Berhenti Bernapas

1060 Words
Tsabina POV. Aku menoleh tersenyum melihat Mas Ares yang saat ini memunggungiku menuju kamar mandi. Aku baru saja selesai membereskan seisi rumah ini, pinggangku seperti akan patah, jadi aku melarang Mas Ares untuk tidak masuk mengenakan sepatu ke rumah ini. Setelah mandi dan berganti pakaian, Mas Ares datang dan duduk dihadapanku. Aku tersenyum menatapnya dan berkata, “Ayo makan malam.” Mas Ares mengangguk lalu mempersilahkanku duduk. “Kenapa kamu tidak duduk? Ayo duduk.” “Aku mau mengambil satu lauk,” katanya. Mas Ares bangkit dari duduknya dan mendudukkanku di kursi depan meja makan. Lalu ia berkata, “Kamu duduk saja dan jangan kemana-mana. Aku yang akan melakukannya.” Mas Ares meraih piring dan membawa lauk yang sudah ada di atas meja dapur. Lalu, membawanya ke meja makan. Mas Ares juga mengambil dua botol air mineral dan dua gelas kosong lalu diletakkannya di atas meja, sikap Mas Ares saat ini benar-benar membuat hati kecilku tergerak. Apakah dia memang suami yang baik? Aku menatapnya lalu berkata, “Terima kasih.” “Kamu makan lah, makan yang banyak,” kata Mas Ares memuat lauk di atas piringku. Aku tertegun melihatnya. Aku tersenyum lalu menganggukkan kepala. “Seberat apa pun masalah yang dihadapi, jangan pernah lupa makan,” katanya, membuatku kagum dan senang ketika mendengar hal itu dari mulutnya. Seolah ia tahu semua yang aku hadapi. Aku sengaja menyembunyikan sakit Ibu, agar nantinya tidak membebani Mas Ares. Aku diperlakukan sangat manis dan lembut olehnya, aku merasa seperti memiliki seseorang yang dapat memahamiku. Akhirnya aku tidak sendirian setelah Ibu sakit. Aku memiliki Mas Ares yang memperlakukanku dengan baik. Aku sesekali mendongak dan melihat Mas Ares. Walaupun sikapnya sangat lembut, namun dihatiku tidak ada Mas Ares. “Semua orang perlu mencurahkan isi hatinya kepada orang lain. Tujuannya agar setidaknya beban didalam pikirannya sedikit berkurang,” kata Mas Ares sesaat menatapku, aku menautkan alis apa yang ia maksud dengan mengatakan hal itu. Seolah dia memancingku untuk memberitahu masalah apa yang tengah aku hadapi. Aku tak bergeming sama sekali, aku memilih diam. Setelah makan malam, aku duduk nonton tv. Aku menoleh melihat Mas Ares membawa dua cangkir teh hangat yang wanginya menguar lembut di indera penciumanku. Mas Ares memberikan satu cangkir kepadaku dan aku langsung menyesapnya. “Terima kasih,” ucapku. “Heem.” Aku menoleh sesaat dan menatapnya, lalu kembali fokus pada televisi yang saat ini tengah menayangkan acara mukbang. Walaupun saat ini aku terlihat biasa saja, namun dipikiranku saat ini, aku sangat kepikiran Ibu yang saat ini tengah melawan penyakitnya. Aku tak tahu harus kemana meminjam uang, aku tak tahu dimana aku bisa mendapatkan uang 100juta dalam waktu singkat. *** Aku tiba di rumah sakit setelah mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit, katanya ada orang baik yang mau membayar biaya operasi Ibu. Namun, setibanya aku di sana, aku melihat ruang ICU ramai. Mungkin ada orang yang kambuh, pikirku. Setibanya aku didepan ruang ICU. Perawat datang dan menghampiriku. “Ada apa?” tanyaku menautkan alis. “Dokter memanggil Nona,” jawabnya. Aku lalu masuk ke ICU dan membulatkan mata ketika melihat keramaian yang ada didepan pintu ICU itu ternyata tengah melihat Ibu, aku menoleh melihat ke arah komputer yang menunjukkan garis lurus yang artinya Ibu sudah pergi dan meninggalkan dunia. Aku membulatkan mata dan bertanya kepada dokter, apa yang terjadi. Aku berharap apa yang aku lihat ini tidak benar, aku berharap dokter mengatakan bahwa Ibu baik-baik saja. “Dok, ada apa ini? Ibu saya kenapa?” tanyaku. “Maafkan kami, karena kami sudah berusaha semaksimal mungkin.” Aku membulatkan mata. “Maksudnya apa? Ibu baik-baik saja, ‘kan? Ibu tidak apa-apa, ‘kan? Apa maksudnya sudah berusaha semaksimal mungkin.” “Sudah ada yang membayar biaya operasi ibumu, namun ketika kami sedang mempersiapkan ruang operasi, ibumu pergi.” Dokter menjelaskan membuatku terpaku pada tubuh Ibu yang berhenti bernapas. Aku menggelengkan kepala kuat, ini tidak mungkin. Kemarin, Ibu baik-baik saja, lbu tidak kambuh. Ibu pasti akan sembuh. Aku menangis histeris dan terduduk di lantai, ku abaikan semua orang yang kini melihatku dengan ibah. Aku mendesah napas halus dan menggelengkan kepala. Aku mendongak melihat dokter yang menangani Ibu, aku berharap dokter mau mengatakan hal yang berbeda. “Dok, Ibu saya tak apa-apa kemarin, Ibu saya pasti sembuh. Tolong, Dok, operasi iBu saya.” Aku menangis sesenggukan. “Mohon maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Sepertinya Ibumu memang tidak memiliki keinginan untuk sembuh, jadi beliau pergi dengan keinginannya sendiri. Kondisinya memang baik-baik saja kemarin, tapi kamu jangan lupa kalau beliau diberikan alat untuk bernapas yang artinya jika alat itu dicabut, napas ibumu bisa saja masih ada atau berhenti.” Aku ingat betul apa yang dikatakan dokter, bahwa Ibu memang memiliki penyakit yang sudah sangat parah. Aku ingat betul konsekuensi yang harus ku terima. Aku menangis lagi, kali ini tangisku sesenggukan, aku tidak bisa menahan sesak didalam d**a. Semuanya terlalu singkat, baru saja aku berjuang dan berusaha mencari pinjaman sana-sini, menemui kolega dan teman-teman dekat, namun nyatanya tidak ada yang bisa ku lakukan. Semuanya sudah meninggalkanku. Lalu, aku beranikan diri pergi menemui Giring, dan aku meminta tolong kepadanya agar meminjamkan uang, Giring mau membantuku, namun nyatanya itu dianggap tidak benar oleh Xiu. Air mataku luruh begitu saja, sesak sekali. Aku bangkit dari dudukku dan ku tatap wajah Ibu yang sangat pucat, lalu ku genggam tangannya yang sudah dingin. “Bu, maafin Bina ya, Bina gak bisa memberikan yang terbaik untuk Ibu, Bina telat mendapatkan pinjaman hingga Ibu telat di operasi, andaikan Bina bergerak lebih cepat, mungkin Ibu tidak akan pergi ninggalin Bina. Sekarang Ibu udah gak ada, kemana Bina, Bu? Siapa lagi keluarga Bina? Kenapa Ibu ninggalin Bina sendirian di dunia yang kejam ini, Bu? Bina gak punya siapa-siapa selain Ibu. Bina gak tahu lagi mau kemana.” Aku menyeka airmataku. “Urus kremasi.” “Bina tidak menyangka bisa melihat Ibu tanpa napas lagi, perjuanganku sia-sia ya, Bu. Maafin Bina ya, Bu,” lirihku masih dengan airmata yang menggenang. Xiu mengambil kembali uang yang sudah Giring berikan. Aku benar-benar kehilangan semuanya, ini semua karena Yesika dan Xiu. Aku akan membalas perbuatan mereka. Setelah kehilangan Ibu, tujuan hidupku tidak ada lagi, buat apa aku di dunia? Tidak ada yang sayang dan perduli kepadaku. Aku kehilangan semuanya dan aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku mau, semua teman meninggalkanku, laki-laki yang ku andalkan bisa memberikan semangat dan ketenangan, malah bermain api dibelakangku, dan meninggalkanku disaat aku sudah bukan siapa-siapa lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD