Jangan Pendam Sendiri

1122 Words
“Tsabina, Bina.” Aku mendengar suara ditelingaku dengan samar, aku menoleh dan melihat Mas Ares dengan pakaian serba hitam. Ternyata Ibu benar-benar pergi, aku baru sadar setelah melihat Mas Ares mengenakan setelan jas berwarna hitam dan menyadari bahwa aku tengah di makam Ibu. Aku melihat pakaianku, ternyata tanpa aku sadari aku memang sudah mengenakan dress hitam ketika kemari, baru saja aku senang mendengar Ibu akan di operasi karena ada orang baik yang mau membayar biaya operasi Ibu. Tapi nyatanya, semua itu sudah terlambat. Mas Ares duduk di sebelahku dan berkata, “Ayo kita pulang ke rumah.” “Mas,” lirihku. “Iya?” “Aku kehilangan Ibu,” kataku. “Heem. Aku tahu, tapi kamu jangan khawatir, kamu masih punya aku.” Mas Ares mengelus punggungku. Aku kini duduk di kursi lipat disebelah makam Ibu, Ibu di makamkan pagi hari. Dan, rumah duka adalah rumah Mas Ares. Mas Ares mengurus semua pemakaman Ibu dan membayar biayanya. “Andai aku tidak bangkrut, aku pasti bisa menyelamatkan Ibu,” kataku menatap Mas Ares seraya mengelus nisan Ibu. “Ini bukan salahmu. Ibumu pergi untuk selamanya karena Tuhan memanggilnya pulang,” jawab Mas Ares berusaha menenangkanku dan apa yang dia katakan memang benar. “Jangan pernah merasa bahwa yang terjadi adalah kesalahanmu.” Aku menoleh dan melihat seorang pria kini berdiri memegang payung, dan kini memayungiku, aku menautkan alis dan berkata, “Siapa, Mas?” “Dia temanku,” jawab Mas Ares. “Tidak perlu memayungiku,” gelengku. “Tidak apa-apa, hari sangat panas,” kata Mas Ares lagi. Aku mengangguk. Apakah aku memang ditakdirkan bertemu dengan Mas Ares agar aku tidak sendiri? Karena Ibu pergi setelah aku menikah, yang artinya Ibu menyerahkanku kepada Mas Ares. “Sekarang, kita pulang ya,” kata Mas Ares mengelus punggungku. Aku mengangguk dan bangkit dari dudukku. Untungnya aku mengenakan kaca mata rayband, andaikan tidak mataku pasti terlihat sangat bengkak. Karena sejak kemarin tidak pernah berhenti menangis. Aku dan Mas Ares lalu pergi meninggalkan Makam Ibu. Aku menoleh lagi melihat orang yang memayungi kami. Tak lama kemudian, ku lihat Giring dan Xiu mendekatiku, mereka baru saja datang dan mengenakan pakaian serba hitam. Aku langsung mendekati Xiu dan menarik kerah bajunya. “Semua ini karena kamu, karena kamu.” “Sayang,” lirih Xiu pada Giring. “Bina, stop. Kamu jangan begini di hari pemakaman Ibu,” kata Giring melepaskan tanganku yang menggenggam kuat kerah baju Xiu. “Kamu apa-apaan sih, apa kamu sudah gila? Kami kemari mau melayat bukan mau cari masalah dengan kamu.” “Kamu sejak dulu iri kan dengan apa yang aku dapatkan? Aku bekerja sama dengan perusahaan besar, tapi kamu malah bekerja sama dengan perusahaan menengah. Kamu terus menerus membayar orang untuk bekerja di tempatku agar mereka memberikan bocoran kepadamu. Agar kamu bisa mengambil semua designku dan sketsa yang aku buat. Walaupun aku punya buktinya, tapi aku tak pernah menyerang kamu. Karena apa? Karena aku tidak ingin menjatuhkan orang lain.” “Apa sih maksud kamu? Kami kemari mau ziarah ya, bukan mau meladeni omongan kamu.” Mas Ares menggenggam lenganku dan berkata, “Kita pulang saja. Jangan diladeni.” “Ingat, kamu merebut semua yang aku punya dan suatu saat nanti jika tidak kembali kepadaku, akan direbut oleh orang lain.” Aku melanjutkan. “Sayang, ayo pergi dari sini, kamu mau mendengar terus menerus ocehannya?” tanya Xiu menggenggam lengan Giring sementara mata Giring terus menerus melihat ke arahku. “Kenapa sih meladeni gembel ini?” “Hati-hati ya bicaranya, jangan mengusik Tsabina lagi.” Kali ini Mas Ares angkat bicara. “Jangan mengira kamu sudah memiliki segalanya, artinya kamu memegang kendali.” “Mas, sudah.” Aku menggeleng lalu menarik Mas Ares dan pergi meninggalkan keduanya. Aku tidak berbalik melihat ke arah mereka, namun yang ku tahu Xiu tak terima dengan omonganku. Ia mengadu kepada Giring dan menyuruh Giring melakukan sesuatu, namun Giring tidak punya daya ketika berhadapan denganku. Aku masuk ke taksi dan Mas Ares duduk disebelahku. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku menatapnya. “Kamu butuh teman, ‘kan? Aku akan menjadi temanmu,” kata Mas Ares tersenyum. Aku menyeka airmataku dan mengangguk perlahan. “Jangan merasa sendirian, aku ada di sini.” Mas Ares melanjutkan masih menggenggam kuat telapak tanganku. “Kalau ada masalah katakan saja, jangan sembunyikan lagi. Kehilangan ibu kamu harusnya menjadi pelajaran berharga bahwa jika menyimpannya sendiri itu akan membuat semuanya semakin runyam.” Apa yang dikatakan Mas Ares memang benar. Aku tidak boleh lagi menyembunyikan apa pun kepadanya. Karena jika menyembunyikannya, semuanya tak akan baik-baik saja. Aku menundukkan kepala dan berkata, “Ibu sakit sudah hampir satu tahun, setelah kehilangan Ayah. Ibu memiliki kanker lambung dan ginjalnya sudah rusak.” Mas Ares menjadi pendengar yang baik. “Ketika Ibu masuk rumah sakit, aku masih punya uang walaupun tidak banyak, lalu aku menjual rumah kami dan uangnya untuk biaya rumah sakit Ibu karena Ibu sudah hampir satu tahun di rumah sakit.” Mas Ares mengangguk membenarkan, taksi juga berjalan sangat lambat. “Seluruh asetku dan kekayaan yang aku miliki, habis untuk membayar pinalty dan membayar uang pensiun karyawan.” Aku melanjutkan. “Aku tidak tahu ternyata akan memakan uang yang banyak. Dan aku tidak tahu kalau Ibu sudah lama merasakan sakit pada perutnya.” “Jadi, Ibumu menyembunyikannya?” “Iya. Semakin parah ketika Ayah pergi untuk selamanya.” “Mereka pasti sudah bertemu di sana.” “Semoga saja.” “Aku mendengar tangismu dan kamu katakan kamu tidak punya siapa-siapa lagi, kamu jangan lupa bahwa kamu masih punya aku. Aku bisa menjadi suami yang baik dan teman yang baik untuk kamu.” Aku menoleh dan menatapnya, sebaik apa pun Mas Ares aku tidak ada perasaan terhadapnya, setampan apa pun dia, hatiku seolah sudah mati karena di bunuh oleh Giring. Walaupun pernikahan kami mendadak dan kami baru bertemu ketika pernikahan akan berlangsung, tapi Mas Ares bersikap sangat lembut kepadaku dan sikapnya sangat manis. "Sekarang apa pun masalah yang tengah kamu hadapi, katakan kepadaku. Aku pasti bisa membantumu," sambung Mas Ares. "Dan aku tidak habis pikir kamu menyembunyikan penyakit ibumu padaku. Padahal aku bisa membantu meminjam uang kepada teman jika memang kamu sangat membutuhkannya." "Aku telat ya, Mas? Aku hanya tidak ingin membebanimu." "Jangan mengatakan hal itu, karena aku bisa melakukan apa saja demi kamu, aku bisa meminjam uang kepada temanku, pada bossku dan pada siapa pun yang aku kenal." Aku mengangguk dan kembali menundukkan kepala. "Jangan memendamnya sendiri." Mas Ares melanjutkan. "Ada aku, aku akan menjadi orang yang akan mendengarkan keluh kesahmu." Setelah kehilangan Ibu, aku harus menyadari bahwa aku harus bekerja, aku tidak seharusnya berpangku tangan seperti ini. Aku pasti bisa memulai semuanya dari 0 walaupun bukan dibidang designer. Aku sedih kehilangan Ibu, tapi aku janji akan membuat Ibu dan Ayah bangga padaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD