rendah, namun penuh ancaman di dalamnya. "Katakan sekali lagi." Jasmine menautkan jemari kedua tangannya yang entah sejak kapan menjadi terasa dingin. Ya, dia gugup sekarang. Tapi Jasmine memberanikan diri untuk meletakkan selembar kertas di hadapan Reiner, yang berisi tentang keterangan kehamilannya. "Aku hamil. Dan dia adalah anakmu. Aku ingin kamu bertanggung jawab untuk—" BRAKK! Kalimat Jasmine seketika terhenti oleh gebrakan keras di atas meja. Ia sempat tersentak oleh suara yang ditimbulkan dari telapak tangan yang beradu dengan material kaca tersebut. Rahang Reiner tampak mengeras. Jelas pria itu sedang marah sekarang. "Siapa kamu berani-beraninya memerintah saya untuk menikahimu? Dan apa tadi kamu bilang? Hamil?" Terdengar kekehan meremehkan dari mulut Reiner, membuat sebagian hati Jasmine tiba-tiba terasa ngilu. Ah, seharusnya Jasmine tak boleh merasa sakit hati begini. "Ya. Dua bulan yang lalu kamu melakukannya padaku. Aku tahu kamu tidak memakai pengaman malam itu. Aku tidak menstruasi lagi dan saat ini usia kehamilannya sudah delapan minggu. Dia adalah anakmu. Darah dagingmu." Mendengar penjelasan itu, Reiner terlihat diam beberapa saat, seakan tengah memikirkan sesuatu. "Saat itu kamu bekerja di tempat karaoke di SkyClub. Benar?" "Benar," Jasmine mengangguk. Sampai saat ini, ia masih bekerja di sana. Tapi... mengapa Reiner tiba-tiba membahas pekerjaannya? Reiner tertawa sinis dan menatap Jasmine dengan tatapan jijik. "Kalau begitu, saya tidak percaya bahwa itu adalah anak saya. Bisa jadi yang tumbuh di dalam perutmu adalah benih pria lain. Gadis sepertimu tidak mungkin tidur hanya dengan satu pria, bukan?" Sakit. Sangat sakit. Itulah yang Jasmine rasakan setelah mendengar penghinaan dari Reiner. Dialah yang pernah menidurinya. Bagaimana ia berani menuding Jasmine seperti ini? Mata Jasmine tiba-tiba terasa panas. Lelaki ini... sungguh tak berperasaan. "Aku bukan w************n seperti yang kamu pikirkan," seru Jasmine, wajahnya memerah. "Kamu adalah satu-satunya pria yang pernah meniduriku, bahkan lebih tepatnya, memperkosaku." Reiner mengetatkan rahangnya, tatapannya menusuk. "Melihat pekerjaanmu saat itu, saya rasa tidak akan ada yang percaya dengan apa yang kamu katakan. Di tempat seperti itu, tidak mungkin ada wanita yang bisa mempertahankan harga dirinya." "Tapi kamu tahu!" desak Jasmine dengan putus asa. "Kamu tahu malam itu adalah yang pertama bagiku. Kamu merampasnya! Kamu mencuri sesuatu yang sudah kujaga mati-matian." Jasmine menggigit bibir gemetarnya, menahan air mata yang ingin mengalir. Reiner menutupi wajahnya dengan tangannya. Gadis itu benar. Dia telah merampas keperawanannya pada malam itu. Dan bodohnya, Reiner bahkan lupa hal penting: tidak menggunakan pengaman untuk pertemuan berikutnya. Benar-benar bodoh! Reiner mengutuk dalam hati. Tapi, apakah mungkin Jasmine melakukan hal yang sama dengan pria lain setelah itu? Ya, mungkin saja. Pikirannya berkecamuk "Saya tidak akan pernah menikahimu. Tapi saya bisa memberimu uang yang cukup untuk menghidupi anak itu. Akan saya siapkan sege-" "Papa tidak pernah mengajarkanmu untuk lari dari tanggung jawab, Reiner!" Tubuh Reiner tegang mendadak. Itu suara ayahnya, bukan? Tapi bagaimana bisa? Di mana dia sekarang? Wajahnya pucat saat kursi kerjanya tiba-tiba berputar. Reiner baru sadar bahwa kursi itu membelakanginya sejak tadi. Bagaimana bisa sekretarisnya tidak memberitahunya bahwa sang ayah ada di ruangan ini? Reiner bangkit, menghampiri ayahnya yang menatapnya dengan ekspresi marah yang sulit disembunyikan. Tidak hanya Reiner, Jasmine juga terkejut. "Papa sudah pulang, ya?" Nicko, sang ayah, tidak menjawab basa-basi. Matanya meneliti Jasmine yang tertunduk, lalu menatap tajam Reiner. "Apakah benar yang dikatakan gadis ini? Kamu tidur dengannya?" Reiner tidak menjawab. Bagi Nicko, keheningan itu sudah cukup menjawab pertanyaannya. "Ikut Papa!" desak Nicko, suaranya keras dan penuh penegasan. Nicko membawa Reiner ke sebuah ruangan tersembunyi di dalam kantor mereka, mengunci pintunya dengan mantap. Sebelumnya, dalam sepi yang menyiksanya, Nicko telah meraih surat keterangan kehamilan Jasmine dari atas mejanya. "Papa kecewa sama kamu," desis Nicko, suaranya penuh dengan campuran kekecewaan dan kepedihan. Reiner menghela napas berat. Tak ada yang lebih menyakitkan baginya daripada mendengar kata-kata kecewa dari orangtuanya. Selama ini, dia selalu berusaha menjaga agar tidak mengecewakan mereka. Namun, hari ini, segalanya telah berantakan. "Maafkan aku, Pa. Tapi tentang anak itu, aku tidak yakin dia benar-benar anakku," Reiner bersikeras, mencoba menjaga kejelasan dalam kebingungannya. "Kalian berdua melakukannya dua bulan lalu. Dan kamu adalah yang pertama baginya, bukan begitu?" Nicko menegaskan, matanya menatap tajam putranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD