Muncul Dua Garis Biru

794 Words
Ucapan Reiner bagaikan tamparan keras bagi Jasmine. Walau pada awalnya Jasmine memberontak dan menolak, tetapi pada akhirnya dia terbuai oleh kelembutan yang diberikan Reiner padanya. Itulah kenapa Jasmine benci pada tubuhnya sendiri yang secara terang-terangan mengkhianatinya. "Saya tidak punya waktu lagi. Tapi saya tetap akan bertanggung jawab dalam bentuk imbalan. Dan saya akan menganggap kesalahanmu tadi malam telah termaafkan." Reiner mengeluarkan kartu nama dari dompet, lalu meletakkannya di atas nakas. "Pikirkan baik-baik. Kalau sudah memutuskan jumlahnya, hubungi saya di nomor ini," pungkasnya sebelum benar-benar berlalu dari hadapan Jasmine. "Arghhh!" Jasmine menarik rambutnya dengan kasar. "Laki-laki berengsek! Kurang ajar! Kamu sudah menghancurkan hidupku!" teriaknya frustasi. Reiner sempat mendengar teriakan gadis itu sesaat sebelum pintu ruangan tertutup. Tetapi pria itu seakan tak memedulikan umpatan-umpatan yang terus dilayangkan Jasmine padanya. Bagi Reiner, memberikan uang dalam jumlah yang fantastis ialah bentuk tanggung jawabnya pada wanita seperti Jasmine. Terkadang, Jasmine merasa hidup ini tak adil baginya. Kenapa Tuhan seakan tak bosan memberinya cobaan? Sejak berusia tiga tahun dia harus tinggal di panti asuhan, membuat Jasmine hanya sesaat mendapati kasih sayang dari orang tua kandungnya. Lalu, saat berusia sembilan tahun dia diadopsi oleh sebuah keluarga. Dan masalah baru dimulai sejak saat itu. Orang tua angkatnya meninggal saat Jasmine masih remaja. Meninggalkan Jasmine dan kakak angkatnya yang bernama Wisnu, mereka hidup berdua di rumah sederhana peninggalan orang tua angkatnya tersebut. Wisnu yang baru lulus SMA pun terpaksa bekerja serabutan, mencari uang untuk biaya hidup mereka berdua, dan membiayai sekolah Jasmine yang saat itu masih duduk di bangku SMP. Hidup Jasmine cukup damai, setidaknya sampai ia lulus SMA. Masalah datang tidak lama setelah Jasmine lulus sekolah. Wisnu sering mabuk-mabukkan dan bermain judi. Dia sampai berani menjual perabotan rumah, bahkan sertifikat rumah pun Wisnu gadaikan ke bank. Uangnya lalu ia bawa ke meja judi. Seakan tidak puas dengan semua itu, akhirnya rentenir pun menjadi sasaran Wisnu selanjutnya. Jasmine ingat dengan jelas bagaimana Wisnu, dalam keadaan mabuk, sering kali pulang dengan wajah penuh luka setelah kalah berjudi. Rasa malu dan kecewa bercampur aduk dalam hati Jasmine. Ia berusaha keras untuk tetap bertahan, bekerja di tempat karaoke, berusaha menutupi hutang-hutang Wisnu, tapi setiap kali ia melunasi satu hutang, muncul hutang baru yang lebih besar. Masalah besar kembali datang dalam hidup Jasmine saat ia mendapati dua garis merah pada alat tes kehamilan. Dia hamil? Benarkah? Jasmine berharap semuanya hanyalah mimpi, tapi ini terlalu nyata. Ini bukan mimpi. Jasmine menggeleng, tidak ingin percaya. Namun bayang-bayang itu kembali datang memenuhi pikirannya. Bayangan saat Jasmine kehilangan kesuciannya oleh pria itu dua bulan yang lalu. Dan di sinilah Jasmine saat ini. Berdiri di dalam lobi sebuah perusahaan bernama F Group. Ia datang kemari untuk meminta pertanggungjawaban pria itu atas kehamilannya. Sekali lagi, Jasmine mengatur napas dan berusaha membangun keyakinan bahwa yang dilakukannya saat ini adalah benar. Setidaknya, janin dalam kandungannya harus memiliki ayah saat dia lahir. Anaknya tidak bersalah, dan dia berhak mendapat pengakuan dari ayah kandungnya sendiri. "Kalau boleh tahu, apa Mbak sudah membuat janji dengan Pak Reiner?" tanya resepsionis dengan ramah. Janji? Tentu saja tidak. Mereka tidak pernah berhubungan lagi sejak saat itu. Tapi jika Jasmine berkata dia belum punya janji, bisa dipastikan resepsionis ini menolak mentah-mentah. "Ah, janji ya? Tentu Mbak. Sebelumnya Pak Reiner memberi saya kartu nama ini." Jasmine menyodorkan kartu nama yang sempat diberikan pria itu padanya di hotel, dua bulan yang lalu. "Dia menyuruh saya menghubungi nomornya, tapi tidak pernah diangkat." Resepsionis itu berpikir sesaat. Setahunya, Reiner tidak suka memberi kartu namanya pada sembarang orang. Ia pun mempercayai ucapan Jasmine, lalu mengangguk. "Baik, Mbak. Ditunggu sebentar ya. Saya akan menghubungi beliau terlebih dulu." Jasmine membalas dengan anggukkan kepala lalu menatap lantai yang dia pijak dengan tatapan menerawang. Tiba-tiba dia merasa ragu dengan keputusannya. Bagaimana kalau Reiner tidak mengakui bahwa ini adalah anaknya? Apa yang harus dia katakan untuk meyakinkan pria itu nanti? Jasmine menggeleng. Selama ini keputusan yang dia ambil selalu penuh risiko, dan dia selalu berhasil menghadapinya. Maka kali inipun Jasmine yakin dapat mengatasinya. "Mohon maaf, Mbak, tapi Pak Reiner sedang meeting di luar. Dan tidak tahu kapan akan kembali lagi." "Ah... begitu?" Jasmine berpikir sesaat. "Ya sudah, Mbak. Terima kasih, ya." Jasmine kembali dengan perasaan kecewa. Padahal dia tak ingin datang dua kali ke tempat ini. Tapi apa boleh buat? Sepertinya dia harus kembali lagi besok. Oh? Bukankah itu dia? Mata Jasmine sedikit membulat saat ia melihat pria tampan yang baru saja memasuki lobi. Benar, dia Reiner. Laki-laki yang menjadi ayah kandung janin di dalam rahimnya. Jasmine memberanikan diri menghampiri pria itu. Ia tahu dari kartu namanya bahwa Reiner adalah CEO di perusahaan ini. Tapi Jasmine tak peduli pada jabatan yang dimilikinya. Ia hanya terfokus pada calon anaknya. Jasmine tidak ingin anaknya lahir tanpa seorang ayah. Hanya itu. "Pak Reiner, kamu mengingatku?" tanya Jasmine saat ia berhasil menghadang langkah kaki pria itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD