Anggap saja Begitu

989 Words
Sekali lagi, Reiner memilih untuk diam. Nicko mengenal anaknya dengan baik. Lebih dari sekadar menjawab 'ya', Reiner memilih untuk menutup diri. "Di dalam surat ini, usia kehamilannya delapan minggu. Melihat bagaimana dia menjaga dirinya, meskipun bekerja di klub, Papa tidak yakin dia akan tidur dengan pria lain dalam waktu singkat," Nicko menyimpulkan, suaranya tegar namun mempertimbangkan setiap kata. Bagi Nicko, mempertahankan keperawanan di lingkungan yang kurang mendukung adalah sesuatu yang sulit. Itu menunjukkan bahwa Jasmine tidak bekerja untuk menjual diri. Ide bahwa dia mungkin tidur dengan pria lain dalam waktu dekat terasa tidak masuk akal. "Jangan mudah percaya padanya!" desak Reiner, mencoba membela diri. "Kamu tahu posisimu sekarang, Reiner?" Nicko bertanya dengan tenang namun penuh penegasan. "Pa, aku—" Reiner mencoba untuk membela diri "Kamu akan menjadi penerus perusahaan kita. Saat ini, kamu sedang menjadi sorotan publik. Papa tidak ingin masalah ini menghancurkan reputasimu atau merugikan perusahaan kita karena keberadaan anak dalam kandungannya," kata Nicko dengan tegas. "Pa, jangan percaya apa yang dikatakan gadis itu, dia—" Reiner berusaha memotong. "Nikahi dia! Tanggung jawablah pada anak yang dia kandung," Nicko menyela dengan suara yang lebih pelan namun tak kalah tegas. "Kalau kamu masih ragu, kamu bisa melakukan tes DNA nanti. Reiner hendak membuka mulut untuk melanjutkan protesnya, namun ekspresi tegas sang ayah membuatnya menutup mulutnya kembali. Terlepas dari segala perlawanan, ia tahu tak akan bisa melawan keputusan ayahnya. "Baiklah, Pa. Aku akan menikahinya," ucap Reiner akhirnya, suaranya terdengar putus asa namun juga penuh dengan kepatuhan pada keputusan yang tak terhindarkan itu. ** Jasmine mengelus perutnya yang menjadi tempat calon anaknya berlindung. Kehadirannya memang tidak diinginkan dan diakui oleh ayah kandungnya. Tapi Jasmine berjanji akan memberi perlindungan dan kasih sayang untuk anaknya dengan setulus hati. Pernikahannya dengan Reiner akan dilaksanakan dua minggu lagi. Meski akhirnya mereka akan menikah, tapi Jasmine sadar jika pernikahan itu bukan atas kemauan Reiner, melainkan paksaan ayahnya. Reiner tetap belum mau mengakui bahwa janin dalam perut Jasmine adalah darah dagingnya. Tapi tidak apa-apa. Jasmine yakin, perlahan dan suatu saat nanti dia dapat membuktikan kenyataannya pada Reiner. Bahwa dia adalah satu-satunya pria yang meniduri Jasmine. Dan yang terpenting bagi Jasmine saat ini anaknya terlahir memiliki seorang ayah. Jasmine menghela napas panjang. Lamunannya tersadarkan oleh deringan ponsel yang menampilkan sebuah pesan masuk untuknya. "Hm? Apa itu pesan dari Reiner?" gumamnya, mengingat mereka ada rencana pergi ke butik untuk mencoba gaun pengantin, yang tentu saja hal itu pun atas kemauan orang tua Reiner. Jasmine segera bangkit dari kursi untuk meraih ponsel yang teronggok di atas ranjang. Pegangan tangannya pada ponsel seketika mengerat, tatkala ia melihat pengirim pesan tersebut adalah seseorang yang tidak ingin Jasmine temui lagi. Ya, rentenir. Lintah darat itu selalu mengejar-ngejar Jasmine. Memaksa Jasmine untuk melunasi hutang-hutang kakaknya yang entah berada di mana saat ini. ["Segera lunasi cicilan bulan ini. Ditunggu sampai besok. Kalau tidak, siap-siap orangku akan mendatangi rumahmu."] Helaan napas berat lolos dari bibir Jasmine. Ia tidak tahu kapan akan terbebas dari mereka. Mengingat betapa besarnya hutang Wisnu disertai bunga berlipat yang terasa mencekik bagi kalangan bawah sepertinya. ["Sore akan saya transfer."] balas Jasmine. Usai pesannya terkirim, Jasmine kembali menatap lantai dengan tatapan menerawang. Dua bulan yang lalu, Reiner sempat menawarkan imbalan atas malam panas yang terjadi saat itu. Jika Jasmine mata duitan, maka saat itu adalah kesempatan yang bagus untuk mendapatkan banyak uang dari Reiner. Sehingga bisa ia bayarkan untuk melunasi hutang Wisnu. Tapi sekali lagi, Jasmine bukan w************n. Harga dirinya menolak mentah-mentah uang tersebut. Ah, mengingat pernikahan. Jasmine berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan melibatkan masalah pribadi seperti hutang sang kakak dalam pernikahan mereka. Jasmine meminta Reiner menikahinya adalah murni karena demi anaknya. Agar dia terlahir memiliki seorang ayah. Sedangkan masalah pribadinya akan Jasmine telan sendiri. Lamunan Jasmine kembali terinterupsi oleh deringan dari ponselnya. Kali ini sebuah pesan masuk dari lelaki yang sedari tadi memenuhi pikirannya. ["Saya di depan rumah kamu. Kalau tidak keluar dalam waktu dua menit, pergi sendiri dan naik taksi!"] Jasmine mencampakkan pesan tersebut lalu bergegas keluar dari rumahnya. Benar saja, sebuah mobil sport putih telah menunggu di depan rumah. Tidak salah lagi, mobil itu pastilah milik Reiner. Jasmine kemudian masuk ke dalam mobil setelah ia memastikan pintu rumah terkunci. Lalu duduk dengan canggung di samping kursi kemudi tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya. Dari sudut mata, Jasmine bisa melihat Reiner terdiam dengan kedua tangan terlipat di depan d**a sambil bersandar di punggung kursi. Pria itu melepas kacamata hitamnya. Alih-alih langsung menjalankan mobil, Reiner malah bergerak mengambil sesuatu dari kursi belakang. Efek dari gerakannya itu Jasmine bisa mencium aroma tubuh Reiner yang khas dan tidak asing di hidungnya. Ya, Jasmine sudah kenal dengan parfum Reiner sejak malam itu. "Ada yang harus kita bahas dulu. Ini jauh lebih penting dari gaunmu." Reiner kembali duduk seperti semula, tetapi kali ini ada sebuah map di tangannya. Meski tak mengerti apa yang perlu mereka bahas, Jasmine tetap mengangguk mengiakan. "Iya," balasnya singkat. "Menikah dengan perempuan sepertimu tidak pernah ada dalam rencana saya," Reiner memulai pembahasannya. "Kalaupun harus menikah, saya akan memilih wanita dari keluarga yang terpandang. Cantik, terpelajar, dan yang terpenting dia adalah wanita elegan. Bukan sembarang wanita apalagi w************n," jelasnya tanpa perasaan. Jasmine yang mendengar hal itu seketika mengepalkan tangannya. Dia sering dihina sebelumnya oleh orang lain yang tidak suka padanya, tapi saat pria ini yang menghinanya kenapa terasa begitu menyakitkan? "Aku mengerti," Jasmine berusaha bersikap normal dan datar. "Lalu?" "Bagus kalau kamu mengerti," Reiner menghela napas sesaat. "Jadi, kita menikah hanya sebatas status. Saya akan melakukan tes DNA pada anak yang kamu kandung untuk membuktikan apakah dia benar anak saya atau bukan." "Dia anakmu," Jasmine menyela. "Ya. Anggap saja begitu. Nanti kita akan tahu setelah melakukan tesnya." Jasmine tersenyum pahit. Mulutnya kini terkatup rapat merasa enggan menanggapi ucapan Reiner karena pada akhirnya akan sia-sia. Pria itu mengangsurkan sebuah map pada Jasmine. Jasmine memandangi map tersebut dengan penuh tanya lalu meraihnya dan membukanya saat Reiner memberi perintah. "Surat perjanjian?" gumam Jasmine ketika membaca judul dari isi map di genggamannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD